Postingan

Menampilkan postingan dengan label Cerpenku

Dora Emon di Nanjing

Dora Emon di Nanjing “Aku tak suka perang,” kata Nobita. “Aku juga,” sahut Dora Emon sambil memeluk bantalnya erat. “Aku takut mati.” “Aku lebih suka kita berteman saja,” LIep  Nio mengangguk sambil makan bakso buatan toko nyonya Damaisan. Tapi, ledakan meriam yang terdengar dari radio yang dihidupkan Tuan Tanaka membuat bakso yang akan dikunyahnya tertelan bulat-bulat. Ia tersedak. Nobita dan Dora Emon menepuk-nepuk punggungnya. “Ayah akan berangkat ke Nanjing,” kata Nobisuko Nobi yang lengkap memakai baju chef. Doraemon, Nobita dan Liep Nio melongo melihat penampilan ayah Nobita. “Ayah kan takut darah,” kata Nobita yang langsung memegang kaki ayahnya. Mencegahnya pergi. “Tapi semua orang ikut berperang membela negara.” Wajah Nobisuko tegang. Ia telah menetapkan keputusannya. Tak peduli dengan Nobita dan Tamako, istrinya yang menangis mengiringi langkahnya menuju pintu keluar rumah.  Sebuah mobil tentara Jepang telah menunggunya. Dengan bangga ia masuk ke dalam mobil

Bunga di Musim Kemarau Part 4

Gambar
Dinginnya penyesalan meninggalkan  penderitaan yang menusuk saat malam gelap menyelimuti hati sumber gambar (fixabay,com) Amy mendapati dirinya terbangun di ruang bangsal rumah sakit. Ana yang duduk menemaninya tak berhenti menangis saat ia terbangun lima menit lalu. Sekarang pun Ana masih menangis sambil memeluknya. Sedang Amy merasa hatinya hampa. Kosong. Lidahnya kering. Tubuhnya terasa ringan. "Hara masih di ruang operasi," kata kak Pirman yang berdiri di dekat tempat tidur. "Jangan khawatir, Hara itu sehat dan kuat. Ia pasti bisa bertahan." Pirman berkata lirih. Meyakinkan dirinya. Amy melihat wajah letih kak Pirman. Baju yang ia kenakan masih baju tadi malam. Ada noda darah di bajunya. Amy merasa perutnya mual. Kak Pirman mengikuti arah pandang Amy, melihat ekspresi wajah Amy yang berubah. "Maaf, kakak belum sempat ganti baju." Kak Pirman menunduk. "Nggak apa, Kak." Amy menggeleng. "Amy nggak pa-pa." Tanga

Bunga di Musim Kemarau Part 3

Malam menenggelamkan kehangatan dalam selimut tebal rumah-rumah bertembok tinggi Tangisan dan rintihan yang lapar pun hanya menyentuh dinding-dinding dingin hati yang telah terpenjara benci dan tak peduli. "Yuk, pulang.." Hara berkata lirih. Setelah lebih dari dua jam ia menunggu Amy dan Ana terduduk di depan pusara Yada. "Malam sudah larut. Udara juga sangat dingin. Sepertinya akan turun hujan." Amy mangangguk. Ia berdiri perlahan, dan memegang bahu adiknya. Membantunya berdiri. Tubuh Ana sangat dingin. "Ana, kamu nggak pa-pa, kan?" Ana tersenyum lemah. Belum sempat Ana menjawab pertanyaan Amy, tubuh Ana lunglai. Pingsan. Untunglah, Hara yang berdiri di dekatnya dengan sigap menahan tubuh Ana yang hampir jatuh ke tanah kuburan.  Hara dengan hati-hati mengangkat tubuh Ana. Membawanya ke dalam mushola. Umi Naqi dan umi Heni yang melihat mereka segera mengambil selimut dan memberikan minyak angin pada Amy. "Sepertinya adikmu belum makan

Bunga di Musim Kemarau part 2

Gambar
Cinta yang mati itu pun menggelepar Menyisakan mimpi yang bagai buih di bentangan samudra sumber gambar (fixabay.com) Amy meletakkan tangannya di kulit dingin Yada, kakaknya. Mata Amy nanar menatap ruang mayat yang dingin. Tak ada siapa pun kecuali mayat-mayat yang tergeletak di atas kasur tipis itu. Hara yang berdiri di sampingnya mengangguk. Perlahan ia mengangkat mayat Yada dan meletakkannya di brankar dorong yang telah mereka siapkan. "Dokumen rumah sakit sudah beres, Kak?" Amy memandang Hara yang sibuk merapikan selimut Yada. Hara  mengangguk. Menepuk saku bajunya. Malam ini Hara membantu sahabatnya bertugas di kamar mayat. Jadi ia bisa bantu Amy mengurus mayat Yada. Meski tak begitu mengenal Yada, ia kasihan melihat mayatnya yang belum juga dikuburkan. Ia juga kasihan melihat Amy dan Ana. "Kak, gimana?" "Jangan khawatir, kak Pirman sudah mengijinkan kak Yada dikuburkan di kampung tetangga malam ini. Kuburan sudah siap. Tukang gali dan

Bunga di Musim Kemarau Part 1

Langit terang. Daun-daun pun terlihat beterbangan. Tertiup angin. Kering. Menyisakan pohon-pohon yang meranggas di bulan Oktober. Meninggalkan harapan yang kian menipis dimakan waktu. Amy menghembuskan nafasnya, memandang wajah adiknya, Ana, yang menekur di lantai.  "Kamu tak berpikir bahwa yang kita lakukan ini menyalahi hukum, Kak?" "Kita tak bisa membiarkan mereka tidak menguburkan kak Yada di kuburan yang layak, karena ia  bekas seorang penjahat." Ana mendongakkan wajahnya. Memandang wajah kakaknya. Wajah Ana bersimbah air mata. Basah. "Seandainya kita punya pilihan lain, Kak." Ana menjawab lirih. Tangannya menyapu air mata yang terus menetes di wajahnya.  Amy mengepalkan tangannya. "Kalau saja aku laki-laki. Aku akan melawan mereka." Ana tercekat mendengar ucapan kakaknya.  Ia menutup wajahnya. Air matanya kian deras mengalir di wajahnya. Amy mendekati adiknya dan memeluknya dengan sayang. "Jangan khawatir, Kakak n

Cerita Kayu

Gemericik air jatuh di tanah ditingkahi deru angin yang menampar wajahku. Membuatku terpaku menatap seonggok kayu yang berserak di depan kakiku. Mataku menghitung guratan halus dan kasar yang menyembul di kulit luar kayu. Menandakan usia yang sudah menggerogotinya. Mencemooh waktu yang pergi meninggalkannya. Sementara daun-daun yang meranggas tertiup angin memenuhi sudut pandangku yang mulai tak terlihat. Debu mewarnai sepanjang jarak pandang. Kemarau di bulan Oktober memetakan jalan retak di sepanjang tanah kering. Tanah Kedaton. Lamat terdengar di telinga Fatma gema takbir orang-orang yang sedang menyalati kakaknya yang meninggal tadi malam. Fatma hanya duduk di pelataran masjid Al-Awwal, menunggu di luar karena ia sedang menstruasi. Tak bisa ikut menyalati kakak tersayangnya. Meski begitu, bibir dan hatinya terus bergetar, lirih mengantar kepergian kakak tercinta dengan doa yang ia mengerti. Di usia yang menginjak 11 tahun, ia tahu bahwa kehidupan ini hanya persinggahan. Sementa

Syair Rindu buat Pujangga Kopi

Tersebutlah kisah pada zaman keemasan kopi Lampung, hingga tak ada sebuah rumah pun yang tak beraroma kopi. Kuat. Pekat. Hitam. Lembut. Bercampur cita rasa karamel, coklat, rempah – rempah dan kacang. Menggugah selera. Saat itu, seorang saudagar kopi yang juga begitu cinta pada puisi dan syair menyanyikan lagu tentang cintanya pada tanah kelahirannya, Lampung. Lampung sai kaya raya sangon jak jaman timbai alami khik budaya unyin hulun kak pandai Artinya: Lampung itu kaya raya sejak jaman dahulu alam dan budayanya Saudagar itu tak tahu, seorang gadis kecil memperhatikannya sejak tadi. Lirih, ia mengikuti syair lagu yang dinyanyikan oleh sang saudagar. Setiap pagi sebelum sekolah gadis kecil itu selalu bersembunyi di balik pohon kopi di halaman rumah sang Saudagar. Mendengar sang Saudagar bernyanyi dan bersyair di teras rumahnya sambil menikmati secangkir kopi hitam yang baunya sangat harum.  Gadis kecil itu begitu suka dengan bau kopi sang Saudagar. Rasa

Cerpen: Awan, Sampaikan Salamku pada Dewi

Tak pernah ada yang mengerti bagaimana rasa rinduku bisa membiru. Memenuhi dada. Anto menghela napas. Memandang ke arah Dewi yang sedang menengadah ke arah langit. Ia tahu Dewi suka sekali memperthatikan awan yang berarak di sana. Entah apa yang ia pikirkan sekarang. Ia tak tahu sebuah bola meluncur dengan deras ke arahnya. Buk! "Dewi , awas!" jerit Anto . Terlambat. Bola tersebut sudah mengenai Dewi yang jatuh di atas tanah. Anto berlari ke arah Dewi dan mengguncang tubuhnya. Tak bergerak. Anto panik dan langsung mengangkat tubuh Dewi yang lemah. "Kang Amin, tolong Dewi. Ia terkena bola  tadi." Dokter sekolah yang lebih senang dipanggil Kang Amin itu mengangguk. Dengan teliti Kang Amin mengecek pupil mata, nadi, dan dahi Dewi . "Dewi tidak apa - apa. Ia terjatuh bukan karena bola. Dewi kelelahan. Sepertinya ia kurang makan dan tidur." Kang Amin tersenyum. Anto melongo. Memperhatikan Dewi yang tergeletak di kasur klinik sekolah. "Sepertinya

Puisi Buat Asap Rumahku

Pagi itu kau bilang padaku tentang sebuah cerita yang hilang. Cerita tentang halaman rumahmu yang terbakar berikut rumahmu. Terbakar bersama buku – buku dan tas belajarmu yang akan kau bawa esok hari. Lalu, kau katakan pada gurumu. “Pak, Bu, maafkan saya. Buku dan tasku terbakar. Bahkan baju dan rok pemberian sekolahku pun ikut terbakar.” Bapak dan ibu guru menepuk bahumu, dan berkata, “Nak, bagaimana dengan rumahmu? Sekarang kamu tinggal di mana?” “Aku tinggal bersama tetanggaku, Pak. Tetanggaku juga memberiku buku dan pena untuk kubawa sekolah hari ini. Emak bilang, buku dan pena itu lebih penting dibanding yang lain.” Kamu tersenyum dan mengangguk. ”Tapi tetanggaku juga memberiku dan emakku makan.” Kamu menepuk perutmu. Aku lihat tanganmu yang sedikit melepuh. Aku ingin menyentuhmu. Menghiburmu. Tapi, aku ingin melakukan lebih dari itu. Aku juga ingin menangis untukmu. Sepanjang pelajaran berlangsung, aku hanya memperhatikanmu. Melihatmu yang terkadang terbatuk – batu

Painem, Perempuan Plastik

Gambar
Painem, Perempuan Plastik by Yoharisna sumber gambar dari google, modifikasi.com Cerita pendek yang berkisah tentang seorang anak urban yang merasa tinggal di kampung. Ibunya seorang asissten rumah tangga yang buta huruf yang mengira bahwa dunia ini hanya berisi orang baik dan jujur. Painem, yang merupakan tokoh sentral cerita masih berusia sekitar 5 tahun, dan juga belum bisa membaca. Sebagaimana anak lain, Painem memandang bahwa hidupnya adalah ibunya .  Painem mengerjapkan matanya yang basah . Sisa air hujan yang semalaman menetes dari atap rumahnya yang sudah bolong - bolong. Tangannya berusaha meraih kain yang biasanya teronggok di tikar plastik yang ia duduki. Tikar plastik yang juga ia tiduri selama ini. Ia ingat tikar ini hadiah ibunya saat ia pulang dari Bandar Lampung. Ibu bercerita bahwa saat   itu sudah malam dan ibu terjebak macet. Rasa lelah dan kantuk membuat ibu menginap di mushola yang lantainya basah . Ibu duduk di sudut mushola dan melihat seorang n

Harapan di Ujung Penantian Etika

Mengusap air mata yang jatuh di pipimu adalah keinginanku saat aku jauh darimu. Saat mataku mencarimu dan merasa tercekik saat yang kulihat hanya bayanganmu yang hilang terbawa angin. Illusi rinduku yang bertepi. Aku merindukanmu seperti angin yang melingkupi dedaunan yang jatuh dan menyentuh tanah. Tanah yang kini basah terkena hujan yang jatuh. Akupun merasa basah, hatiku lelah. Tak bisa merasa. Meski terus berdetak. Seperti saat kau ada dan masih duduk di sampingku. Lalu, aku melihat kau berdiri di hadapanku. Tersenyum. Tanpa sadar, aku bergerak ke arahmu seperti ngengat pada cahaya. Semut pada manis. Aku melangkah menujumu. Berusaha meraihmu. Harapanku. Sedetik aku hampir menyentuh tanganmu, aku terhenti. Mataku melihat Ida. Ida yang selalu jadi cahaya lain matamu. Selain aku. Sayangnya, tanganmu yang ingin kuraih kini ada dalam genggamannya. Mataku memandang tanganmu dan tangannya yang bertautan. Hatiku yang basah kinipun berdarah. Tapi, aku masih dapat membalas senyummu dan men