Postingan

Menampilkan postingan dengan label puisi

Puisi: Sepotong Roti

Gambar
 Sepotong Roti   Menapaki jalan ini Memaki debu yang menempel di kaki Keringat menetes di dahi Mengering bersama gemetar tangan penuh daki Berhari lapar memutus rasa hormat Tergadai demi sepotong roti  Anggur murah dan tembakau pemuas sesaat Bergulung tubuh membaur laksana sampah Ne pain ne voyent qu'aux fenestres Sepotong roti melihat dunia Tanpanya Aku mati Lalu, menjual harapan dan mimpi Tergeletak lusuh di tanah Dapur bertikus jadi istana Teringat masa lapar durjana Budak segala budak Makian pun jatuh di telinga tuli Sepotong roti jadi tujuan Sungguh, kelaparan itu setan Miskin itu budak bagi terpelajar! #RCO9 #OneDayOnePost #ReadingChallengeODOP9 Well, puisi di atas adalah kesan yang kudapat dari buku Down and out in Paris and London karya George orwell. A bit gloomy. But, life is not like walking on the park. Not for everyone. Buku setebal 300 halaman ini berkisah tentang seorang Inggris dan Boris, seorang Rusia veteran perang. Persahabatan mereka makin erat berkat nasib yang

Perjalanan Hikmah Menuju Cinta Kekasih

Saat kamu membaca tulisanku ini, sayangku, telah kutitipkan rindu yang membara di balik angin. Menghamparkannya di undakan yang terjulur di pegunungan nan dingin di Pengger sana. Sayangku, tahukah kamu bahwa malam-malamku dipenuhi dengan namamu. Bantal peraduanku pun telah bermandi air mata yang terus menetes bak hujan di musim kemarau. Deras di tanah kering. Sayangku, malam yang dingin ini pun mengingatkanku akan bisikan rembulan kesepian yang memanggil-manggil namamu, sayangku, kekasihku, di manakah engkau? Mengapa kau yang begitu dekat bagai memandang angin. Sayangku, kukatakan syair rindu dan perpisahan pada kesedihan di bulir cahaya yang menumpuk di sudut matamu Sungguh, sayangku, kekasihku, kukatakan derita angin yang mendamba bertemu dirimu Hingga perjalanan panjang menemui pun seperti persinggahan Tak memutus rindu. Tak menghalau sepi Lalu, pertemuan seperti apa yang bisa jadi obat? Kau bertanya padaku di tengah deru jantungku yang berdebur memandang rinduku yang te

Perjalanan Menuju Cahaya

Perjalanan ini panjang Abadi Layaknya menuju cahaya yang meliputi maksummu Tubuh suci ruh surgawi Seluruh alam menari memanjatkan doa Tarian yang pusatnya Engkau Satu Bergerak bak sufi Rumi Mabuk akan anggur cinta-Mu Wahai yang cinta padanya menyembuhkan Harapan padanya adalah kepastian Layaknya si sakit yang terus merintih, memanggil nama-Mu Ya Tuhanku, Pemilik cahaya Pemilik diriku Wahai Yang Paling Pemurah Pemberi sebelum diminta Tanganku kini menengadah pada-Mu Memohon kebaikan-Mu Sekiranya diri hamba ini pantas untuk terus memanggil nama-Mu Merasakan dekatnya dekat Berada bersama yang paling Kau cintai dan kasihi Oh, seandainya saja Aku akan bersyukur Hingga surga tak membuatku terlalu bahagia dan neraka pun tak membuatku bersedih Karena cinta-Ku melebihi keduanya Harapanku tak kuletakkan pada surga, dan ketakutanku bukan pada neraka Ketakutanku akan menyelimutiku jika Kau meninggalkanku Cinta-Mu pergi, hingga perjalanku gelap tanpa arah Tanpa cah

puisi

Memetik Bulan Sayang, aku tau kamu sedang tidur Tapi kamu tidak mati, kan? Seperti lalat yang ditepuk sepatu ibu itu Sekarang tergeletak di lantai, tak bergerak Sayang, kamu masih bernapas ? Mengapa tak kulihat deru ombak di dadamu Hanya lamat suara sengau dari hidungmu Menggelegar membelah siang yang terang Sayang, kamu masih bisa berjalan ? Kenapa tak kulihat derap langkahmu ? Kenapa juga larimu tak sekencang dahulu ? Apakah kakimu telah diamputasi ? Sayang, sungguh mati aku menunggumu Tetapi, kenapa jam di tanganmu seperti mati ? Bahkan sepertinya kau pun tak ingat akan nama mu Nama yang kau ucapkan hingga aku memujamu Sayang, namamu terlanjur ada di hatiku Aku tak bisa lupa saat angin menderu menyebutmu Membisikkan janji tentang matahari di saat malam Mengatakan bahwa bulan pun kan kau petik untukku Sayang, aku tetap mencintaimu sedalam lautan Yang buihnya kini teracuni limbah pabrik milikmu Yang ikannya kumakan dan masuk

Puisi Bumi Pilu

                        Bumi Pilu Saat kukatakan padamu bunga akan mekar dan layu Bumi merenung Kau tersenyum dan berbisik 'Bagaimana bisa aku tahu, jika mata ku buta dan telinga ku tuli? Aku pun tak bisa rasakan angin yang berhembus, Aku mati rasa, katamu lagi Lalu, aku memandangmu dan berbisik lagi Jadi, bagaimana kamu bisa mengerti yang kukatakan? Kau tersenyum, dan berkata Benarlah mataku  buta, dan telingaku pun tuli. Bahkan, indraku pun mati rasa Tapi, hatiku seterang matahari Hingga ku dapat melihat dan mengerti dirimu Sepanas api yang membakar diriku Hingga dingin malam tak terasa Membakar rasa marah jadi doa Pada-Mu agar ku jadi lebih dekat Mengingat angin yang pernah meniup lembut kulitku Hingga ku bersyukur Yoharisna Bandar Lampung, 29 Maret 2019

Puisi - Kau dan Aku

Teringatku dalam lamunan sesaatku Akan senyummu yang terukir di dalam ingatanku Meski waktu dan jarak merentangi kenanganku Tak hilang rasa yang menggelang di dadaku Duhai yang mewarnai keinginanku Duhai yang jawaban sama sekali tidak menggoyahkanku Duhai yang doa untuknya menghiasi malamku Duhai yang lamanya tidak melemahkanku Sungguh hari ini pun aku hanya bisa memandangmu Meski jauhnya tidak menggetarkanku Serta dekatnya tidak membakar anganku Juga kehadirannya tidak memanjakanku Aku berkata padaku dalam malam – malam sendiriku Lewat huruf yang kupelajari saat bersamamu Kuucapkan terima kasihku yang sederhana Melalui buku dan cerita tentang kamu dan aku Bandar Lampung, April 4 th , 2018

Puisi - Antologi

I.                     Langkah Kecil Pertama                                                 Oleh : Yoharisna Kau melangkah tertatih menyapa matahari Tertatih dalam naungan awan yang berarak mengiringi Awan yang menghitam dan gemetar kelaparan Lapar tak terperi dalam genggaman tangan iba Tangan yang pernah menggenggam bekal buatan emak Bekal yang selalu mengenyangkan perutmu yang lapar Lapar yang meneriakkan rasa penuh Kau menepuk dan berkata, “Sabarlah, waktumu akan tiba.” Kau   terus melangkah menggenggam bekalmu erat Dengan langkah kecilmu menuju matahari Menemui teman berbagi bekal Berbagi tiap butir nasi Butir nasi harapan dari tanah yang pernah hijau Hijau yang memanggil masa depan II.                   Pernah Oleh : Yoharisna Pernahkah kau rasakan dalamnya sunyi Tanah yang menghijau dalam ceracau pagi Dalam syahdu nyanyian cinta sang pujangga negeri tercinta Mengalun bagai simponi lagu buat sang kekasih Memabukkan bagi seorang peci

Puisi - Gerimis

Gambar
Gerimis Langit pun mencurahkan rintiknya Gerimis yang kau katakan sendu Tapi kukatakan, langit putih cerah Tak ada sedih gulana Gerimis lalu diam termangu Berhenti untuk menyisakan basah Tanah yang lembab Daun yang berkilau Desember 15,  2018 Gerimis di Bulan Desember Katakan yang Hilang Katakan yang datang Di bulan desember saat itu Seperti gerimis yang jatuh ke tanah Seolah menghilang Meninggalkan basah dan bau tanah Desember, 25 Desember 2018

puisi Rinduku

RINDUKU   Malam ini kukatakan padamu dalam lirih diam angin Kukatakan padamu isi hatiku Kulantunkan rasa rinduku Sungguh aku lemah karena tak juga berjumpa denganmu Hati ku memanggilmu Wahai kekasihku Dimanakah dirimu ? Ke mana kah kau pergi? Mengapa kau tak kunjung datang padaku? Tahukah kamu kekasihku, bahwa aku merindukan mu Bahwa aku menginginkanmu segera hadir menghiasi malamku yang gelap dan dingin Duhai kekasihku.. Seandainya saja kau tahu.. Seandainya saja kau tahu.. Bahkan siangpun jadi gelap   gulita Sungguh cahaya tak mampu menerangi gelapnya hati karena rindu ini Sayangku, janji bahagia bersama sungguh pengobat hati dalam harapan yang mulai tua Kekasihku..   Merindukanmu dan menunggumu dalam doa yang terus mengalir dalam dentang malam Dalam waktu yang terus bergerak dan tak mati Sampai nanti bertemu Bandar Lampung, 29 Desember 2017 Buatmu yang kutunggu