Harapan di Ujung Penantian Etika


Mengusap air mata yang jatuh di pipimu adalah keinginanku saat aku jauh darimu. Saat mataku mencarimu dan merasa tercekik saat yang kulihat hanya bayanganmu yang hilang terbawa angin. Illusi rinduku yang bertepi. Aku merindukanmu seperti angin yang melingkupi dedaunan yang jatuh dan menyentuh tanah. Tanah yang kini basah terkena hujan yang jatuh. Akupun merasa basah, hatiku lelah. Tak bisa merasa. Meski terus berdetak. Seperti saat kau ada dan masih duduk di sampingku. Lalu, aku melihat kau berdiri di hadapanku. Tersenyum. Tanpa sadar, aku bergerak ke arahmu seperti ngengat pada cahaya. Semut pada manis. Aku melangkah menujumu. Berusaha meraihmu. Harapanku. Sedetik aku hampir menyentuh tanganmu, aku terhenti. Mataku melihat Ida. Ida yang selalu jadi cahaya lain matamu. Selain aku. Sayangnya, tanganmu yang ingin kuraih kini ada dalam genggamannya. Mataku memandang tanganmu dan tangannya yang bertautan. Hatiku yang basah kinipun berdarah. Tapi, aku masih dapat membalas senyummu dan menjabat tanganmu dan Ida. Tubuhku seolah bergerak otomatis. Mendekatimu. Hatiku menolak untuk menerima kenyataan di hadapanku. Seolah selalu yakin bahwa kau adalah milikku. Selalu. Meski hanya dalam hatiku saja.
“Hai, melamun saja.”Neta menepuk bahuku pelan. Aku menoleh. Tersenyum. “Apa yang kau pikirkan, Etika sayang?” Aku hanya menggeleng mendengar panggilan sayang Neta, sahabat karibku yang telah menemaniku selama lima tahun ini. Neta mengetahui hampir seluruh cerita tentang aku dan Yadi. Etika dan Yadi. Neta mengetahui tiap lembar tawa dan air mata yand mengalir dalam tahun kebersamaanku dengan Yadi. Cinta yang indah dalam buku diary Etika yang hampir mengisi semua cerita hampir bertahun – tahun lamanya. Tujuh tahun. Dan selama lima tahun Neta mengenalku hampir semua cerita bermuara dan berujung pada Yadi. Neta juga mengenal sisi cerita yang lain, karena Ida dan Neta adalah saudara kandung. Ida adalah kakak Neta. Ironis, kan? Betapa seolah putaran cerita akhirnya mengecil pada orang – orang tertentu saja. Tapi, bukankah itu yang namanya hidup? Berjalan terus. Meski berubah, menggilas siapapun yang tak mengerti. Meninggalkan yang ada di belakang. Perubahan yang kecil dan tak berarti bagi seseorang, bisa jadi merupakan perubahan nasib yang besar bagi orang lain. Seperti cerita sederhana Ida dan Yadi yang menikah bulan lalu. Cerita yang biasa bagi orang lain,  tapi bukan cerita biasa bagiku. Cerita ini merubah hidupku. Rencanaku. Harapanku. Luruh. Bersama air mata yang tumpah dalam gelapnya malam.
“Hei, jangan menangis..” Neta mengusap air mataku dengan ujung jarinya. Mataku memandangku dengan kesedihan yang berusaha ia sembunyikan. Aku masih ingat dengan foto pernikahan Ida dan Yadi yang Neta tunjukkan padaku. Aku merasa seperti melihat foto pemakaman. Karena tak ada senyum yang terlihat pada foto tersebut. “Maafkan aku..” Neta menunduk. Air mata Neta berjatuhan di pipinya. Mendengar kata maaf yang Neta ucapkan. Aku tak kuasa. Akupun memeluknya erat. Akhirnya aku tak bisa menahan tangisku. “Seharusnya aku mencegah pernikahan kak Ida. Mas Yadi adalah cintamu, Tika. Tak seharusnya kak Ida merebut mas Yadi.”
Aku menggeleng. Memegang bahu Neta dan memandang matanya. “Dengar, Neta. Ini bukan salahmu. Bukan salah Ida. Bukan salah Yadi. Juga bukan salahku.”
Neta menggeleng. Ia menghapus air matanya dengan ujung bahunya. Matanya memerah. Bibirnya bergetar. “Kak Ida salah karena merebut Yadi. Padahal kak Ida tahu..”
“Kami memang tak berjodoh. Yadi dan aku mungkin memang tidak berjodoh. Ini pasti yang terbaik.” Aku tersenyum.” Dengar Neta sayang. Sahabatku yang cantik. Mungkin nanti aku akan dapatkan pengganti yang lebih baik. Lebih tampan. Lebih alim. Lebih putih. Lebih tinggi.” Aku mengedipkan mataku sambil melirik ke arah kursi yang biasa di duduki pak Suryadi. Pria tampan yang sedang jadi buah bibir di kantor kami. Neta tertawa serak. Matanya ikut melirik ke arah kursi tersebut. Sesaat kulihat cahaya di sana. Aku tersenyum kecil. Aku tahu Neta menyukainya. Kulihat Neta memandangi kursi itu lalu menatapku lama dan tersenyum sendiri. Aku hanya menggelengkan kepalaku. Syukurlah, ia sudah dapat mengalihkan perhatiannya ke arah yang lain. Cerita Yadi dan aku adalah cerita lama. Sekarang aku harus membangun harapanku dan memulai hidup yang baru. Hidupku harus terus berjalan. Aku mengangguk dan melanjutkan pekerjaanku. Mataku merayap ke tumpukan laporan di mejaku. Biasanya aku bisa diskusi dengan Yadi untuk mempermudah laporanku. Yadi yang kini jadi atasanku. Aku mendesah. Menarik kursi dan duduk. Bertekad menyelesaikan laporan – laporanku hari ini. Bagaimanapun caranya.
“Yups. Semangat!” teriakku. Tanganku mengepal di udara. Neta dan beberapa teman di ruanganku menoleh ke arahku sambil menggeleng – geleng. Aku hanya tertawa dan menunjuk ke arah mejaku.
Sesaat kemudian, pintu ruangan Yadi terbuka. Lima orang keluar dari ruangannya. Tiga pria dan dua wanita. Mereka terlihat seperti orang penting. Aku mengangkat bahu dan bergumam, “Bukan urusanku. Mereka tidak penting. Dia tidak penting. Ayo, kerja. Kerja. Semangat, Etika!” Aku membuka berkas laporanku dengan penuh konsentrasi. Berusaha keras menyelesaikan pekerjaanku. Meski aku merasa ada yang memperhatikanku. Lama. Hingga aku merasa punggungku panas. Jadi,  saat pintu ruangan Yadi terbuka dan tertutup lagi aku menghembuskan napas lega. Aku mengambil buku dan mengipasi tubuhku yang kepanasan. Lalu, aku menyadari bahwa tinggal mejaku yang terang. Meja yang lain telah gelap karena komputer – komputer telah dimatikan. Bahkan, lampu di ruanganku pun telah mati. Hanya lampu jalanan yang membuat ruangan tetap dapat terlihat. Aku melihat jam di komputerku. “Hah?! Sudah jam 10 malam. Bagaimana aku bisa tidak sadar?” Bergegas aku membereskan laporanku yang berserakan di meja dan menyambar tas serta jaketku. “Waduh, bapak dan emak pasti khawatir.”
Aku mendengar suara langkah kaki di belakangku. Aku tahu Yadi berjalan di belakangku. “Etika.” Yadi memanggilku. Tapi aku tidak menoleh ataupun menghentikan langkahku. Setengah berlari aku melangkah ke arah parkiran motorku. Dalam perjalanan pulang, dari kaca spion motorku kulihat sebuah mobil yang terus mengikutiku sampai depan rumahku. Saat aku membuka  gerbang rumahku, mobil itu melintas di depanku. Aku hanya menggelengkan kepalaku. “Ah, kenapa kau tau biarkan saja aku sendiri. Kenapa masih memperhatikan aku? “
Emak yang mendengar gerbang rumah terbuka, membuka pintu. Matanya terlihat khawatir. “Etika. Kamu tak apa – apa?” Emak mengusap punggungku. Aku menggeleng.
"Tidak apa - apa, Mak.:
"Yadi tadi telpon," kata Emak,"Ia bilang kamu lembur. Tadi Yadi yang mengantarmu, kan? Mak masih ingat dengan mobilnya." Emak mengambil tas di tanganku dan memberikan secangkir teh hangat ke tanganku. "Minum dulu. Kamu pasti lelah sekali."
"Mak, kenapa belum tidur?" Perlahan aku meminum teh hangat yang juga menghangatkan hatiku. Sambil menggumamkan terima kasih aku memandang mata Mak. "Kenapa belum tidur, Mak. Etika kan bawa kunci sendiri."
"Kasihan Nak Yadi.." Mak menggelengkan kepalanya. Aku memandang emak tak percaya. Kenapa emak bisa merasa kasihan pada Yadi? Padahal yang meninggalkan janji itu bukan aku tapi Yadi. Kepalaku terasa pusing. Emak menghapus air matanya. Kuakui, Yadi dan emak memang dekat. Yadi begitu sayang dengan emak. Begitu juga sebaliknya. Kadang aku merasa bahwa Yadilah anak emak, dan bukan aku. Aku menggelengkan kepalaku. Membuang pikiranku yang terus melantur jauh.
"Ada apa, Mak?" Perlahan aku memijat kaki emak. 
"Emak yang meminta Yadi menikahi Ida." Mata emak berkaca - kaca. Seolah memintaku untuk mengerti tanpa berkata - kata. Aku hanya menghembuskan napasku.
"Tidak apa - apa, Mak. Kami mungkin tidak berjodoh." Aku tersenyum dan mencium pipi emak yang basah dengan air mata. Lembut.
"Tapi Yadi sangat sayang sama kamu, Etika. Yadi begitu sedih saat emak memintanya berjanji untuk menikah dengan Ida."
"Kenapa, Mak?"
"Ida adalah saudara kandungmu, Etika. Juga Eti. Kalian terpisah karena emak." Emak menutup wajahnya dan menangis. Wajahnya bergetar. Hatiku merasa sedih karena kehilangan Yadi. Tapi, saat ini aku merasa lebih sedih melihat emak menangis. Rasa cintaku pada Emak kupikir melebihi rasa cintaku pada Yadi.
"Tidak apa - apa, Mak. Etika mengerti." Aku mencium pipi dan dahi Emak. "Etika mungkin bukan anak kandung Emak, tapi Emak selalu akan jadi Emak bagi Etika."
"Kamu tahu?" Emak menatapku. Aku mengangguk. 
"Bapak sudah menceritakan ini waktu Etika sakit. Bapak bilang, meski Etika bukan anak kandung pernah Bapak dan Emak. Etika tetaplah anak Bapak dan Emak." 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Bullying dan Pencegahan Bullying di Lingkungan Sekolah

Resensi Buku: Inteligensi Embun Pagi

Resensi Novel Kembara Rindu: Dwilogi Pembangun Jiwa