Bunga di Musim Kemarau Part 4

Dinginnya penyesalan meninggalkan  penderitaan yang menusuk saat malam gelap menyelimuti hati


sumber gambar (fixabay,com)


Amy mendapati dirinya terbangun di ruang bangsal rumah sakit. Ana yang duduk menemaninya tak berhenti menangis saat ia terbangun lima menit lalu. Sekarang pun Ana masih menangis sambil memeluknya. Sedang Amy merasa hatinya hampa. Kosong. Lidahnya kering. Tubuhnya terasa ringan.

"Hara masih di ruang operasi," kata kak Pirman yang berdiri di dekat tempat tidur. "Jangan khawatir, Hara itu sehat dan kuat. Ia pasti bisa bertahan." Pirman berkata lirih. Meyakinkan dirinya. Amy melihat wajah letih kak Pirman. Baju yang ia kenakan masih baju tadi malam. Ada noda darah di bajunya. Amy merasa perutnya mual. Kak Pirman mengikuti arah pandang Amy, melihat ekspresi wajah Amy yang berubah.

"Maaf, kakak belum sempat ganti baju." Kak Pirman menunduk.

"Nggak apa, Kak." Amy menggeleng. "Amy nggak pa-pa." Tangan Amy memegang bahu Ana. "Rebahan dulu, Dek. Kamu pasti capek"

"Ana khawatir dengan kak Hara."

"Kak Amy juga. Kita hanya bisa berdoa." Amy melihat jam tangannya. Jam 2 pagi. "Berapa lama Kakak pingsan?"

"Hampir dua jam," jawab Pirman. "Kalian kak Pirman antar pulang dulu, ya." Pirman mengecek gawainya. "Umi Heni barusan wa Kakak, kalian udah ditunggu."

"Gimana dengan kak Hara?" Ana memandang khawatir. Wajah Ana terlihat pucat. Amy menggenggam tangan Ana erat.

"Umi Naqi dan yang lain di sini. Bergantian berjaga. Kalian pulang dulu. Tidur sebentar. Jam 8 kita ke sini. Gantian." Kak Pirman menjelaskan. Ia membuka pintu ruang bangsal rumah sakit. Perlahan Amy membimbing Ana bangun dari tempat tidur. Mereka berjalan beriringan menuju parkiran rumah sakit. Angin dingin menggigit kulit. Amy dapat merasakan tubuh Ana yang gemetar. Ia merapatkan jaket yang Ana kenakan. Saat sampai di parkiran, kak Pirman dengan sigap membuka pintu belakang mobil. Menutup pintu dengan hati-hati saat Amy dan Ana sudah duduk di dalam mobil.

"Kalian bisa istirahat di mobil. Perjalanan kita sekitar sejam dari sini," kata kak Pirman. Amy mengangguk.

Sepanjang perjalanan Ana tertidur. Tubuhnya panas. Amy merasa kalut dan khawatir.

"Ana nggak apa-apa.. Dia khawatir sekali saat kamu pingsan tadi." 

Amy mengangguk. Ia memandang ke luar jendela yang gelap.

"Bagaimana dengan kak Hara? Siapa yang sudah menusuknya?" Pirman mendesah mendengar pertanyaan Amy.

"Kakak juga belum tahu ceritanya." Pirman menggelengkan kepalanya. "Tapi Kakak yakin kalau ia ada hubungannya dengan Yada."

"Jadi kak Ranu dan yang lain juga saling mengenal?" Tanya Amy tak percaya. Pirman mengangguk.

"Ini dugaan Kakak. Tapi, orang yang menusuk Yada kabur. Meski Ranu sempat menghajar wajah orang itu." Pirman mengepalkan tangannya. "Kata Ranu, cincin yang ia pakai untuk menghajar wajahnya pasti meninggalkan bekas. Kita pasti bisa menemukan orang itu."

"Kenapa Amy merasa pernah melihat sosok hitam itu, ya?"

Pirman menoleh. "Mungkin. Tapi kita tak boleh menduga-duga saja. Harus ada bukti."

Amy mengangguk. Benaknya berkecamuk. Ia ingat pernah melihat sorot mata orang yang menusuk kak Hara. Sorot mata penuh kebencian yang selalu mengikuti langkah kakinya. Ia bahkan ingat seraknya suara yang sering bikin jantungnya berdebar. Takut. Sejak kecil ia sering mendengar suara itu dalam mimpi buruknya. Meski tak pernah mengungkapkan rasa takutnya, ia tak pernah melupakannya. Suara itu sering mengancamnya jika ia sedang sendiri. Anehnya, ia selalu bersikap manis dan ramah pada Yada dan Ana. Selalu tersenyum manis pada mereka. Senyum manis yang bagi Amy seperti seringai menakutkan. Bikin bulu kuduknya merinding.

Bersambung..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Bullying dan Pencegahan Bullying di Lingkungan Sekolah

Resensi Buku: Inteligensi Embun Pagi

Resensi Novel Kembara Rindu: Dwilogi Pembangun Jiwa