Painem, Perempuan Plastik


Painem, Perempuan Plastik
by Yoharisna

sumber gambar dari google, modifikasi.com

Cerita pendek yang berkisah tentang seorang anak urban yang merasa tinggal di kampung. Ibunya seorang asissten rumah tangga yang buta huruf yang mengira bahwa dunia ini hanya berisi orang baik dan jujur. Painem, yang merupakan tokoh sentral cerita masih berusia sekitar 5 tahun, dan juga belum bisa membaca. Sebagaimana anak lain, Painem memandang bahwa hidupnya adalah ibunya . 


Painem mengerjapkan matanya yang basah. Sisa air hujan yang semalaman menetes dari atap rumahnya yang sudah bolong - bolong. Tangannya berusaha meraih kain yang biasanya teronggok di tikar plastik yang ia duduki. Tikar plastik yang juga ia tiduri selama ini. Ia ingat tikar ini hadiah ibunya saat ia pulang dari Bandar Lampung. Ibu bercerita bahwa saat  itu sudah malam dan ibu terjebak macet. Rasa lelah dan kantuk membuat ibu menginap di mushola yang lantainya basah. Ibu duduk di sudut mushola dan melihat seorang nenek tua penjual tikar plastik. Ibu kasihan. dan membelinya. Selain bisa membantu, ibu juga perlu tikar plastik, begitu kata ibu. Meski uang untuk Painem jadi berkurang, ibu harap Painem mengerti. Kata ibu lagi yang ia bisikkan dengan lembut. Tentu saja Painem mengerti, ia tahu bagaimana harapan nenek tua itu saat duduk di lantai dingin dan basah mushola agar tikar plastiknya laku. Apalagi dengan tikar plastik itu, ibu bisa tidur dengan nyaman. Terhindar dari kelelahan terjebak macet.

Painem mengusap tikar plastik yang ia duduki dengan sayang. Air hujan yang membasahi tikar plastik yang ia duduki sudah kering Teringat ibu yang pasti sudah terbangun di tempatnya bekerja. Ibu kerja sebagai assisten rumah tangga di kawasan perumahan Sukarame, Bandar Lampung. Daerah yang sering banjir. Jadi tanah selalu basah tergenang air. Penuh sampah plastik di pinggiran jalan. Jalanan pun sering macet karena banjir. 

Banjir yang bikin Painem selalu senang ada di perumahan Sukarame. Dekat ibu, bisa main air dan basah – basahan sepanjang hari. Meski ia pernah terjatuh, tersangkut plastik yang menyangkut di kakinya. Untungnya, ia tidak terluka.

Painem senang ada di perumahan Sukarame, karena ia bisa main dengan plastik. Kata ibu, kalau ia bisa kumpulin plastik banyak bisa dapat uang untuk sekolah. Painem belum tahu kalau sekolah sekarang gratis. Painem hanya berpikir bahwa sekolah perlu uang yang banyak agar ia bisa lulus SD dan kuliah. Lalu, ibu bilang pada Painem uang plastik ini pun bisa digunakan untuk membeli rumah. Supaya Painem tak perlu numpang tempat Pakde Mirwan saat ibu kerja. Painem bisa jaga rumah, dan nyari plastik yang banyak. Ibu tak perlu kerja cuci baju tempat orang lain lagi. Kerjaan yang bikin ibu basah dan lelah. Painem ingin ibu kerja yang enak. Bisa belanja – belanja seperti tetangga mereka di kampung. Juga tak perlu terjebak macet jika ingin pulang ke kampung. Menemui Painem.

Painem jadi berpikir. Kalau ia bisa kumpulin sampah plastik yang banyak. Ia bisa bantu ibu. Bantu ibu cari duit yang banyak. Jadi, Painem berdoa tiap malam agar banyak orang yang memakai plastik dan membuangnya. Hingga ia bisa mengumpulkan sampah plastik dan menjualnya. Ia juga berdoa agar hujan selalu turun, agar sampah plastik yang basah akan hanyut ke rumahnya. Jadi tiap pagi ia bisa mengumpulkannya sebelum berangkat sekolah.

Keesokan paginya Painem bangun tidur dan mendapati tikar plastiknya basah. Ia berpikir apakah ia mengompol. Ia meraih celananya dan menciumnya. Tidak bau. Ia tidak mengompol. Lalu, ia tersenyum. Teringat doanya. Terima kasih Tuhan, bisiknya. Hari ini banjir. Pasti banyak sampah plastik depan rumah. Ia bisa  mengumpulkan dan menjualnya ke pasar. Alhamdulillah. Dengan bahagia ia bangun dari tikarnya dan membuka pintu. Ia melihat air menggenang sebatas lututnya. Matanya berbinar melihat sampah plastik yang menggenang di depan rumahnya. Ia menyambar plastik besar untuk menumpulkan sampah plastik. Lalu, setengah berlari melawan arus air banjir Painem mengumpulkan sampah plastik di jalan.

"Dek, sedang apa?" Seorang bapak memandangi Painem yang sibuk mengumpulkan bekas wadah minum plastik yang tersangkut di selokan. Bikin macet jalan air. Dengan tanpa ragu Painem turun ke selokan. Sekarang air mencapai pinggangnya. Bapak yang menegurnya terlihat khawatir.  Air selokan terlihat deras. Tubuh Painem hampir terbawa arus air yang mengalir bersama sampah plastik. Untunglah, dengan cekatan Bapak itu bergerak memegang bahu Painem dan menggendongnya.

"Kamu nggak apa - apa?" tanya si Bapak. Painem hanya menggeleng. Tubuhnya gemetar. Kedinginan. Baju dan badannya basah kuyup. Si Bapak memeluk tubuh Painem yang menggigil. "Kita ke dokter sekarang. Kamu panas sekali," kata Bapak itu lagi. Painem hanya menggeleng. Ia tak punya uang. Pakde Mirwan juga belum pulang dari Mesuji. Ia hanya sendirian di rumah. Kalau ia pergi ke dokter, siapa yang tunggu rumah? Siapa yang akan bayar biaya dokter? Seolah mengerti si Bapak berkata lagi,"Jangan khawatir, Adik sayang. Anak bapak seorang dokter. Kamu nggak perlu bayar. Mau ya. Nanti ada yang bapak kirim untuk kasih kabar keluargamu di sini." Painem mengangguk mendengar ucapan lembut si Bapak. Bapak ini baik sekali. Nanti aku akan belikan kue dari hasil penjualan plastik ini, pikir Painem. Tangannya menggenggam erat sampah plastik yang basah dan kotor di tangannya. Sementara si Bapak mengangkat tubuh kecil Painem ke mobil dan membawanya ke RS. Hujan yang deras menyebabkan perjalanan ke RS terasa panjang. Macet yang jadi menu utama di jam sibuk pun mewarnai pagi yang basah itu.

"Dek?" si Bapak menepuk pipi Painem lembut.

Mata Painem terbuka, lalu menutup lagi. Ia tersenyum. "Nanti bapak akan Painem belikan kue dari hasil jual plastik ini. Uangnya juga akan Painem berikan pada ibu,"katanya sambil memeluk sampah di tangannya. Setelah mengatakan itu, Painem tertidur kembali.

Tenggorokan si Bapak tercekat. Matanya berair melihat sampah plastik kotor dan basah yang mengotori mobilnya. Sampah plastik yang seolah benda paling berharga bagi Painem. Si Bapak mengusap ujung matanya. Jalanan masih macet.

#tantangan1
#weekend
#odop
#daretodare
#satnit
#holiday
#challenge

Bandar Lampung, 14 September 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Bullying dan Pencegahan Bullying di Lingkungan Sekolah

Resensi Buku: Inteligensi Embun Pagi

Resensi Novel Kembara Rindu: Dwilogi Pembangun Jiwa