Bunga di Musim Kemarau Part 3

Malam menenggelamkan kehangatan dalam selimut tebal rumah-rumah bertembok tinggi
Tangisan dan rintihan yang lapar pun hanya menyentuh dinding-dinding dingin hati yang telah terpenjara benci dan tak peduli.

"Yuk, pulang.." Hara berkata lirih. Setelah lebih dari dua jam ia menunggu Amy dan Ana terduduk di depan pusara Yada. "Malam sudah larut. Udara juga sangat dingin. Sepertinya akan turun hujan."

Amy mangangguk. Ia berdiri perlahan, dan memegang bahu adiknya. Membantunya berdiri. Tubuh Ana sangat dingin.

"Ana, kamu nggak pa-pa, kan?" Ana tersenyum lemah. Belum sempat Ana menjawab pertanyaan Amy, tubuh Ana lunglai. Pingsan. Untunglah, Hara yang berdiri di dekatnya dengan sigap menahan tubuh Ana yang hampir jatuh ke tanah kuburan. 

Hara dengan hati-hati mengangkat tubuh Ana. Membawanya ke dalam mushola. Umi Naqi dan umi Heni yang melihat mereka segera mengambil selimut dan memberikan minyak angin pada Amy.

"Sepertinya adikmu belum makan. Badannya dingin sekali," kata umi Heni. 

"Umi bawa teh panas di termos dan roti di mobil. Tunggu sebentar." Umi Heni menepuk bahu Amy pelan, dan bangun dari duduknya. Ia melangkah ke mobilnya.

Amy memandang umi Heni yang baru dikenalnya itu dengan rasa terima kasih yang dalam. Hatinya begitu tenang berada di antara orang-orang baik ini. Sudut matanya melihat umi Naqi dan kak Hara yang bicara sambil sesekali melihat ke arahnya. 

Saat matanya bertemu kak Hara, ia merasa dikuatkan. Rasanya seperti melihat sosok seorang kakak yang akan selalu menjaganya.

Umi Naqi memegang jaket tebal di tangannya, dan melangkah ke arahnya.
"Amy, pakai ini. Dingin." Ia menyodorkan jaket itu pada Amy. "Ini punya umi waktu masih sekurus kamu. Pakai saja."

"Terima kasih, Umi." Umi Naqi tersenyum,  dan mengangguk kepalanya. Lalu, duduk di samping Ana. Mengusapkan minyak angin di tangan dan kaki Ana. Beberapa saat kemudian umi Heni memberikan teh hangat dan roti ke tangan Amy.

"Ayo, makan. Supaya perutmu terisi." Umi Heni mengangguk saat Amy mengucapkan terima kasihnya. Ia pun ikut mengusapkan minyak kayu putih ke tubuh Ana. 

Beberapa menit kemudian Ana siuman, Amy memperhatikan dua wanita itu sibuk  meminumkan teh hangat pemberian umi Heni. Perhatian yang bahkan ia dan Ana belum pernah rasakan dari ibu mereka.

Ibu yang sibuk bekerja di luar negeri sejak mereka kecil. Mereka bahkan tak bisa melihat wajah terakhir ibu sebelum dimakamkan tiga tahun lalu. Ibu meninggal karena kecelakaan kerja di Malaysia.

"Ssh..jangan menangis," bisik Hara. Ia menyodorkan tisu ke tangan Amy. "Umi Naqi dan umi Heni emang selalu baik pada siapa saja. Kita beruntung mengenal mereka." Amy mengangguk. "Umi Naqi itu masih sepupu mama. Umi Heni itu adik kandung mama. Dan, mereka sayang sekali padaku." 

Hara menoleh pada Amy. Wajah Hara tersenyum lembut. "Jadi mereka pun pasti sayang padamu dan Amy." Mendengar ucapan Hara, hati Amy begitu hangat. Rasanya malam ini tak sekelam yang ia pikir. Angin dingin yang menyapu wajahnya pun terasa hangat.

"Malam ini kalian menginap di rumah umi Heni saja. Supaya kamu dan Ana ada yang menemani. Kebetulan Abi Sukron, suami umi Heni sedang ke Jakarta untuk jemput anak-anaknya. Jadi kalian berdua bisa menemani umi Heni. Gimana?"

"Tapi, Amy nggak mau merepotkan," jawab Amy ragu.

Hara menggeleng. "Nggak, kok. Umi Heni seneng ada yang nemenin. Tadi umi Naqi juga ngomong ke Kakak, kalau kamu dan Ana perlu kerjaan bisa datang ke warung umi Naqi. Umi lagi perlu kasir dan waitress."

"Bener, Kak?" Amy memandang Hara tak percaya.

"Tapi gajinya kecil. Maklum warung umi kan belum besar, " kata Hara lagi.

"Hara, Amy, kita pulang ke tempat umi Heni sekarang, ya," kata umi Heni. "Kasihan Ana. Biar istirahat di rumah umi. Eh, Hara udah ngomong ke Amy, kan?" Umi Heni menoleh ke arah mereka. 

Melihat Amy dan Hara mengangguk, umi Heni terlihat lega. Ia dan umi Naqi membantu Ana berdiri dan menuntunnya ke mobil.

"Hei! Pada mau ke mana nih. Malem-malem begini?!" Dua sosok besar dan berpakaian hitam tiba-tiba muncul di depan mereka. "Rupanya tadi nguburin penjahat di sini, ya?!"

Hara, Kyai Irfan, dan Kang Rafi segera berdiri di depan mereka. Sementara kang Abas dan kang Ahmad berdiri di sisi kanan dan kiri.  Melindungi Amy, Ana, umi Naqi dan umi Heni.

"Kalian siapa?" Kyai Irfan memandang mereka dengan tenang. Dua sosok hitam itu tertawa. Serak dan mengerikan. Amy bisa melihat golok tajam dan mengkilat di balik sabuk mereka. Tangan dan tubuhnya gemetar.

"Kami adalah orang yang mungkin kalian pikir hitam! Cih, tapi kalian bahkan lebih buruk dari kami!" Suara jawaban yang muncul di belakang mereka, membuat Amy merinding. 

Siapa lagi mereka? Ami memandangi tiga laki-laki yang tiba-tiba muncul itu dengan gamang. Tiga orang laki-laki berkulit putih bertubuh besar berdiri di hadapan mereka. 

Sudut mata Amy melihat dua sosok hitam itu memperhatikan mereka. Entah mengapa Amy lebih takut dengan dua sosok hitam yang lebih dulu datang. Mungkin karena Amy tak bisa melihat wajah mereka yang seluruhnya tertutup kain hitam. 

Tapi, kenapa dua sosok hitam itu hanya diam. Sementara Amy melihat tiga sosok putih itu maju ke depan. Sesaat sinar temaram bulan menimpa wajah-wajah mereka. Amy menutup mulutnya. Ia kenal wajah-wajah itu. Teman-teman baik kak Yada! Kak Ranu, kak Satria, dan kak Rama.

"Maaf, bisakah kita bicara baik-baik?" Tanya kyai Irfan dengan sabar. Menahan kak Pirman yang kesal melihat sikap mereka yang angkuh.

"Baik-baik?!" Amy melihat Satria mendorong tubuh Pirman yang maju ke arahnya.

"Tenang dulu," kata Kyai Irfan. Ia memegang lengan Pirman yang ingin menerjang Satria. Sementara Ranu memegang bahu Satria. Menggeleng. Amy tahu, kak Ranu adalah teman kak Yada yang paling tenang dibanding yang lain. Paling bijaksana. 

Mata Ranu memandang Amy. Dahinya berkerut. Perlahan Ami berjalan ke arah Ranu. Umi Heni dan umi Naqi memandangi Amy dengan khawatir.

"Kak Ranu, mereka yang menolong Amy dan Ana, " kata Amy. Ia berusaha menguatkan suaranya yang gemetar. 

Sesaat Ranu terlihat ragu. Ia memandang Rama yang juga memperhatikan Amy dan Ana, serta sekelilingnya. 

Rama memicingkan matanya melihat wajah kyai Irfan. Wajahnya berubah. Ia mendekati kyai Irfan, dan mencium tangannya. Kyai Irfan yang kaget melihat perubahan sikap salah satu orang yang menghadang mereka terlihat sedikit tertegun.

"Kyai masih ingat saya?" Rama memandang kyai Irfan. Mata Rama berkaca-kaca. Bibirnya gemetar. Kyai Irfan menggelengkan kepalanya. Satu dua air mata mengalir di pipinya.

Melihat mereka, Amy merasa lega. Umi Naqi menghembuskan nafas lega. Kak Pirman menghapus keringat yang menetes di keningnya. 

Ana tanpa sadar memeluk umi Heni yang ada di sampingnya. Mereka larut dalam kelegaan. Lupa dengan dua sosok hitam di depan mereka. Sosok itu kini menyabetkan golok tajamnya ke arah Kiai Irfan.

"Kyai!" Hara berteriak sambil mendorong tubuh kyai lembut itu ke tanah. Golok tajam itu tanpa ampun merobek perut Hara. Darah menyembur dari perutnya ke tanah. 

Umi Naqi dan umi Heni menjerit melihat tubuh Hara tumbang ke tanah. Tak bergerak. Darah mengalir deras dari perut Hara. Amy merasa dunia berhenti. Gelap. Ia tak ingat apa-apa lagi.

Bersambung..

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Bullying dan Pencegahan Bullying di Lingkungan Sekolah

Resensi Buku: Inteligensi Embun Pagi

Resensi Novel Kembara Rindu: Dwilogi Pembangun Jiwa