Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2019

Sosialisasi UKBI bagi Tenaga Profesional dan Calon Tenaga Profesional Se-Kota Bandarlampung

Gambar
Pagi itu aku melaksanakan tugas di sekolah seperti biasa, saat pak Riyanto, Kepala Sekolah di tempatku mengajar berkata, "Bu, siap ikut pelatihan hari ini, ya? Surat Tugas sudah disiapkan."  Aku mengangguk dan berkata, "Siap, Pak." Well, kapan lagi bisa ikut pelatihan. Meski aku tidak tahu pelatihan apa yang akan kuikuti, aku yakin pelatihan ini akan membuatku menjadi seorang guru yang lebih baik. So, setelah mengabsen kelas dan memberi tugas, aku meluncur ke Hotel Kurnia Perdana. Tempat pelatihan akan diadakan. Sesampai di sana, aku diterima dengan ramah oleh petugas hotel, dan diarahkan menuju ke lantai 4. Ruang pelatihan. Alhamdulillah. Aku sampai tepat saat acara akan dimulai. Meski aku dapat di bangku paling akhir. Peserta pelatihan sudah memenuhi ruang dan pembawa acara sedang meminta seorang ustadz untuk mengawali acara dengan doa. Aku pun ikut berdoa sambil mengatur nafasku. Aku kan baru sampai. Jadi agak nervous dan ngos-ngosan. Pak Ahrul sedang me

Surat buat Guruku

Gambar
sumber gambar public domain vektor Assalamualaikum warahmatulahi wabarakatuh Selamat Malam, Pak, Bu, Kutuliskan ini sambil menatap bintang, menghirup udara dingin malam yang berhembus di kulitku. Aku tahu, mungkin surat ini pun tak akan sampai padamu karena surat ini akan berhenti di sini. Tertimbun besama surat - surat lain yang kutuliskan padamu. Surat yang kutulis sebagai curahan rasa yang tak mungkin kukatakan padamu, meski waktu berlalu dan ruang kadang mempertemukan dan memisahkan kita. Pak, Bu, malam ini aku memikirkanmu seperti malam - malam lain yang telah berlalu. Aku pun mendoakan kesehatanmu. Semoga kau selalu bisa beraktifitas dengan baik, meski umurmu tak semuda dulu lagi. Pak, Bu, aku tahu aku tak bisa mengatakan betapa aku sayang padamu. Betapa aku berutang budi pada kebaikanmu. Aku masih ingat saat kau membimbingku membaca, dan menghitung. Membantuku belajar mengeja dan mengenal huruf dengan sabar. Tak pernah marah meski aku kadang membuatmu k

Resensi Buku: Inteligensi Embun Pagi

Gambar
Resensi Buku Karya Dee Lestari "Inteligensi Embun Pagi" #Resensi Buku Supernova Episode: Inteligensi Embun Pagi Oleh : Yoharisna Judul Buku   : Inteligensi Embun Pagi Penulis          : Dee Lestari ISBN            : 978-602-291-131-9 Penerbit        : Bentang Harga            : - Tebal buku    : 710 hln, 20 cm Editor            : Adham T Fusama Cetakan         : Februari 2016 Membaca sebuah karya sastra bagiku seperti menjelajahi tanah baru. Dunia baru. Mempelajari hal - hal baru yang belum kuketahui. Mendatangi tempat - tempat eksotis dan misterius yang mungkin tak akan pernah kudatangi, kecuali aku punya uang dan kesempatan.  Membaca pun dapat membawaku jauh menemui khayalan tertinggi. Tak perlu bayar. Gratis. Aku hanya perlu duduk, dan membaca buku di mana pun. Kali ini buku yang kubaca adalah trilogi Supernova,  Inteligensi Embun Pagi. Kisah perjalanan sekumpulan anak manusia yang mencari rahasia di balik Supernova. Buku Inteligensi Embun Pagi y

Part 2

Sofi Angin membelai pipinya. Tak ada yang lebh menyenangkan selain memperhatikan orang yang kita suka. Sofi mendengar ada suara helaan napas. Napasnya sendiri. Matanya mengikuti gerak langkah, senyum dan lekuk bibir Agli. Tak lama kemudian ia mendengar tawa Agli yang diselingi canda teman - temannya. Tawanya seperti musik di telinga Sofi. Rasanya mendengarnya seharian pun tak akan bosan. Seandainya. Ia menghela napasnya lagi. "Agli emang ganteng, ya?" kata Tatiana sambil mengunyah permen di mulutnya. Sofi tak menoleh. Ia tahu Tatiana pun menyukai Agli. "Tapi Dia bukan tipeku. Worries not !" Tatiana mengangkat tangannya dan tertawa melihat mata Sofi yang melotot ke arahnya. "Aku tak khawatir denganmu. Aku khawatir dengan hatimu," Sofi tersenyum. Matanya menatap ke arah Agli, "Bila kamu lebih mengenalnya, kamu pun akan mencintainya. Dia begitu ..." Sofi menghela napasnya. Lagi. Tatiana menggelengkan kepalanya. "Lebih mengenal

Surat Buat Ibu

Bandar Lampung, 12 Desember 2017 Assalamualaikum Ibuku Sayang, Ibu, hari ini kutuliskan surat ini untukmu sambil mendengar rintik hujan yang turun menyentuh bumi. Mengingat hari – hari yang telah kau lalui untuk anak-anakmu. Mengingat bagaimana hari – hari yang kau lalui dalam doa demi anak-anakmu sampai hari ini. Ibu, maafkan aku anakmu ini yang sampai hari ini belum bisa membahagaiakanmu. Maafkan anakmu yang hanya bisa menyusahkanmu. Bu, tahukah kau kalau anakmu ini merasa begitu tak berguna. Tapi, karena ibu, aku harus tetap tersenyum dan tegar menghadapi semuanya. Karena yang ku alami sungguh tak sebanding dengan yang telah kau lakukan dan korbankan demi anak-anakmu. Ibu, masih kuingat saat kau merawat adikku, Yogis yang sakit hingga mengantarnya ke peristirahatannya yang terakhir. Aku masih ingat bagaimana kau menyuapi, memandikan, dan menemaninya hingga ia tertidur sambil berdoa sepanjang malam seperti saat ia kecil. Aku juga masih ingat saat kau ikut memandikan dan

Ratu Menak

Bagian Pertama Raja Raja tertawa. Gemanya menggelegar memekakkan telinga Ratu yang hanya duduk di pinggir kursinya yang reot. Hampir patah. Ratu tak mengira Raja yang ia kenal akan berubah seperti orang asing. Tubuh Raja yang dulu tak sekekar sekarang. Otot - otot lengan yang bertonjolan itu membuat Ratu bergidik. Membayangkan lengan itu menghantamnya. Ia pasti remuk. Seperti kerupuk. Ratu menatap tangannya yang bahkan ia pikir lebih lembut dari tangan Kanjeng, adik perempuannya. Duh, bagaimana caranya membela diri. Sementara jalan keluar dijaga ketat oleh Raja. Pintu satu - satunya terkunci. Kuncinya dibuang Raja ke luar jendela. Jendela yang kini dijadikan tempat bersandarnya. Seandainya Raja tidur. Ratu bisa kabur. Seperti tahu yang ia pikirkan, Raja menatapnya. Matanya merah. Tawanya berubah jadi kekehan yang menakutkan. Gigi yang dulu putih dan rata. Kini hitam dan terlihat tajam. Ratu tak tahu apa yang terjadi dengan gigi Raja.  "Kamu ingin tahu apa yang terjadi

FMCG dan Geliat E-Commerce

Aku bengong melihat seorang bapak berpakaian sederhana membuka tas besarnya. Memperlihatkan tumpukan penuh uang merah. Ratusan ribu. Tanpa sadar aku bertanya," Kerja apa, Pak?" Ia tersenyum dan menjawab,"Jual Rongsokan besi, Bu. Sudah 10 tahun." Aku menelan air ludah di tenggorokanku. Pantes uangnya banyak, pikirku. Lalu, aku mengecek kantongku untuk mengambil uang yang tersisa selembar sepuluh ribu.  Cukup buat bayar es krim yang sudah kupesan pake go-food. Alhamdulillah. Bicara tentang wirausaha yang bisa menghasilkan pundi - pundi uang erat kaitannya dengan kerja keras dan konsistensi. Seperti juga bapak penjual rongsok besi tadi, kita pun harus pintar melihat peluang berbisnis untuk punya usaha yang terus produktif . Belajar dan terus belajar. Boomingnya bisnis  e-commerce  sebagai akibat maraknya penggunaan android, membuka peluang baru yang juga dilirik oleh pebisnis  FMCG . Sebut saja Unilever yang menggandeng Blibli untuk menjawab kompetisi pasar yang m

Bumi Terbakar di Langit Merah Putih

Gambar
Langit memerah dalam gemetarnya pepohonan yang jadi lautan api Asap menyerbu ruang pandang bagi akar rumput yang kini mulai meranggas Kabut yang menyelimuti alam, menyiksa bagiku dan kamu, sang pengelana Menatap lekat pada para pembawa api, pimpinan api, angin dan tanah (24 September 2019) Panas, debu, keringat dan lapar tak mengurungkan niat para pendemo yang berusaha menyuarakan aspirasi rakyat. Menolak RKUHP yang dianggap bermasalah. Tidak demokratis. Bahkan pukul 18.35  menurut berita yang kubaca, pedemo masih berkumpul di depan JCC (Jakarta Convention Center). Panas yang berganti dengan dinginnya malam. Debu, keringat dan rasa lapar telah menempel di kulit. Melekatkan rasa semangat memperjuangkan hak rakyat. Demi perbaikan. Perubahan. Gerakan damai. Gerakan turun ke jalan ini bukan hanya terjadi di Jakarta saja. Hampir semua mahasiswa di daerah pun melakukannya, termasuk mahasiswa di kota tempat tinggalku Bandar Lampung. Rasa kritis dan cinta pada Indonesia membawa pa

Sepenggal Kisah Guru SMK: Rumput yang Tumbuh

Sungguh, mungkin telah kukatakan padamu atau pada diriku sendiri tentang betapa pandainya aku diam dan bicara dalam benakku? Membacamu dengan gerakan mataku. Menerjemahkannya dalam hatiku saja. Sungguh, sulit bagiku untuk bicara meski hanya dalam goresan kata di kertas. Tulisanku membingungkanku. Suaraku sendiri membuatku gugup. Aku terbiasa mengagumi tulisanmu. Membaca karyamu. Mendengarkan suaramu. Mengingatmu. Mengeja tulisanmu tiap malam. Hingga suatu ketika kau memanggilku. Tersenyum padaku dan memintaku menuangkan yang kubaca. Tanganku gemetar. Kakiku terasa kaku. Rasanya aku ingin pipis di celana. Tapi, aku berhasil menulis di papan tulis. Kau tersenyum padaku. Memujiku. Memberiku sebuah keinginan. Kelak aku akan menjadi sepertimu. Seorang guru. Alhamdulillah, hari ini aku bersyukur. Keinginanku telah tercapai. Menjadi seorang guru. Meski bukan guru SD yang sering menghadapi anak - anak yang sering gugup sepertiku. Aku yang mudah gugup dan pemalu ini mengajar di SMK. It's

Kecenderungan Hiburan yang Menjadi Tuntutan Hidup

Gambar
Aku masih ingat saat aku kecil dulu, aku mudah sekali bahagia. Nonton televisi hitam putih senang. Nonton layar tancap juga senang. Bahkan nonton bareng tempat tetangga karena televisi di rumah rusak pun tetap merasa senang. Senang itu simple. Bahagia itu sederhana. Murah. Gratis. sumber gambar: google. TV Jadul Home Lain dulu, lain sekarang. Sekarang kita terbiasa dijejali hiburan tiada henti dari youtube, netflix, fb, ig dan banyak situs medsos lain yang mungkin kamu lebih tahu. Semua media tersebut menawarkan hiburan tak terbatas yang murah dan beragam. Hiburan yang akhirnya memenuhi ruang pikir. Menina-bobokan daya kritis terhadap kecenderungan perubahan yang idealnya tak sehat. Bukankah yang berlebihan itu tak baik? Tapi, pertanyaan kemudian datang. Adakah batasan hal tersebut? Siapa yang memberi batas? Dan, adakah yang terbebas dari batasan tersebut? Atau, apakah itu berlaku pada semua orang? Atau, itu sama dengan hukum yang berlaku pada yang lemah dan meluntur pada yang

Black and White

Mungkin pernah kau dengar term lama Nothing is new under a sun.  Tak ada yang baru di bawah sinar matahari.  Sebuah kisah yang tak pernah baru kecuali dalam hiasan kata dan bumbunya.  Selebihnya, itu bukan yang pertama dan terakhir. Seperti sinar matahari yang bersinar cerah dan bulan yang terus terlihat indah bagi yang sedang bahagia. Dan, terlihat menyedihkan dan menyakitkan bagi yang sedang kecewa dan putus harapan. Banyak cerita yang melatar - belakangi sebuah pilihan atas tindakan sadistic atau heroic.  Cerita yang bisa saja dijadikan alasan. Alasan yang berdasarkan emotional sesaat atau pemikiran dan perencanaan yang panjang. Saat bicara tentang tindakan sadistic yang mungkin terjadi di sekitar kita, mungkin kita jadi teringat kata ASPD (Anti Social Personal Disorder). Kurang familiar dengan kata ini? Jangan khawatir, aku pun begitu.  Tak begitu paham dengan tipe Personal Disorder yang ternyata malah sering ditayangkan lewat berita atau sinetron yang kita tonton. Istilah lain

Cerpen: Awan, Sampaikan Salamku pada Dewi

Tak pernah ada yang mengerti bagaimana rasa rinduku bisa membiru. Memenuhi dada. Anto menghela napas. Memandang ke arah Dewi yang sedang menengadah ke arah langit. Ia tahu Dewi suka sekali memperthatikan awan yang berarak di sana. Entah apa yang ia pikirkan sekarang. Ia tak tahu sebuah bola meluncur dengan deras ke arahnya. Buk! "Dewi , awas!" jerit Anto . Terlambat. Bola tersebut sudah mengenai Dewi yang jatuh di atas tanah. Anto berlari ke arah Dewi dan mengguncang tubuhnya. Tak bergerak. Anto panik dan langsung mengangkat tubuh Dewi yang lemah. "Kang Amin, tolong Dewi. Ia terkena bola  tadi." Dokter sekolah yang lebih senang dipanggil Kang Amin itu mengangguk. Dengan teliti Kang Amin mengecek pupil mata, nadi, dan dahi Dewi . "Dewi tidak apa - apa. Ia terjatuh bukan karena bola. Dewi kelelahan. Sepertinya ia kurang makan dan tidur." Kang Amin tersenyum. Anto melongo. Memperhatikan Dewi yang tergeletak di kasur klinik sekolah. "Sepertinya