Catatan Hidup: Nggak Ada yang Abadi

catatan-hidup-nggak-ada-yang-abadi-proses-merelakan

Jumat kemarin, setelah menjalin kebersamaan selama 11 tahun lebih, Pak Zaki, teman seperjuangan kami memutuskan untuk pindah tugas ke Bengkulu. Rasa sedih dan kehilangan menyelimuti sekolah. Ah, aku teringat pertama kali aku bertemu dengannya di sekolah. 

Rasanya itu baru kemarin. Dan, kini kita harus berpisah. Mataku rasanya panas. Lalu, kuperhatikan beberapa teman mengusap mata mereka. 

Baca juga: Stoikisme dan Gaya Mengajar Guru

Catatan hidup nggak ada yang abadi. Itu sangat aku sadari. Tapi, kok berat sekali ya. Apalagi aku termasuk warga lama di sekolah. Aku sudah mengajar di SMK BLK Bandar Lampung ini sejak tahun 2009, sedangkan beliau di tahun 2012. 

Pertama kali bertugas bersama, aku meminta beliau untuk membantuku jadi seketaris UNBK. Saat itu aku senang sekali, karena kamu adalah orang yang dapat diandalkan. Selanjutnya, tugas-tugas lain pun kamu emban dengan penuh semangat dan rasa tanggung jawab. 

Baca juga: Grit menjadi Seorang Guru Professional 

Untuk itu, aku mewakili teman-teman semua mengucapkan rasa terima kasih terdalam. Semoga Allah selalu memberi kesehatan dan kebahagiaan di mana pun kamu bertugas. Amin.

Catatan hidup Sebuah Pertemuan sebagai awal 

Ngomong tentang hidup, nggak akan pernah berhenti selama kita hidup. Di dalamnya ada sebuah pertemuan sebagai awal dari segalanya. Seperti seorang bayi yang baru lahir, kelahirannya adalah sebuah kisah pertemuannya sebagai awal perpisahannya dengan dunia lain.

Dunia yang sebelumnya menjaganya, yaitu rahim sang ibu. Mungkin, itu sebabnya si bayi menangis. Ia merasa bersedih sekaligus bahagia.


Dalam proses itulah, kupikir bayi pun sudah mengenal dan memahami arti pertemuan sebagai awal dari perpisahan yang lain. 

Seorang bayi harus melakukan sebuah perpisahan yang sulit dengan rahim ibu yang telah menjaganya selama 9 bulan dan melakukan pertemuan dengan dunia dunia asing yang luas yang ia tak ketahui sebelumnya.

Begitulah kehidupan ini, kupikir nggak ada yang dapat mengelakkan diri dari sebuah pertemuan meskipun harus melakukan perpisahan dari hidupnya yang terdahulu. Proses yang nggak mungkin dihindari.

Semua proses dalam hidup kita sebelumnya, harus menjalani perpisahan dari fase sebelumnya agar dapat menapaki fase baru. Kadang prosesnya berjalan mudah, kadang prosesnya sulit dan berliku. 

Hal ini mengingatkanku akan seorang teman yang anaknya pernah mengalami sakit saat bayi. Fase itu, sangat berat baginya. Syukurlah, saat remaja anak itu selalu terlihat sehat dan enerjik. 

Namun, semua urutan itu nggak bisa kita tidak kita jalani. Seperti seorang bayi yang nggak mungkin tahu-tahu mengalami dewasa sebelum melalui proses menjadi seorang remaja untuk menghindari fase labil itu. Kalau pun hal itu terjadi, mungkin seorang ahli akan menyebutnya sebagai ketidaknormalan.

Karena mungkin saja, peristiwa yang menyedihkan atau menyulitkan itu akan menjadikan kita lebih menghargai hidup yang kita miliki saat ini. Kita akan lebih memahami bahwa terkadang kebahagiaan sederhana seperti anak, kesehatan, pekerjaan, dan hal lain yang menurut kita biasa, merupakan barang mewah bagi orang lain. 

Lalu, kita pun jadi manusia yang penuh rasa syukur dan bahagia dengan yang kita miliki sekarang.

Pertemuan sebagai Kebahagiaan Sederhana yang disyukuri

Seperti kemarin, rasanya hati ini masih penuh. Aku nggak pernah tahu bahwa pertemuanku dengan Zaki hari itu adalah sebuah kebahagiaan sederhana. Kenangan berharga yang akan aku syukuri dan simpan dalam hatiku. 

Kelak, kenangan ini akan jadi lembaran harapan ini bisa kubuka ulang sambil tersenyum.

Catatan Hidup Pertemuan dan Perpisahan sebagai Proses Pendewasaan diri


Kata orang, umur adalah sekedar angka. Sedangkan kedewasaan adalah sebuah pilihan. Pilihan yang melahirkan rasa tanggung jawab, hormat, dan kasih sayang. Value yang mewakili wujud utuh kedewasaan.

Kadang aku melihat diriku dan orang di sekitarku. Lalu berpikir sejenak bahwa keberadaan kita hari ini adalah produk dari keputusan masa lalu. Bagi kita yang mampu terus berjalan ke depan, meskipun terseok-seok adalah sebuah kesuksesan.

Sedangkan bagi yang masih terjebak di masa lalu dan hidup dalam penyesalan dengan berkata lirih "seandainya saja", mungkin akan menghadapi proses lebih berat untuk move on. 

Tapi, aku yakin, nggak ada seorang pun yang tetap dan nggak berubah. Yang ada adalah orang yang memilih tinggal, diam, atau bergerak pelan dengan ragu. Bukan karena nggak bisa. Tapi, kadang hidup nggak memberi pilihan. 

Seperti seseorang yang ingin melupakan masa lalunya sebagai seorang korban, anggap saja seorang korban kdrt, tapi rasa cinta dan ketergantungan baik fisik dan mental membuatnya nggak berdaya. 

Namun, pilihan apa pun dalam hidup, yakin aja bahwa nggak ada yang abadi. Kesedihan pun pasti akan berlalu. Meskipun mungkin merasa takut bahagia dan nggak percaya diri karena sering dirundung kesedihan, kita bisa belajar untuk percaya bahwa semua orang berhak dan pantas untuk memilih bahagia.

Lihat aja, malam yang gelap pun akhirnya berganti pagi yang cerah dan terang benderang. Ya kan?

Catatan Hidup Perpisahan sebagai proses Merelakan

Belajar dari pertemuan dan perpisahan dengan Zaki di hari itu, aku pikir bisa jadi merelakan itu pun sebuah proses untuk bahagia. Apalagi, kami tahu bahwa Zaki akan bahagia bisa berkumpul lagi bersama keluarganya di Bengkulu. 

Bahagia melihat kebahagiaan orang lain itu pun proses merelakan yang butuh effort luar biasa. Aku pikir, kita perlu merayakan kesuksesan diri kita saat bisa ikut bahagia melihat kebahagiaan orang lain apa pun kondisi kita.

Ah, ya, aku tahu, itu proses yang berat. Proses yang rasanya merelakan hujan turun saat kita sedang menjemur pakaian. Kita harus ikhlas, karena dalam hidup ini ada beberapa hal yang di luar kendali kita. Hingga, jalan terbaik adalah mengangkat jemuran kita dan menikmati segarnya hujan yang menyiram bumi.


catatan-hidup-nggak-ada-yang-abadi-bergerak

Bergerak Maju dan Berkarya


Untuk itu, aku tahu kalau ketidakpastian bisa jadi alasan kita bergerak maju dan berkarya. Nggak ada waktu untuk berhenti terlalu lama. Alasan yang membawaku dan teman-teman untuk mencoba program CGP (Calon Guru Penggerak) yang bulan ini memasuki Angkatan ke 10. Nggak apa-apa yang penting mencoba ya hehe. 

Apa pun hasilnya nanti, aku bisa memberi contoh pada siswa bahwa kita nggak boleh menyerah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Bullying dan Pencegahan Bullying di Lingkungan Sekolah

Resensi Buku: Inteligensi Embun Pagi

Resensi Novel Kembara Rindu: Dwilogi Pembangun Jiwa