Grit Menjadi Seorang Guru Profesional

grit-menjadi-seorang-guru-profesional

Suaranya lembut. Senyum ramah selalu menghiasi wajahnya. Pak Sujas. Dia adalah guru SD ku. Hingga sekarang  aku masih mengingatnya.

Mungkin, karena kebaikan Pak Sujas itu yang jadi titik awal aku ingin menjadi guru.  Aku ingin seperti Pak Sujas. Sejak itu, kupikir, grit menjadi seorang guru professional adalah asa dan harapan terbesarku.

Apa sih Grit itu? Pentingkah Grit untuk meraih keinginanku menjadi Guru?

Dalam bukunya yang berjudul Grit karya Angela Duckworth, aku terkesan dengan seorang Chia. Wanita yang sukses meraih gelar sarjana di bidang psikologi dengan predikat magna cum laude nilai tertinggi. Ia juga memiliki dua gelar master  di bidang ilmu sejarah dan psikologi sosial, sambil menyelesaikan PhD di bidang organizational behavior dan psychology di Harvard dan PhD di bidang musik.

Nah, aku pun penasaran dengan istilah grit ini. Menurut buku ini,  Grit adalah perseverance. Ketahanan seseorang untuk terus konsisten melakukan pekerjaan yang menjadi passion nya. Grit bisa menjadikan seseorang terus berusaha tanpa lelah, nggak kehilangan semangatnya meski banyak tantangan dan hambatan.

Seperti kisah Cha yang ditulis oleh Angela Duckworth ini. Cha masih mengejar pencapaian dalam bidang   musik. “Mungkin aku memiliki bakat,“ jawab Chia. “Tapi, kupikir, ini lebih dari itu. Aku begitu mencintai music, hingga aku berlatih empat sampai enam jam sehari sepanjang masa kecilku.” Chia juga masih terus berlatih musik sama kerasnya di tengah jadwal kuliah yang ketat.

Bisa dibilang, Chia mungkin seorang yang berbakat. Tapi, Chia pun seorang striver. Orang yang memiliki grit.

Oh, it was me. It was what I wanted. I want to get better, better, and better..

Membaca kisah Chia dalam buku Grit ini, aku membandingkannya dengan kisah hidupku. Perjuanganku untuk menjadi seorang guru professional dengan meraih sertifikasi guru di tahun 2019.  Gelar Gr yang menandakan aku sebagai guru yang kompeten di bidangku.

Proses sertifikasi guru yang panjang menjadikan banyak guru yang belum meraih gelar guru bersertifikat. Di sekolahku saja, baru 13 guru bersertifikasi dari 62 guru yang ada. Beberapa guru bahkan masih ada yang bergelar D3 dan SMA, hingga nggak memenuhi standar untuk mengikuti ujian UKG (Uji Kompetensi Guru).

Memang, proses panjang menjadi guru sertifikasi itu nggak mudah. Seorang guru bersertifikasi biasanya telah menjalani dua proses, yaitu:

  1. Tes UKG yang terdiri dari tes pedagogik dan tes professional
  2. PPGDJ(Program Pendidikan  Profesi Guru Dalam jabatan)

Sebelumnya, proses sertifikasi hanya melalui proses pemberkasan. Proses tes UKG dimulai di tahun 2015 dan pelatihan 15 hari di LPMP (Lembaga Perbaikan Mutu Pendidikan. Saat itu, di tahun 2015, jumlah guru yang lulus tes di sekolahku hanya satu orang dari 20 orang  yang mengikuti tes. Aku termasuk yang gagal.

Aku mengikuti test kedua di tahun 2017 dan lulus. Alhamdulillah. Aku mendapat kesempatan ikut PPGDJ Tahap 1 di UNILA. Proses selanjutnya PPGDJ  terbagi menjadi 2, yaitu daring selama tiga bulan dan workshop selama tiga bulan juga.

Selama proses daring itu banyak suka dukanya. Kesulitan jaringan, tugas yang banyak, dan kelemahanku dalam hal teknis, seperti bikin video pembelajaran. Menjadikan proses ini tantangan tersendiri bagiku. Tapi, aku berusaha semampuku untuk menjalani proses daring ini.

Setelah melalui proses daring, aku mulai mengikuti program workshop di UNILA (Universitas Lampung) di bulan September 2018. Pembelajaran yang diberikan adalah materi pedagogik dan professional, seperti: pair teaching, mikro-teaching dan lain-lain.  Masa workshop ini adalah saat yang menyenangkan.

Nah, proses yang mendebarkan adalah dua tahap akhir PPGDJ ini, yaitu: test mengajar di sekolah yang ditunjuk UNILA. Test ini disebut PPL dan Uji Tes Pengetahuan. 

Saat PPL, aku mendapat jadwal di SMKN 1 Metro.  Lebih dari separuh peserta PPGDJ gugur di tahap ini. Di kelas Bahasa Inggris, ada 10 orang yang nggak lulus dari 30 peserta. Bagi yang belum lulus mendapat dua kali kesempatan lagi.

Menurut data Unila pada Yudisium PPGDJ 2019, kelulusan mahasiswa sebesar 58,26%. Jumlah mahasiswa yang lulus sejumlah 381 orang dari 654 orang mahasiswa yang mengikuti program PPGDJ UNILA Tahap 1.

Nah, bisa terbayang kan proses perjuangan setahun untuk mendapatkan sertifikasi sebagai seorang guru professional? Proses panjang yang melelahkan. Butuh grit untuk dapat melewati proses ini.

 

Mengenal Grit menjadi Guru: Bukan Hanya Talent, tapi Kecintaan

Aku masih ingat saat seseorang  menanyakan apa mimpiku, aku akan menjawab bahwa aku ingin menjadi guru. Keinginanku yang kupupuk sejak kelas 3 SD.

Keinginanku yang besar untuk menjadi guru, menjadikan aku mampu melewati proses yang panjang. Aku pun belajar mengatasi sifatku yang pemalu dan pendiam. Aku juga belajar memahami sifat peserta didik agar aku dapat mengantar siswa mencapai tujuan pembelajarannya.

Sebenarnya, menjadi guru itu nggak menjanjikan kesejahteraan ekonomi kecuali kamu seorang PNS guru bersertifikasi yang rata-rata bergaji di atas Rp2.5 Juta. Ditambah sertifikasi sebesar jumlah gaji, tunjangan kinerja, gaji 13, dan tunjangan-tunjangan lain.

Seorang guru honor di sekolah negeri atau swasta bisa mendapatkan gaji di kisaran Rp 70 Ribu – Rp 350 Ribu sebulah. Itu pun dibayar selama tiga bulan sekali. Menunggu pencairan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Bahkan, seorang teman guru di  daerah pernah nggak dibayar gajinya selama lebih dari 2 tahun.

Nah, guru honor yang sejahtera itu adalah guru honor/ yayasan di sekolah yang bergengsi, seperti: guru SMA Al Kautsar atau SMA Darma Bangsa yang gajinya ada di kisaran Rp 3 Juta – Rp 4 Juta per bulan. Belum termasuk tunjangan kinerja dan prestasi. Tapi, ya itu, persaingan masuk sekolah swasta bergengsi dan PNS guru itu nggak mudah.

So, kenapa seorang guru masih mau jadi guru meski gaji kecil?

Nah, mungkin itu yang disebut grit. Seperti yang dimiliki oleh Lilis, temanku yang mengajar di daerah Mesuji, Lampung. SMP Satuatap yang jauh dari kota. Siswanya hanya terdiri dari 23 siswa saja.

Lilis, temanku itu, tinggal di sebuah ruangan kecil di pasar Mesuji. Jauh dari keluarganya yang tinggal di BandarJaya. Ia juga sulit untuk mendapatkan akses internet. Kalau ada tugas, ia harus pergi ke Brabasan yang berjarak lebih dari 7 km dari tempat tinggalnya. Melewati hutan yang sepi.

Sementara aku yang mengajar di SMK swasta biasa dengan input anak-anak dari kalangan menengah ke bawah. Awal gajiku di sekolah ini sekitar Rp 500 Rb di tahun 2009. Lalu, gaji kami naik pelan-pelan hingga di kisaran Rp 1.5 Juta – 2.5 Juta per bulan. Gaji, yang menurut pandangan umum masih belum mencukupi.

Alasan itu yang membuat banyak guru yang mengundurkan diri, dan memilih profesi lain yang lebih menjanjikan kesejahteraan. Mungkin, itu sebabnya sulit sekali untuk mencari guru teknik. Padahal mereka begitu berbakat di bidangnya.

Paling lama mereka bisa bertahan menjadi guru selama 10 tahun. Lalu, memutuskan untuk berubah haluan ke profesi lain. Menjadi pegawai perusahaan yang bergaji lebih besar atau membuka usaha/ bisnis yang menguntungkan.

Beberapa guru yang bertahan menjadi guru menyatakan alasannya mengajar itu bukan hanya masalah uang. Mereka mencintai pekerjaan ini. Jadi, meskipun pindah kota, profesi yang dipilih tetaplah menjadi seorang guru.

Aku pun jadi menyadari bahwa menjadi guru itu, bukan sekedar talent. Butuh grit. Endurance dan konsistensi dengan pilihan profesi yang dipilih. Apalagi profesi ini punya tanggungjawab besar pada diri sendiri dan Tuhan.

Talent is the sum of a person’s abilities- his or her intrinsic gifts, skills, knowledge, experience, intelligence, judgment, attitude, character, and drive. It also includes her/his ability to learn and grow.

Memang, talent itu dapat membantu seorang guru untuk mengajarkan siswa di bidang tertentu, seperti music, kesenian, dan bidang lain. Namun, talent nggak bisa membantu seorang guru untuk menahan rasa bosan, malas, dan patah semangat yang hadir setelah bertahun-tahun bekerja sebagai guru. Mengingat tugas guru itu adalah rutinitas yang bisa membosankan jika nggak ada inovasi guru dan dukungan dari sekolah.

Diskusi

Profesi seorang guru adalah panggilan jiwa. Grit guru akan memperkuat semangat seorang guru untuk terus belajar dan belajar. Berusaha untuk lebih baik dalam melayani peserta didiknya. Mengantarkan peserta didik menjadi orang-orang berkarakter mulia.

Tugas utama seorang guru nggak sekedar mentransfer pengetahuan dan keterampilan, tapi juga memberi teladan karakter mulia dalam kehidupannya. Grit yang ada dalam diri guru, Insha Allah akan membantu seorang guru untuk terus bersemangat mendidik peserta didiknya. Demi generasi bangsa yang lebih baik. Indonesia jaya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Bullying dan Pencegahan Bullying di Lingkungan Sekolah

Resensi Buku: Inteligensi Embun Pagi

Resensi Novel Kembara Rindu: Dwilogi Pembangun Jiwa