Stoikisme dan Gaya Mengajar Guru di Sekolah


stoikisme-dan-gaya-mengajar-guru-di-sekolah

Halo teman Yoha. Apa kabarmu hari ini? Semoga kamu selalu dalam keadaan sehat dan bahagia. Aamin. 

Anyway, ngomongin tentang kebahagiaan, mungkin sebagian dari kita berpikir bahwa dengan terpenuhinya kebutuhan dasar kita sebagai manusia, pasti orang itu sudah bahagia.

Baca juga: The Playground Short Story Bullying Masa Kecil yang Memengaruhi Masa Dewasa 

Anggapan yang bisa jadi nggak keliru. Tapi, bagi sebagian orang lagi, pemenuhan kebutuhan pokok belum bisa menjadikannya bahagia. Ada hal lain yang nggak bakal pernah terpuaskan, hingga  pemenuhannya bisa jadi syarat untuk kebahagiaannya. 

Apakah hal lain itu?

Salah satunya adalah pemenuhan ambisi dan keinginan

Sayangnya, ambisi atau dalam bahasa sederhana yang bisa aku katakan sebagai 'keinginan untuk mendapat/ mencapai sesuatu' adalah barang 'mahal' yang nggak bakal pernah terpuaskan.

Setuju? 

Eh, nggak setuju juga nggak apa-apa. Bebas kok hehe. Sebagai seorang individu yang bebas, setiap orang berhak memiliki pemikiran sendiri. Hak yang nggak bisa dikendalikan oleh orang lain kecuali oleh aturan masyarakat dan agama. 

stoikisme-dan-gaya-mengajar-guru-di-sekolah

Aku dan Stoikisme 

Untuk itulah kupikir sebagai pendidik yang sudah lebih dari sepuluh tahun mengajar di sekolah vokasi, aku merasa bahwa seorang guru itu perlu mempelajari banyak hal. Termasuk filsafat stoikisme. Sehingga, aku ingin menulisnya begini, " Stoikisme dan Gaya Mengajar Guru di Sekolah."

Kenapa? Karena aku ingin terdengar agak keren hehe. Ah, nggak juga sih wkwkwk. Aku memang keren dari lahir haha.

Anyway, sebenarnya aku menulis ini pun, karena aku prihatin dengan peserta didikku di kelas. Ah, jadi ingin curcol deh. Nggak pa-pa ya. Mumpung curcol itu gratis hehe.

Okey, ceritanya hari itu anak-anak di sekolah bikin aku kesal. Dan, mungkin, emosi yang terpendam dan ekspektasiku yang terlalu tinggi, aku menangis di depan anak-anak. Lalu, buru-buru aku ke belakang kelas, agar guru lain yang sering lewat kelasku nggak lihat. Ya, kalau ada teman guru yang lihat kan nggak enak.

Kasus ini bisa jadi perbincangan yang hangat di sekolah. Selain malu, aku juga nggak ingin anak-anak dianggap sebagai monster kecil oleh guru lain. Lha, gimana nggak, aku sampai menyapu di depan mereka, eh, sebagian anak dengan manisnya tertawa dan ngobrol sambil main game. Nggak peduli. 

Hanya beberapa anak yang nggak tega dan ikut membantuku. Ah, benar-benar seperti kisah di drama komedi gitu ya wkwkwk. 

Lalu, setelah menenangkan diri, aku pun berusaha menasihati mereka dan melanjutkan pelajaran. Sayang, saat pelajaran pun ada anak bersikap seenaknya. Bahkan ada yang berpoto dan bergaya dengan gawainya. Seolah aku nggak ada. 

Padahal, aku kan baru aja menasihatinya. Rasanya pengin nangis dan ketawa bersamaan sambil megang gitar dan nyanyi wkwkwk. Jengkel sekali.

Meskipun tahu dan sadar mereka masih anak-anak yang dunianya adalah bermain, aku kecewa mereka nggak bisa menempatkan diri.

Perasaanku campur aduk. Aku merasa gagal sebagai seorang guru. Perasaan yang sering kualami kalau ekspektasi terhadap kelas nggak tercapai. I felt like to scream aloud and shake them so hard they rattled.

But, somehow I know that I can't control how they act out toward their life

Meskipun, pada akhirnya aku pun konsultasi dengan teman sejawat dan guru BK. Aku nggak ingin masalah ini berlarut-larut. Apalagi, karakter baik anak kan aset utama bangsa ini.

Baca juga: Yuk Praktik Baik Mengantar OYPMK dan Disabilitas Meraih Mimpi

Dalam obrolan sesama guru, keprihatinan terhadap merosotnya akhlak anak-anak jadi tema yang nggak ada habisnya. 

Ah, aku berpikir bahwa penguatan karakter adalah  PR besar bagi semua guru dan orang tua serta masyarakat sekitar. Kendali eksternal yang tidak ada di tanganku.

Inilah yang kusadari sekarang merupakan dimensi dari aliran filsafat Stoikisme. Aliran yang mengajarkan seseorang untuk dapat mengontrol emosi negatif dan respon kita terhadap emosi tersebut.

Karena mungkin saja, kisah anak-anak ini pun adalah suatu kebaikan padaku. Bukan keburukan. 

Stoikisme

Kalau menurut Dr. Fahruddin Faiz dalam channel Youtubnya yang bertajuk Bahagia ala Stoikisme, ia mengatakan bahwa segala sesuatu itu sudah ada garisnya. So, menerima apa pun yang terjadi adalah yang terbaik.

Aliran yang digaungkan pertama kali oleh filsuf Yunani dari Citium, Zeno ini juga menjelaskan bahwa kita dapat menghargai dan mensyukuri apa yang kita miliki saat ini. Hidup di masa sekarang. Nggak overthinking dengan masalah atau pencapaian yang nggak terselesaikan di masa lalu, karena itu ada di luar kendali kita. So, Menerima keadaan adalah jalan terbaik.

Karena dalam Stoikisme, apa yang terjadi itu adalah yang terbaik. Nggak peduli itu bencana alam, angin ribut, atau kemalangan lain, semuanya adalah hal terbaik bagi kita.

Aku, Guru, dan Stoikisme

Seperti seorang guru yang telah berusaha melaksanakan pembelajaran di kelas sesuai rencana pembelajaran yang telah ia buat, tapi nggak atau belum mencapai target sesuai harapan. Ia nggak perlu merasa gagal, kecewa, marah, atau sedih, karena hasil dari proses pembelajaran bukan di bawah kendali guru sepenuhnya. 

Ada faktor lain yang harus jadi daya dukung keberhasilan proses belajar mengajar di kelas.

Seorang guru, aku pikir, sama saja dengan profesi lain. Kita hanya bisa melakukan pekerjaan sebaik mungkin. Nggak bisa terlalu berambisi dengan hasil sempurna seperti ekspektasi, karena seperti yang dikatakan oleh Ferry Irwandi dalam channel Youtube-nya, "Terlalu berambisi itu bikin saya capek."

Hasil akhir dari proses belajar yang aku praktikkan,  hanya bisa diprediksi dengan mempertimbangkan kesiapan guru, kelas, dan siswa. Problemnya, ada banyak faktor yang bisa mempengaruhi ketercapaian tujuan pembelajaran. 

Aku sih membayangkan seorang guru SMK yang kebagian mengajar anak-anak yang 'special' ini, lalu merasa stress setiap mengajar dari satu kelas ke kelas lain. Dan, guru itu masih terus berusaha untuk mengajar dengan baik selama bertahun-tahun. 

Integritas dan rasa tanggung jawab membelenggunya untuk tetap melaksanakan kewajibannya. Namun, pertanyaannya, Apakah ia akan menikmati pekerjaannya? atau Apakah ia bahagia saat mengajar dan menemui anak-anak di kelas? Aku takut, jangan-jangan beliau merasa takut dan tertekan saat masuk ke kelas dan merasa lega saat proses mengajar telah usai. Seperti beban yang lepas dari pundak.

Selanjutnya, bagaimana anak-anak bisa menyerap pelajaran kalau gurunya aja merasa tertekan? Ah, pertanyaan yang masih begitu banyak ini menyekat tenggerokanku saat memperhatikan diriku dan teman sejawat lain. 

Jangan heran ya, kalau sering mendengar seorang guru mengeluh capek saat usai mengajar. Keluhan yang kerap kudengar saat ada di ruang guru hehe. Awalnya aku merasa terpengaruh juga, tapi sekarang sih biasa aja hehe. Bahkan aku bisa ngobrol dengan santai ngomongin masalah pelik ini sambil makan camilanku wkwkwk.

Namun, sambil tertawa dan ngobrol ngalor ngidul tentang anak-anak, aku berpikir.

Bagaimana efeknya jika sang guru nggak menerima bahwa ada faktor dalam mengajar yang nggak bisa ia kendalikan? Ia pun sibuk mengeluh, marah, Dan, ia secara permanent nggak bahagia saat mengajar. Kasian kan? 

Rasanya aku ingin mengurut dada memikirkan ini.

Aku khawatir, beliau akan mengalami burn out, stress berat, atau yang paling berat adalah bosan dan 'nggak peduli'. Manusiawi aja kan? Seseorang itu memiliki batas kemampuan untuk menahan diri. Belum lagi, akibat suasana perasaan 'negatif' guru ini pun bisa memberi imbas terhadap proses pembelajaran di kelas.

Gaya mengajar guru di kelas bisa nggak lebih baik dari gaya belajar zaman dulu. CBSA atau catat buku sampai abis. Guru hanya datang, absen, dan memberi tugas pada anak untuk mencatat. Lalu, pelajaran pun usai. Bahkan, ada juga yang hanya mengirim tugas lewat gawai anak. Sementara gurunya sibuk ngobrol di ruang guru atau makan di kantin. 

Ah, kok aku buka kartu guru yang malas ya hehe. Tapi, jangan khawatir, guru baik dan keren dengan integritas luar biasa pun masih banyak kok. Seperti aku yang masih berusaha untuk jadi guru baik, meskipun tantangannya seabrek. 

Kok, jadi memuji diri sendiri wkwk. Ah, nggak kok, aku hanya berpikir positif tentang diriku. Boleh kan?

Seperti aku yang berusaha berpikir positif terhadap peserta didikku.

Kenapa? 

Karena aku yakin bahwa anak-anak ini masih membutuhkan perhatian dan bimbingan. Insya Allah, dengan kesabaran dan doa, anak-anak ini bisa jadi penerus bangsa yang berakhlak mulia. Aamin.

Lalu, bagaimana cara guru mengatasi burnout?

Mungkin itu gunanya refreshing ya hehee. Kalau di sekolah, biasanya per tiga bulan kami mengadakan jalan-jalan bareng seluruh guru dan karyawan sekolah. Tujuan wisata di Bandar Lampung kan banyak, seperti: Pantai Mutun, Pantai Ringgung, dan lain-lain.

Kami pun biasa berwisata belanja di pasar tempel yang terletak di depan sekolah. Dekat, murah, dan becek hehe. Dijamin asyik buat bikin kenyang mata dan perut wkwkwk.

Namun, terlepas dari refreshing yang mungkin dapat menenangkan, aku pikir, itu bukan pemecahan dalam jangka panjang. Sebagai guru, aku pikir perlu memahami bahwa ada dua dimensi dalam hidup ini, yaitu faktor internal diri yang dapat kita kendalikan dan faktor ekstenal yang nggak bisa kita kendalikan. Dimensi yang terdapat dalam aliran Stoikisme ini.

Karena itulah, belajar aliran filsafat ini pun dapat memberi menfaat bagi guru agar merasa lebih tenang dan bahagia dalam mengajar. 

Kalau guru bahagia dalam mengajar peserta didiknya, pasti anak-anak ini akan jadi pribadi yang juga bahagia ya kan? Mereka pun akan lebih tenang dan nggak mencari perhatian lewat aktivitas yang membahayakan dan tidak berfaedah seperti tawuran.

3 Prinsip Hidup Stoikisme yang Berusaha Kupraktikkan di Kelas

Saat PPG di tahun 2017, seorang guru kami, Prof. Bambang mengatakan bahwa guru mempunyai otoritas penuh terhadap kelasnya. Seorang guru dapat melakukan eksperimen dalam pembelajaran sesuai dengan target belajar yang disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. 

Saat itulah, aku mulai menyadari bahwa setiap guru memiliki gaya mengajar yang berbeda. 

Lalu, aku merefleksikan gaya mengajarku di kelas yang termasuk dalam gaya interaksional. Gaya mengajar yang memiliki prinsip student-centered. 

Sayangnya, seperti hal lain di dunia ini, gaya mengajarku ini pun memiliki kelemahan. Salah saatu kelemahannya adalah cara mengajar ini nggak bisa menjangkau kebutuhan semua peserta didik. Apalagi jumlah peserta didik di sekolah yang berkisar 20-32 siswa. Belum lagi, input yang dan daya dukung siswa yang belum maksimal.

Terkadang, aku menemukan kelas dengan input dan daya dukung yang rendah, hingga saat aku masuk kelas pun kondisinya belum siap belajar. Yups, mereka sering aku temukan tertidur di atas meja, padahal masih jam 9 pagi. Kata mereka sih, kami lapar, Bu. Jadi, kami ngantuk. Lalu, dengan rasa iba di dada, aku memulai pelajaran. 

Ah, rasanya nggak bisa ngomong apa-apa.

Tapi, show must go on. Hidup harus terus berjalan. Proses pembelajaran harus terus dilanjutkan. Apa pun yang terjadi.

Kemudian, dalam refleksi pembelajaran hari itu, aku pun menulis. Apa yang harus seorang guru lakukan untuk membantu peserta didiknya? Tentunya, aku nggak bisa sendiri. Dibantu dengan wali kelas dan guru lain, kami terus mengingatkan anak-anak untuk membiasakan diri dengan sarapan pagi. Upaya sederhana yang perlahan meengubah suasana kelas. Sekarang, anak-anak tampak lebih enerjik. 

Mereka kini senang berlarian ke sana kemari persis anak SD wkwkwk. Aku bahagia mereka kini lebih semangat untuk belajar, meski beberapa jam kemudian mereka bilang kalau sudah ngantuk dan lapar lagi wkwkwk.

Anyway, kamu pasti penasaran dengan 3 prinsip hidup sederhana ala Stoikisme yang kupraktikkan di kelas ya? Eh, iya, meski aku bukan seorang Stoik, aku pikir mempraktikkan filosofi ini pun bisa jadi solusi untuk jadi guru bahagia. Apa pun itu yang penting nggak melanggar syariat agama ya?

1. Mengendalikan apa yang ada dalam kendaliku. Seperti saat menasihati anak-anak di kelas, aku nggak perlu kesal, sedih, atau bosan dengan respon mereka yang cuek atau marah. Sebagai guru, aku harus mengerti dan mendoakan mereka. Ikhlas dengan apa pun yang aku lakukan. 

2. Mengharapkan yang terbaik, tapi mempersiapkan skenaario yang terburuk. Ah, jadi ingat dengan ATP-ku. yang gagal total. Eh, ATP itu Alur Tujuan Pembelajaran untuk kurikulum merdeka. Sama dengan RPP atau Rencana Peelaksanaan Pembelajaran di kurikulum 2013 . Keduanya ya hampir sama, bedanya hanya untuk ATP itu lebih simple aja. Eh, jadi ngomongin ATP ya haha. 

Okey, sekarang tuh kalau aku gagal dengan ekspektasi target pembelajaran, aku nggak begitu kecil hati. Mengalir aja. Aku terus mengajar, reflesi diri, dan memperbaiki gaya mengajarku lagi. Saat sukses, aku senang, tapi saat belum berhasil pun aku nggak patah arang. Tetap senang aja sambil konsultasi dengan teman guru lain agar pembelajaran berikutnya bisa lebih baik.

3. Melatih diri untuk menciptakan energi yang sehat terhadap sekitarku. Yah, sederhananya sih, aku berusaha untuk nggak terlalu sering mengeluh. Kalau ada masalah di kelas terkait siswa, aku akan diskusi dan mencari solusi terbaik agar masalah ini nggak menghambat pembelajaran di kelas. 

Stoikisme dan sekilas tentang anak-anak di sekolah

Setelah belajar tentang stoikisme, aku makin menyadari bahwa aku adalah orang yang beruntung. Selain bisa mengajar di sekolah vokasi dengan beragam karakter peserta didik yang memperkaya diriku, aku pun makin mengerti bahwa potensi diri manusia itu bisa terus dikembangkan selama hidupnya asalkan ia mau.

Lalu, ingatanku pun melayang bertahun silam. Aku ingat peserta didik kami yang luar biasa 'nakal'. Sehingga, hampir semua pelanggaran sekolah telah dilakukannya. Termasuk melawan guru. Sehingga, hampir semua guru berharap anak tersebut dikembalikan pada orang tuanya.

Namun, seorang guru, wali kelasnya tetap berusaha membelanya. Ia bilang kalau anak ini nggak bersekolah, ia akan jadi apa? Maka, kami pun luluh. Untungnya, anak tersebut masih mau mendengarkan wali kelasnya. 

Dan, peristiwa itu pun terjadi. Menurut wali kelas itu, si anak tangannya patah. Saat itu sudah mendekati ujian, jadilah wali kelas dan penguji yang membantu si anak menyelesaikan test-nya. Alhamdulillah, anak tersebut akhirnya bisa lulus. Kabarnya, ia kini jadi Satpol PP dan sudah berkeluarga. Bahkan anak itu sering menemui wali kelasnya sambil mengucapkan terima kasih.

Akhir yang menyenangkan ya? Kadang, kita nggak pernah tahu nasib seorang anak. Aku pikir, tugas guru bukan hanya mengantarkan anak-anak baik untuk meraih masa depannya, tapi juga membantu anak-anak bermasalah untuk mendapatkan hak yang sama dengan anak lain. 

Artinya, anak-anak itu adalah sama di mata seorang guru. Mungkin, mereka berbeda pun karena latar belakang keluarga yang membentuk anak-anak itu. Benar kan?

Ah, ngomongin tentang anak-anak kupikir sampai ribuan halaman pun nggak akan cukup wkwkwk. Tugas ini adalah amanah milik semua orang yang harus dipikul bersama-sama. 

Stoikisme dan Gaya Mengajar Guru di Sekolah

Seperti yang kita tahu, guru itu memiliki gaya mengajar yang pastinya disesuaikan dengan kebutuhan peserta didiknya. Kita juga mengenal bahwa ada beberapa gaya mengajar yang telah dikelompokkan menjadi authoritative, demonstrative, fasilitator, delegator, dan hybrid.

Aku nggak akan membahas satu-persatu gaya mengajar guru ini, karena pasti kamu akan bosan wkwk. Seperti anak-anak yang diajarkan dengan gaya mengajar authority selama 4 jam tanpa henti,  mungkin kamu akan tidur hehe. 

Aku hanya mau bilang bahwa seperti yang disampaikan oleh Prof. Bambang, "Ruang kelas adalah milik seorang guru. Ia bisa mengajarkan peserta didik dengan cara apa pun asalkan peserta didik beroleh manfaat bagi hidupnya dari pembelajaran itu."

So, seorang guru dapat mengharapkan yang terbaik dari peserta didiknya, tapi mereka harus mempersiapkan skenario alternatif untuk pembelajaran di kelas. In case, rencana pembelajaran pertama nggak berhasil. Yah, aku sih selalu berusaha bereksperimen di kelas agar anak-anak mencapai tujuan pembelajaran hari itu. The rest is just enjoy the process!

Begitu aja, sih. Nah, gimana dengan kamu?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Bullying dan Pencegahan Bullying di Lingkungan Sekolah

Resensi Buku: Inteligensi Embun Pagi

Resensi Novel Kembara Rindu: Dwilogi Pembangun Jiwa