Bagaimana Menjaga Kesehatan Mental Jika Kamu Hidup Bersama Penderita Penyakit Jiwa?

bagaimana-menjaga-kesehatan-mental-jika-kamu-hidup-bersama-penderita-penyakit-jiwa


"Gimana kondisinya, bu? Masih ada suara-suara?" Dokter itu bertanya pada ibu yang hanya memandanginya dengan tatapan kosong. Kulihat ibu itu hanya tersenyum dan mengangguk. 

Lalu, ibu  itu mulai meracau tak karuan. Dan, keluarga yang menuntunnya pun menjawab pertanyaan rutin yang ditanyakan dokter setiap bulan.

"Minum obatnya rutin kan, Pak bu? Tidurnya gimana?" Dan, keluarga pasien pun menceritakan kondisi pasien sehari-hari. 

Adegan ini adalah kisah nyata yang mungkin harus kamu jalani seumur hidupmu jika kamu atau salah satu anggota keluargamu menderita penyakit jiwa. 

Hingga, mungkin, kamu perlu tahu cara agar kamu selalu sehat. Karena, jangankan orang yang memiliki gangguan penyakit jiwa, orang yang sehat pun, mungkin, bisa sakit jika dirundung masalah hidup. Ya kan?

Jadi, bagaimana Menjaga Kesehatan Mental Jika Kamu Hidup Bersama Penderita Penyakit Jiwa? 

Dan, aku nggak cerita sebagai seorang petugas kesehatan, dokter, perawat, atau pun orang-orang yang bekerja di rumah sakit. Tapi, sebagai seorang teman, saudara, kakak, dan tetangga orang dengan gangguan jiwa. 

Yup, salah satu dari saudaraku menderita penyakit gangguan jiwa. Schizophrenia. F20. Penyakit yang diderita oleh sekitar 24 juta orang di seluruh dunia. 

Artinya, saudaraku ini adalah satu dari angka statistik ini. Angka yang mungkin nggak berarti apa pun bagi yang nggak mengalami. Tapi, angka ini akan membuat hidupku berbeda dari orang lain.

Pengalaman menemani berobat di RSJ Pesawaran 

Aku sudah nggak ingat lagi moment pertama kali aku mengantar saudaraku ini ke rumah sakit. Aku hanya ingat, aku duduk di bangku belakang mobil angkot berwarna biru.

Mobil yang disewa ibu dengan hasil jualan di pasar. Hari itu, perasaanku nggak karuan. Melihat wajah ibu yang khawatir. Wanita hebat ini nggak pernah kulihat menangis. Tapi, aku tahu, hatinya sedih melihat kondisi anaknya yang sakit.

Sungguh, kata-kata nggak ada yang dapat melukiskan rasa yang seakan menusuk di dadaku ini.

Tapi, aku melihat wajah-wajah orang di rumah sakit. Aku nggak merasa sendiri. Bukan. Aku bukan merasa senang orang lain merasakan kesedihan seperti yang kami rasakan.

Aku hanya berpikir bahwa semua orang di dunia ini diuji dengan ujian yang berbeda. Dan, aku percaya ujian ini pun membuktikan bahwa Allah sayang.

Meskipun, sambil menuliskan ini pun, air mataku pun menggenang di pelupuk mataku. Dan, menetes di pipiku.

Sering aku lihat pasien baru yang datang diantar oleh keluarganya. Nggak heran, rumah sakit makin penuh sesak aja. Gimana nggak? Satu pasien kadang diantar oleh lebih dari lima orang. 

Dan, antrian pasien bisa lebih dari 100 orang. Sedangkan, angka 100 ada 6 karena di rumah sakit Jiwa Pesawaran ini ada 6 dokter jiwa. Nah, kamu bisa bayangkan kan ramainya? 

Belum lagi kalau ada pasien yang menyanyi, tertawa-tawa atau ngamuk? Ya, aku sering lihat pasien ngamuk. Banting kursi atau sekedar menangis sambil teriak-teriak. Untungnya, petugas langsung sigap membantu menenangkan.

Ah, jika kamu berkunjung ke RS ini, aku pikir kamu akan rasakan suasana yang beda jika kamu datang ke rumah sakit bersalin. Percayalah..

Bagaimana Menjaga Kesehatan Mental Jika Kamu Hidup Bersama Penderita Penyakit Jiwa?


Lalu, jika kamu tanyakan bagaimana menjaga kesehatan mental jika kamu hidup bersama penderita penyakit jiwa 24 jam penuh selama 7 hari, mungkin kamu bisa tanyakan pada ibu, kakak, adik, atau caregiver pasien di rumah.

Dan, mungkin jawabannya hanya dua menerima dan sabar. Kenapa? Itu karena..

1. Menerima kondisi bahwa pasien sakit dan harus diobati adalah awal proses menjaga kesehatan diri kita sebagai caregiver. Karena self-denial itu justru bisa memperburuk kondisi pasien.

Aku ingat dengan kondisi seorang pasien yang nggak dirawat keluarganya. Mereka menolak mengakui bahwa pasien ini sakit dan harus dirawat. 

Dan, sedihnya, kudengar pasien ini kabur dari rumah. Hingga hari ini, nggak ada seorang pun yang tahu keberadaan pasien ini.

Aku pikir, kondisi menerima ini pun akan memudahkan caregiver untuk menjaga kesehatan fisik dan mentalnya. Karena percayalah, menjaga pasien ini nggak cuman lelah fisik. Tapi juga lelah mental.

Dan, aku juga percaya, suasana mental caregiver atau kondisi keluarga pasien yang buruk pun bisa memperburuk kondisi mental pasien. 

Nah, kalau keluarga yang sehat mental marah-marah atau kesal pada pasien, kamu bisa bayangkan respon pasien yang memang punya gangguan jiwa. 

Nggak terbayang? Ya, kamu bisa ajak ngomong dengan galak orang yang lagi lapar, nggak punya uang dan banyak utang, dan sakit gigi bonus sakit kepala. Nah, responnya mungkin seperti itu. 

Bedanya, mungkin orang normal akan merasa menyesal setelah respon terjadi. Sedangkan, pasien gangguan jiwa mungkin nggak ingat atau sadar dengan apa yang mereka lakukan. Hingga, mereka mungkin nggak akan menyesal.

Dan, kalau pun mereka ingat, odgj mungkin akan merasa tertekan, murung, dan rendah diri. Efeknya, ya.. kondisinya makin memburuk. 

Jadi, menerima dengan ikhlas atas penyakit ini adalah salah satu cara menjaga diri kita. Tentunya ya kondisi penyerahan diri pada Allah ini diiringi dengan ihtiar berobat agar sembuh.

Dan, kalau sudah menerima, kamu bisa atur jadwal merawat pasien. Kamu bisa ajak anggota keluarga lain untuk ikut membantu menjaga atau menemani pasien. Hingga, kamu pun bisa memiliki me time. Breathing time.

2. Langkah kedua adalah sabar. Kalau kata dokter sih. "Rajin minum obat. Nggak usah pikirin penyakitnya. Dilawan.." 

Menurutku sih, ucapan dokter ini pun berlaku buat caregiver atau keluarga pasien. Sabar menerima kondisi dengan rajin mengingatkan pasien minum obat tiap hari. Nggak boleh merasa bosan. 

Karena kamu tahu, pasien penyakit mental ini hidupnya tergantung obat. 

Memang, dalam beberapa kasus, aku pernah melihat ex-pasien F20 yang tidak konsumsi obat setiap hari. Tapi, kasus ini nggak banyak. Dan, mereka tetap harus kontrol ke dokter secara rutin untuk memantau kesehatan mentalnya.

Khawatirnya, kalau tidak kontrol atau berobat, saat pasien tiba-tiba kumat, kondisinya bisa membahayakan diri pasien atau orang di sekitarnya.

Lalu, gimana saat àda berita buruk yang terjadi di sekitar kita? Apakah kita harus filter sebelum disampaikan ke pasien? 

Hidup itu terjadi karena ada kematian. Ada pembandingnya. Ya kan? Begitu pun berita buruk itu ada karena ada berita baik. 

Jadi, kita pun harus menyampaikan berita buruk yang terjadi di sekitarnya. Ceritakan apa adanya. Pelan-pelan. Nggak perlu penuh emosi. Kita harus menjaga emosi kita dengan baik.

Santai aja. 

Lalu..

Apakah menjaga kesehatan mental jika kamu Hidup Bersama Penderita Penyakit Jiwa itu mudah?


Jawabannya adalah tidak mudah. Tapi, kondisi ikhlas dan sabar menerima kondisi adalah jalan terakhir dan terbaik yang bisa kita lakukan. 

Bukankah saat kita nggak bisa mengubah kondisi, kita hanya bisa menerima dan bersabar menghadapinya? 

Seperti ucapan saat hujan turun dan kamu nggak bisa menghentikannya, kamu hanya bisa terus berjalan di bawah payung dan hujan. Ya kan? 

Dan, aku suka sekali kata-kata ini. All is well. Semua pasti berlalu. La tahzan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pendidikan Karakter Siswa SMK : Oase yang Hampir Hilang

3 Tips to Speak English

Keseruan Kunjungan Industri Jakarta Jogja SMK BLK Bandar Lampung 2022