Postingan

Persahabatan, Bukan Obat Luka, Hanya Penawar Rasa

Gambar
Pernah kukatakan pada diriku sendiri, bahwa hidup itu tak bisa sendiri. Harus berteman. Memiliki pasangan. Seperti semua mahluk di atas bumi. Lalu, kenapa aku masih sendiri? Masih belum punya pasangan. Ah, jawabnya masih ada dalam doaku. Aku yakin, semua mahluk ada pasangannya. Termasuk aku. Bicara tentang pasangan, kupikir tak lepas dengan kata teman atau sahabat. Ya, teman. Seperti koin. Teman dan sahabat ada di salah satu sisinya. Kenapa kubilang begitu? Mungkin karena kupikir teman selalu ada saat senang dan sahabat selalu ada saat susah. Mungkin begitu. Ini menurutku, lho. Meski kuyakin semua orang punya pendapat beda. Tak mengapa. Beda itu bagus. Mengingatkanku kalau kamu ada. Okey, kalo aku mikirin tentang teman, maka akan bertumpuklah nama dan wajah di benak dan pikirku. Aku saat ingat pada nama - nama itu, saat senyumku lebar dengan piring penuh makanan yang siap kubagi. Aku tertawa bersama dan bahagia pernah mengenal mereka. Hidup ini terasa berwarna jika aku duduk b

Bara Media Sosial Meretas Asa di Ajang Pemilu 2019

Gambar
Bara Media Sosial Meretas Asa di Ajang Pemilu 2019 Kalau mau jujur, aku sih nggak begitu tertarik dengan dunia politik.   Tak berniat untuk berpartisipasi di ajang Pemilu ini. Toh, mau siapa pun yang memimpin negara ini, hidupku ya begini. Tak berubah. Bara pun sudah mati. Seperti semangat para wakil rakyat yang hilang saat terpilih. Yah, begitu kupikir. Tapi, ucapan seorang pembicara di acara Workshop dan Kompetisi Jurnaistik di Eatboss Café (31 Maret 2019) mengubah cara pikirku. Mengubah rasa pesimisku terhadap Pemilu yang katanya dapat merubah Indonesia. Negeri yang kucintai ini. Okey, akan kuceritakan apa yang kupahami di acara yang berlangsung seminggu yang lalu ini. Memang agak telat sih, tapi kupikir ceritanya masih belum basi. Pemilu kan masih beberapa hari lagi. Jadi masih relevan untuk dibaca (ngarep hehe). Dan, supaya kelihatan agak greget, tulisanku ini kuberi judul, ’ Bara Media Sosial Meretas Asa di Ajang Pemilu 2019’ Baiklah, tanpa membuang kata d

puisi

Memetik Bulan Sayang, aku tau kamu sedang tidur Tapi kamu tidak mati, kan? Seperti lalat yang ditepuk sepatu ibu itu Sekarang tergeletak di lantai, tak bergerak Sayang, kamu masih bernapas ? Mengapa tak kulihat deru ombak di dadamu Hanya lamat suara sengau dari hidungmu Menggelegar membelah siang yang terang Sayang, kamu masih bisa berjalan ? Kenapa tak kulihat derap langkahmu ? Kenapa juga larimu tak sekencang dahulu ? Apakah kakimu telah diamputasi ? Sayang, sungguh mati aku menunggumu Tetapi, kenapa jam di tanganmu seperti mati ? Bahkan sepertinya kau pun tak ingat akan nama mu Nama yang kau ucapkan hingga aku memujamu Sayang, namamu terlanjur ada di hatiku Aku tak bisa lupa saat angin menderu menyebutmu Membisikkan janji tentang matahari di saat malam Mengatakan bahwa bulan pun kan kau petik untukku Sayang, aku tetap mencintaimu sedalam lautan Yang buihnya kini teracuni limbah pabrik milikmu Yang ikannya kumakan dan masuk

Terima Kasih Pak Zakiy

Gambar
Hari ini pun berlalu lagi. Seperti kemarin. Kulihat pak Zaki menyiapkan anak - anak untuk mengikuti UNBK hari ke empat. Hari terakhir. Alhamdulillah. Dadaku berdegup. Merasakan betapa perjuangan pak Zakiy dan teman - teman untuk mempersiapkan UNBK sudah begitu maksimal. All out. Sungguh, aku kagum dengan keteguhan tim yang begitu solid ini. Meski begitu banyak masalah, semua dihadapi dengan senyum.

Puisi Bumi Pilu

                        Bumi Pilu Saat kukatakan padamu bunga akan mekar dan layu Bumi merenung Kau tersenyum dan berbisik 'Bagaimana bisa aku tahu, jika mata ku buta dan telinga ku tuli? Aku pun tak bisa rasakan angin yang berhembus, Aku mati rasa, katamu lagi Lalu, aku memandangmu dan berbisik lagi Jadi, bagaimana kamu bisa mengerti yang kukatakan? Kau tersenyum, dan berkata Benarlah mataku  buta, dan telingaku pun tuli. Bahkan, indraku pun mati rasa Tapi, hatiku seterang matahari Hingga ku dapat melihat dan mengerti dirimu Sepanas api yang membakar diriku Hingga dingin malam tak terasa Membakar rasa marah jadi doa Pada-Mu agar ku jadi lebih dekat Mengingat angin yang pernah meniup lembut kulitku Hingga ku bersyukur Yoharisna Bandar Lampung, 29 Maret 2019

Resensi buku karya Neny Suswati ‘Hafizd Rumahan’

Gambar
Resensi buku karya Neny   Suswati ‘Hafizd Rumahan’ 10 Maret 2019 #Resensi Buku ‘Hafizd Rumahan’ Kisah Keluarga Inspiratif, Mendobrak Pemahaman Milenia tentang Pendidikan Anak Oleh : Yoharisna Pendidikan di jaman milenia ini merupakan kata kunci meraih kesuksesan hidup. Pendidikan juga yang dapat mencerahkan kehidupan manusia, mencegah manusia jatuh dalam keterpurukan hidup. Menuntun manusia kepada jalan kebaikan. Jalan menuju Allah. Kata milenia sendiri, tak terpisah dengan generasi Y yang lekat dengan produk teknologi high end-nya, seperti gawai. Teknologi yang mengajak manusia untuk hidup lebih mudah, nyaman dan efisien. Teknologi yang memudahkan anak – anak mengakses pendidikan dengan mudah. Teknologi yang tanpanya, menurut kaum milenia, pembelajar dianggap tertinggal. Sayangnya, produk teknologi manusia juga mengalihkan perhatian manusia dari tujuannya dalam hidup, yaitu beribadah pada Allah. Pemikiran ini menjadi pertimbangan keluarga Abdurrohim dan Sit

Lampung Hijab Fair Day 20!9

Gambar
Acara Lampung Hijrah Fair yang di adakan di Balai Krakatau dari tanggal 1 -3 Maret 2019 ini berlangsung lancar. Aku sendiri ikut acara ini pada hari terakhir, minggu 3 maret 2019. Acara ini berlangsung hikmat di dalam gedung yang nyaman. Ustad pembicara sesi pertama ada 4 orang yaitu, ustad Mario, ustad Sukron, ustad Firman dan ustad Abizar.

Melawan Malasku

Gambar
Sudah lama juga aku nggak nulis di blog ini. Hampir 20 hari. Entah kenapa, rasanya malas sekali. Yup, mood ku hanya berputar di membaca teks. Tapi, aku sudah niat untuk menulis dengan tekun. So, sekarang aku membuka hp ku dan mulai mengetik. Menuangkan isi hati ini. Ngomong - ngomong soal mood nulis yang menghilang, pastilah udah biasa. Ngomongin soal cara ngelawan rasa malas, jawabannya pun pasti udah ada. Tapi, menulis tentang cara mu sendiri melawan malas, pasti beda  Maksudku, kamu pasti punya cara unik milikmu sendiri melawan rasa malasmu. Aku pun demikian  Aku punya cara khas untuk melawan rasa malas menulisku. Ya, aku melawannya dengan membaca. Dan, aku menulis resume bacaanku dalam tulisan sederhana.  Simple, kan? Gimana dengan kamu?

Harapan Di Balik Tsunami

Harapan Di Balik Tsunami Selat Sunda Dibalik semua peristiwa, pastilah ada hikmah. Seperti juga Tsunami selat Sunda yang memakan korban jiwa 431 (Sabtu, 29/12/2018) dengan 15 orang hilang, 46.646 mengungsi, 7200 orang luka, 1.527 rumah rusak (70 rumah rusak berat, 181 rumah rusak ringan, 78 penginapan dan warung rusak dan 432 perahu dan kapal rusak). Bencana yang membuat banyak orang atau organisasi yang terketuk hatinya dan  berbondong - bondong untuk mengulurkan bantuan untuk meringankan beban korban. Menggenggam tangan korban untuk lekas pulih dan bangkit menata hidup.  Bantuan pemerintah pun mengalir untuk meringankan beban korban Tsunami, sebagai berikut; Menteri Puan beserta rombongan yang datang di lokasi bencana di Desa Way Muli dan Desa Cugung di Kalianda, Selasa (25/12/2018), menyatakan akan memberi bantuan hunian sementara bagi korban Tsunami. Pemerintah juga, lanjutya, akan memberi santunan 15 juta bagi korban meninggal dunia. Menteri Badan Usaha Milik Ne

Singkong

SINGKONG Hari iti seperti biasa aku membantu mamak berjualan di pasar. Biasa, untuk menambah uang saku. Sayangnya hari itu warung mamak tak begitu ramai aka sepi, jadi aku bisa santai sambil memperhatikan sekitarku. Saat itu aku melihat seorang ibu setengah baya yang asyik memilih singkong di warung di depanku. Aku tersenyum, mendengar percakapan mereka.  "Pak, singkongnya berapa sekilo?" tanya ibu tersebut. "Dua ribu lima ratus, Bu," jawab lek No, penjual singkong. "Dua ribu aja ya, Pak." tawar ibu tersebut sambil sibuk memilih.  "Mau berapa kilo?" tanya lek No sambil memberikan plastik pembungkus singkong. "Saya pilih dulu." jawab ibu tersebut. Tangannya sibuk memilih. Anehnya, ia memilih singkong yang kecil - kecil atau potongan - potongan sisa pembeli lain. Alis mataku berkerut, memperhatikan tampilan si pembeli dengan seksama. Cukup rapi, seperti layaknya ibu - ibu lain. Kulihat juga belanjaannya yang belum banyak. Mungki

Sebentar Lagi

Matahari masih belum bersinar. Angin bertiup lembut menyentuh kulitku seolah menyapaku. Aku melirik jam di lengan kiriku yang menunjukkkan angka 5   dan menghembuskan nafasku. Sebentar lagi, bisikku pada diriku sendiri. Ya, sebentar lagi aku bisa melihatmu lagi meski hanya sesaat. Angin bertiup dengan dinginnya menyebabkan tubuhku menggigil. Aku merapatkan jaketku   dan menggoso-gookkan ke dua telapak tanganku. Dingin serasa menusuk sampai ke tulang. Aku memandang langit yang seolah berbisik bahwa hujan kan turun. Sebentar lagi. Sesaat aku merasa bayangan orang yang kucari dan kutunggu selama ini. Hatiku berdebar. Tanganku serasa dingiin. Bukan karena dinginnya angin, tapi dia. Kuingat senyumnya yang hangat yang kuyakin akan menghangatkan tubuh dan hatiku, juga tanganku. Aku tersenyum. Tanganku berusaha menggapai dedaunan yang menutupi pandanganku. Kulihat bayanganmu mendekat. Sungguh, hatiku tak kuat. Perlahan, aku menyandarkan tubuhku di pohon yang tak kusadari ada di sampingku. Pe

Puisi - Kau dan Aku

Teringatku dalam lamunan sesaatku Akan senyummu yang terukir di dalam ingatanku Meski waktu dan jarak merentangi kenanganku Tak hilang rasa yang menggelang di dadaku Duhai yang mewarnai keinginanku Duhai yang jawaban sama sekali tidak menggoyahkanku Duhai yang doa untuknya menghiasi malamku Duhai yang lamanya tidak melemahkanku Sungguh hari ini pun aku hanya bisa memandangmu Meski jauhnya tidak menggetarkanku Serta dekatnya tidak membakar anganku Juga kehadirannya tidak memanjakanku Aku berkata padaku dalam malam – malam sendiriku Lewat huruf yang kupelajari saat bersamamu Kuucapkan terima kasihku yang sederhana Melalui buku dan cerita tentang kamu dan aku Bandar Lampung, April 4 th , 2018

Sari

Sari looks at herself at the mirror. Granted. Sari looks different from years when she was in high school 15 years ago. It means that it is impossible Anton will recognize her when Anton see her later in conference room and sit beside her for almost seven hours in three days. Besides, Sari will use her friend’s name. Alana, since she replaces    her position in this conference as a participant. She recalled her friend request that day when she knew she got her first twelve days off after working her butt of for almost 7 years! Yeah, she still has 9 days left for lazying around in her small cozy rented house in Way dadi. Isn't it wonderful? She considered her coming to the conference as only a participant will not break a single sweat of her. Perhaps, it is like walking in the park. Peace of cake! Until she has seen who is the person with whom she will be seated. Nope. She refuses to back down and gives in her  ticket to enjoy the conference and the new experience she believes she