Yuk, Bahagia! Kamu pun Berharga

Yuk-bahagia-kamu-pun-berharga
Sumber gambar: fixabay


Karena nebeng bareng teman yang mengajak ke Jakarta, saya merasa marah, kesal, dan minder parah. Perasaan yang muncul karena teman saya itu meninggalkan saya terdampar di Jakarta.

Saya menyadari bahwa saya ada in a low bargaining position. Nebeng. Meskipun si doi yang mengajak, saya memahami kemungkinan peristiwa seperti ini bisa terjadi pada semua orang. Nggak ada gunanya menyimpan dendam. Apalagi saya bertemu dengannya setiap hari di tempat kerja. 

Ironisnya, ia sering bilang hidup itu yang penting bahagia. Kamu itu Berharga. Ah, saya jadi tersenyum sendiri mengingatnya. Benarlah kata orang, kata-kata baik itu nggak akan berubah maknanya, dari mana pun ia muncul. 

Pengalaman Susahnya Jadi Si Minder


Pernah merasakan seolah semua orang memperhatikanmu? Not in a good sense. Sesuatu yang mungkin nggak masuk akal. Namun, begitulah yang terjadi.

Perasaan itu seperti apa, ya? Agak sulit mendeskripsikannya. Jumbled gitu. Rasa yang seolah orang lain itu menunggu kamu berbuat salah. Lalu, mereka akan menyalahkan dan menghukum kamu. Ketakutan yang menyekat langkah dan perkataan kita. Tanpa sadar kita pun membeku.

Percaya, deh. Perasaan itu sama sekali nggak enak. Saya sering mengalami kehilangan kata-kata baik di awal, tengah, atau akhir pembicaraan secara tiba-tiba. Itu terjadi kalau saya merasa gugup dengan lawan bicara saya. Hasilnya adalah hening yang cukup lama, hingga saya bisa menenangkan diri. Alhamdulillah, suara saya pun keluar meskipun terdengar gemetar.

Memang sih, hal ini terdengar nggak masuk akal. Apalagi terjadi pada saya yang notabene seorang guru. Ini seperti minder level akut, rasanya hehe. Hingga, saya pun hampir nggak pernah diminta bicara di depan forum oleh teman-teman. Ya, daripada diminta ngomong, eh kok pucat pasi dan diam saja. Persis patung Liberty! hehe. Saya paham yang dibicarakan, tapi nggak bisa mengungkapkan lewat ucapan verbal.

Ironisnya lagi, saat terpaksa harus bicara, saya pun bicara dengan kata-kata yang saya sendiri nggak mengerti. Pingin nangis dan tertawa sekaligus rasanya. Tapi, gimana ya,  saya nggak bisa mengendalikan kegugupan saya. Ah, sepertinya hal ini di luar diri saya.

Memperhatikan Teman yang Terlihat Lebih Bersinar

Alaminya, seseorang itu cenderung melihat matahari. Teman yang terlihat lebih bersinar. Lebih kaya, lebih cantik, dan lebih pintar bicara. Lha, jangankan orang lain, dibandingkan dengan saudara saya yang lain pun mereka lebih out-spoken. Lebih berani bicara. Sempat berpikir saya ini anak siapa, ya? hehe

Untungnya, saya nggak pernah merasa minder di rumah. Saya bisa ngobrol dengan santai dan nyaman dengan anggota keluarga yang lain. Meskipun saya yang sering akhirnya kalah ngomong.hehe.. Untungnya, emak sering membela saya.

Waktu bermain, saya pun sering jadi anak bawang. Misalnya, saat main lompat tali atau sumputan . Hide and seek. saya bisa terus ikut permainam walaupun nggak memenuhi persyaratan, baik itu nggak bisa lompat tali yang lebih tinggi atau tertangkap saat sembunyi. Pointnya sih, ya mereka kasihan gitu..haha.. Mengingat cerita itu membuatku senyum sendiri, deh.

Menyadari bahwa Saya pun Berharga

Sebagai guru, saya menemui banyak siswa yang memiliki karakter berbeda-beda. Nggak bisa mengeneralisasikan sifat anak, meskipun mereka ada di kelas yang sama. Saya pun melihat ada anak dengan sifat yang mirip dengan saya. Pemalu.

Eh, jangan tanya bagaimana saya yang super pemalu ini bisa mengajar, ya? Saya pun nggak tahu. Mungkin, itu karena habit atau karena cita-cita jadi guru yang begitu besar. Hingga, keinginan itu bisa mengalahkan rasa gugup saya.

Anyway,  sebelum ngelantur, kita kembali ke pembahasan kita, ya? 

Okey, I know that it's easy said than done. Maksud saya, begitu banyak teori tentang bagaimana membangun rasa percaya diri, keberanian bicara, dan lain-lain. Namun, trust me it is not easy to be someone you are not. Seperti, memaksa burung untuk berenang.

Begitupun, saya nggak ingin memaksa diri untuk jadi seperti dia yang jago bicara, atau si doi yang pintar menyanyi dan berwajah menawan. Saya sadar, seperti yang dikatakan dalam sebuah IG-live yang baru saya lihat di IG-nya Teh Ani, kurang lebih begini kata-katanya,
"Kita nggak bisa mengubah orang lain, tapi kita bisa beradaptasi.."

Dalam penafsiran saya sih, kita juga nggak bisa merubah anggapan orang terhadap kita. Kita hanya bisa mengubah anggapan diri kita terhadap diri kita sendiri. Bukankah bahkan seekor burung itu tercipta dengan tujuan dan maksud? Dan, bukan untuk berenang. Apalagi, diri kita. Makhluk  Allah yang dikaruniai akal.

Menerima diri sebagai seorang pemalu dan awkward itu nggak mudah. Saya pun butuh waktu, hingga perlahan saya bisa mengatasinya. Paling nggak, sifat ini nggak membatasi saya dalam beraktivitas. 

Karena penerimaan diri inilah, saya pun dapat meningkatkan kelebihan yang saya miliki. Saat ada acara, misalnya, saya yang bertugas buat konsep acara, teman lain yang naik ke panggung. Alhamdulillah, kami saling menghargai kemampuan màsing-masing. 

Mengapa Seseorang bisa Nggak Bahagia? 


Rumput tetangga terlihat lebih hijau. Kalimat yang menggambarkan rasa yang bikin kita nggak puas. Akibatnya, kita pun jadi nggak ikhlas dan menerima keadaan kita dan muncullah rasa nggak bahagia.

Lalu, apakah kita harus berdiam diri dan menerima begitu saja keadaan kita? Menyalahkan Tuhan? Menyalahkan nasib? Menyalahkan diri sendiri? 

Waduh, it's difficult questions and maybe there's no right or wrong answers. Depends on your perspective. 

Why did I say what I said? Okey, here is my logical answer for the first question.

Apakah kita harus berdiam diri dan menerima begitu saja keadaan kita? 
Jawaban saya adalah ya dan tidak. Ya, jika kita telah berusaha semaksimal kita. Seperti seorang pejuang yang pergi ke medan perang setelah berlatih dengan disiplin, membawa peralatan lengkap dan mengikuti rencana/ strategi perang yang sudah disiapkan matang. Maka, kalau pun peristiwa naas terjadi, pejuang tersebut hanya bisa pasrah. Iya, kan?

Lalu, jawaban saya adalah tidak, jika arti berdiam diri tanpa melakukan apa pun artinya menyerah. Putus asa. Sifat yang hanya menjadikan hidup kita penuh penyesalan. Tidak bahagia.

Selanjutnya, apakah kita menyalahkan Tuhan atas ketidakbahagiaan dalam hidup ini?

Memang, sih menyalahkan Tuhan adalah hal paling mudah. Namun, kita harus memahami bahwa keimanan diuji sesuai dengan kemampuan kita. Tugas kita sebagai seorang hamba Allah hanya beribadah pada Allah. 

"Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, dari depan dan belakangnya mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan suatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia." (Surat Ar-Ra'd ayat 11)

Kesimpulan

Untuk itulah, kesadaran untuk bergerak dan berkarya adalah mutlak. Ya, kan? So, nggak ada lagi alasan untuk menyalahkan Tuhan atau diri sendiri atas kegagalan atau ketidakbahagiaan diri. Kita hanya bisa mengevaluasi diri. Memperbaiki dan memantaskan diri agar bisa menjadi manusia kaffah.

Proses panjang yang insya Allah akan saya jalani dengan ikhlas. Bersyukur dengan nikmat yang telah Allah berikan. Bahagia dengan apa yang sudah saya miliki. 

Nah, bagaimana dengan kamu? Sudah bahagiakah hari ini?

Komentar

  1. Saya sedang berada di posisi ini kak huhuuu apalagi dengan pekerjaan baru saya sebagai seorang guru bikin saya insecuree

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nikmati aja, Kak.. nanti juga terbiasa, kok dengan profesi barunya. Yakin aja kalau kita itu hebat! Semangat Kak!

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Bullying dan Pencegahan Bullying di Lingkungan Sekolah

Resensi Buku: Inteligensi Embun Pagi

Resensi Novel Kembara Rindu: Dwilogi Pembangun Jiwa