Repotnya Mendaftarkan si Kecil Sekolah saat Pandemi

 

Repotnya-mendaftarkan-si-kecil-sekolah

Moment membahagiakan dan mendebarkan bagi orang tua adalah saat menyekolahkan si kecil pertama kali. Apalagi jika si buah hati adalah anak pertama. Duh, kebayang deh riwehnya. Nah, itu yang dialami oleh temanku yang kini tinggal di Riau. Wiwit Widiastuti, seorang blogger yang menetap di Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Riau.

Seperti orang tua muda lain, mbak Wiwit yang aslinya berasal dari Jawa Tengah ini pun ikut merasakan repotnya mendaftarkan si kecil sekolah saat pandemi. Pilihan sekolah konvensional yang sedikit memberi kontribusi bagi proses pembelajaran anak usia dini menjadikan mbak Wiwit harus berpikir keras untuk memilih sekolah yang tepat buat Khanza.

Repotnya-mendaftarkan-si-kecil-sekolah


Proses Pencarian Sekolah

Memilih sekolah yang tepat buat anak adalah pekerjaan yang nggak mudah. Karena mbak Wiwit dan suami sangat menyadari pentingnya pendidikan anak usia dini, mereka diskusi untuk menyekolahkan Khanza di TK A. Saat itu usia Khanza 5 tahun. Sayang, pandemi datang. Mereka berdua galau.

Karena pembelajaran pun masih secara daring di rumah, mbak Wiwit dan suami pun memutuskan untuk menunda Khanza sekolah. Hingga, Khanza baru masuk sekolah di usia 6 tahun. Langsung masuk TK B. Itu pun hanya tiga bulan saja. Sekarang, Khanza sudah masuk SD di sekolah yang sama. SMM. Sekolah Murid Merdeka.

Kenapa memilih SMM?

Aku sering melihat anak-anak SD bermain-main di halaman rumah nenekku seharian. Saat kutanya sekolah di mana, mereka jawab di SD negeri ini dan SD negeri itu. “Nggak belajar?” tanyaku lagi. Mereka hanya menjawab santai. “Gurunya hanya kasih tugas aja, kok. Gampang! Nanti juga bisa dikerjakan.” Aku hanya mengurut dada mendengarnya.

Mungkin itu sih yang menjadi alasan mbak Wiwit memilih SMM untuk Khanza. Selain si Khanza happy belajar, guru SMM juga mengadakan pembelajaran secara online. Bukan hanya memberikan tugas, lalu murid ditinggal. Tidak diperhatikan perkembangan proses pembelajarannya.

“Saya melihat tetangganya sibuk dan bingung menemani anak-anak mereka mengerjakan tugas dari guru,” kata mbak Wiwit. Aku pun mengiyakan. Bahkan, aku teringat temanku yang sibuk mengerjakan tugas-tugas anaknya. Sementara si anak main lari-larian di luar rumah. Kata temanku sih gini, “Daripada aku capek menjelaskan, aku kerjakan aja sendiri.”

Sekali lagi, aku hanya bisa memijat keningku yang pening mendengar keluhan temanku tentang guru-guru anaknya yang hanya kasih tugas seenaknya saja. Sebagai guru, aku merasa tersindir. Tapi, mau bagaimana lagi. Itulah kenyataan yang terjadi di sekitarku. Meski aku berusaha untuk tidak melakukannya.

Untungnya, meskipun SMM menggunakan sistem pembelajaran online, Khanza bisa mempelajari materi dan tugas lewat applikasi Sekolahmu. Kita bisa akses pembelajaran hari itu lewat applikasi tersebut. Applikasinya mirip Ruang Guru gitu deh. Jadi, si Khanza sangat terbantu. Kalau bingung, mbak Wiwit dan suami hanya tinggal mengulang konsep yang sudah dijelaskan sebelumnya.

Pembelajaran Online yang Menyenangkan

Sekarang, si Khanza sudah bisa membaca dan menghitung. ‘Rasanya senang banget. Aku bisa mengajarkan Khanza dari nol sampai bisa membaca dan menghitung“ kata Mbak Wiwit. “Perjuangan yang panjang sekali,” tambahnya lagi.

Pembelajaran di SMM ini juga memiliki kelebihan dibandingkan yang konvensional. Karena Khanza nggak bisa belajar pagi-pagi, pembelajaran bisa dilakukan sore hari. Jadi, mbak Wiwit bisa menemani. Pertemuan dengan guru dilakukan melalui applikasi Zoom seminggu sekali selama satu jam.

Bagaimana caranya menjelaskan materi yang belum dipahami Khanza?

Seorang teman bilang padaku bahwa anaknya sekarang nggak pernah lagi bertanya padanya tentang tugas di sekolah. “Kenapa?” tanyaku. Mereka sudah dapat jawabnya dari mbah Google. So, aku bisa santai. Nggak perlu sibuk menjelaskan lagi. Begitu jawab temanku itu. Dan, aku kehabisan kata-kata. Bukankah sekolah itu bukan sekedar mendapatkan nilai?

Aku sih nggak bisa menyalahkan anak atau orang tua. Apalagi guru dengan keterbatasan kemampuannya dalam menerapkan teknologi. PR nya sih guru, orang tua, dan siswa harus bisa bersinergi untuk menyukseskan proses pembelajaran agar nggak hanya sekedar nilai di atas kertas.

Berbeda dengan kasus anak-anak tetangga, Khanza selalu ditemani oleh orang tuanya dalam belajar. Mbak Wiwit dan suami selalu berusaha meluangkan waktu untuk membantu menjelaskan konsep  materi yang belum dipahami Khanza. Applikasi sekolahmu juga membantu mbak Wiwit, karena telah tersedia video dan materi pembelajaran.

Senangnya kalau bisa segera mengantar Khanza sekolah seperti biasa

Aku sering lewat paud dan TK Arrusdah yang terletak di dekat rumahku. Melihat anak-anak berangkat sekolah diantar oleh ibu atau ayah mereka. Tawa riang. Anak-anak yang berlarian sambil membawa bekal ke sekolah saat terdengar bel berbunyi. Rasanya hangat. Perasaan yang pasti ingin dirasakan oleh mbak Wiwit.

Sayangnya, mbak Wiwit baru merasakan riwehnya mencari dan mendaftarkan sekolah buat Khanza. Survei kesana-kemari hingga memutuskan untuk memilih SMM buat Khanza. Mbak Wiwit belum mengecap manisnya mengantar Khanza sekolah seperti biasa. Merasakan riwehnya pagi hari, karena Khanza kesiangan bangun dan harus segera ke sekolah. Riweh yang menyenangkan.

Namun dibalik itu semua, Khanza sangat beruntung. Ia memiliki orang tua yang memperhatikan pendidikan. Terlebih dengan keadaan pandemi yang mengakibatkan banyak orang tua menunda menyekolahkan anak-anaknya dengan berbagai alasan. Padahal, proses belajar anak nggak boleh dilewati.

Aku pun yakin. Dengan pandemi ini, Khanza dan anak-anak lain adalah generasi yang hebat. Mendapatkan tantangan luar biasa dengan krisis yang terjadi hampir di segala bidang. Ujian yang pasti bisa kita lalui bersama. Tentunya, dengan bantuan orang tua, masyarakat, sekolah, pemerintah, dan semua pihak terkait, generasi muda ini pasti akan menjadi produk unggulan yang mempu bertahan di era yang serba digital ini. Semoga.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Bullying dan Pencegahan Bullying di Lingkungan Sekolah

Resensi Buku: Inteligensi Embun Pagi

Resensi Novel Kembara Rindu: Dwilogi Pembangun Jiwa