Dampak Paparan Pornograpi Sosial Media Bagi Remaja

Pagi itu aku membaca WAG (whatapp Grup) dan mendapati namaku tercantum di grup yang mengikuti penyuluhan tentang Dampak Negatif Paparan Pornograpi di Media. Pembahasan yang membuat orang berpikir tentang masalah seksualitas. Bahasan yang bikin semua orang bersemangat Well, terutama bapak - bapak yang ada di grup guru. Kalau aku sih, nggak ngeh dengan tema nya.  So, ikut - ikut aja. Aku baru tau saat duduk dan ngeliat banner nya. Meski, aku pun bersemangat untuk menimba ilmu. Supaya pinter. Aku pun duduk paling depan. Ngarep kalau dipoto keliatan. Selain ingin keliatan pinter, aku juga ingin sedikit eksis. Boleh, kan?

source : google courtesy


Pembahasan kali ini dibawakan oleh pemateri dari Unila dalam program Pengabdian Masyarakat oleh Dr. Andy Corry Wardhani, M.Si, Toni Wijaya, S.Sos,MA dan Ahmad Rudy Fardian, S.Sos, M.Si. Mereka adalah dosen dari Jurusan Ilmu Komunikasi Fisip Unila yang melaksanakan programnya ke sekolah kami, SMK BLK Bandar Lampung, 11 September 2019.


Penjelasan yang disampaikan oleh ketiga pemateri begitu informative dan memberi wawasan pada kami dari sisi perundang - undangan dan aspek yang melingkupi nya yang awalnya aku nggak tahu. Aku kan belum melek hukum. Maklum lah, ini pun masih belajar membaca dan menulis setelah dorman bertahun - tahun. Awalnya, aku berpikir bahwa pornograpi hanya mencakup tayangan yang berbau seksual saja.

Ternyata, menurut UU RI no 14 2008 Tentang Pornograpi pasal 1,
  1. Pornograpi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, photo, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/ atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. 
Anggapan bahwa pornograpi adalah aktifitas yang berbau seks, hanya menjelaskan  sebagian pengertian  dari pornograpi yang tersebut di atas. Lalu, dalam sesi tanya jawab seorang teman, aku pun mengetahui bahwa UU pornograpi di Indonesia adalah UU pornograpi satu - satunya di dunia. 

"Seharusnya juga, pendidikan seksualitas itu dimulai dan dikenalkan dari keluarga." kata Pak Toni, "Sayangnya orang tua enggan membicarakan tentang masalah seks pada anak. Paling - paling yang dibahas hanya sebatas menstruasi.."

Pak Toni menceritakan tentang seorang ibu yang yang mempunyai seorang putri. Putri ibu tersebut, sebut saja Bulan, berpacaran dengan cowoknya selama lebih dari lima tahun. Dan, si ibu kaget saat Bulan hamil di luar nikah. Hal yang mengherankan adalah kenapa si ibu kaget dengan kehamilan putrinya. Apa si ibu nggak pernah menanyakan apa saja yang Bulan lakukan selama berpacaran? Apakah selama ini tidak memperhatikan dan ngobrol dengan Bulan tentang pacarnya tersebut? 

Kasus ibu si Bulan bukanlah kasus satu - satunya yang mungkin pernah kita dengar. Banyak kasus serupa yang terjadi yang awalnya dimulai dari keengganan dari pihak orang tua/keluarga, dan guru dalam menjelaskan masalah seks karena dianggap tabu. Masalah yang akhirnya diketahui anak dari media sosial. 

Sayangnya, pengetahuan anak terkait seksualitas tidak diimbangi pengetahuan dasar dari keluarga dan guru. Padahal pengetahuan awal terbaik untuk anak adalah keluarga dan guru. Karena guru dan keluarga akan menyiapkan anak dalam menyerap pengetahuan terkait seksualitas dengan cara terbaik. Berbeda dengan media sosial yang sifatnya netral. Keluarga dan guru dapat membantu anak remaja menyaring informasi yang diterima dengan ilmu pengetahuan (informasi) yang dipahami anak, contoh : melakukan tindakan merekam, mengupload gambar dan lain - lain yang tidak sesuai dengan norma kesusilaan akan menghambat masa depan anak tersebut. Sekarang beberapa perusahaan mulai menjadikan profil medsos calon karyawan untuk menyaring calon yang akan diterima. Dan, pastinya akan adanya hukuman sosial jika anak melakukan penyalah gunaan media sosial.

Kebayang kan kalau anak remaja yang seharusnya diterima oleh perusahaan impiannya ditolak karena akun med sosial anak tersebut berisi hal yang kurang sesuai dengan norma sosial. Sayang kan? Belum lagi jika hal itu dibawa ke ranah hukum, yaitu pelanggaran pasal 27 ayat (1) UU no 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) 

  • Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau menstransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan
  • Ancaman pidana ....pasal 45 ayat (1) UU ITE yaitu ancaman pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak satu miliar
Berdasarkan gambaran konsekwensi di atas, anak akan memahami dan menyadari bahwa perbuatan yang melanggar norma kesusilaan itu akan berefek negatif pada masa depannya. Mereka akan berusaha untuk mengontrol dirinya dalam beraktifitas dalam media sosial. Dan, tugas keluarga atau guru yang merupakan orang terdekat dengan anak - anak adalah memberikan informasi sejelas - jelasnya tentang masalah seksualitas pada anak, serta risiko penyimpangan atau penyalah gunaannya di ruang publik atau media sosial agar anak dapat menyaring informasi yang ia terima dengan baik.

Bandar Lampung, 11 September 20119



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Bullying dan Pencegahan Bullying di Lingkungan Sekolah

Resensi Buku: Inteligensi Embun Pagi

Resensi Novel Kembara Rindu: Dwilogi Pembangun Jiwa