Postingan

Grandpa

My grandfather was such a lovely man. Everybody loved him. Though he had already passed a long time ago, we still could remember everything he said and did as if he was still alive. Sometimes, I myself imagined to see the glimpse of his figure only to find he was already not here. I had something that I still kept to see when I missed him a lot. He and I used to play and watch things together. In my village, Kedaton Bandar Lampung, we used to have a traditional show that people called "wayang orang" which performed traditional legend of Ramayana. We enjoyed the show from midnight to dawn. He also often told me some stories about legend in his times. Then, he gave me his old puppet, semar. Semar is one of punakawan who portray as the wise man in the legend of Mahabrata, the traditional epic which transform my life. He, my grandfather said that Semar was the only person who could minimize the impact of war. "Dear, life was a greatest battle ever. Your job was only to f

Joko

Ia bercerita dalam doanya bahwa sungguh ia tidak pernah menyesali hidupnya. Tak mengapa ia tak pernah lulus sekolah. Ia hanya lulus SMP karena orang tuanya tidak punya biaya untuk menyekolahkannya pada saat itu. Kemudian ia mengikuti program Paket C untuk mendapatkan ijazah setara SMA sambil bekerja sebagai pembantu di keluarga Bapak Dian dan Ibu Retno yang tinggal di pinggiran kota Jakarta, Bekasi. Di sana juga ia bertemu dengan Joko dan merajut kasih hingga akhirnya menikah di usia 19 tahun. Pernikahan mereka dikaruniai dua orang putra dan dua orang putri yang sehat dan cerdas. Mereka hidup dengan tenang di sebuah kontrakan kecil di kota kecil yang nyaman, Guwek. Ia dan Joko memulai usaha dagang sambil tetap bekerja sebagai pembantu di keluarga bu Retno yang juga memberi modal usaha pada mereka. Bahkan keluarga tersebut mengakomodasi agar ia dan Joko dapat tetap berdagang dan menjaga putra-putri mereka dengan memberi tugas pada mereka secara bergantian.

Cinta Pertama

Jantungku berdetak kencang. Rasanya mau copot. Aku seakan tak percaya. Tapi, mataku tak mungkin bisa berbohoong. Itu dia. Dimas. Cinta pertamaku. Meskki waktu telah lebih dari dua decade berlalu, masih kulihat kilau jenaka masa remaja yang kuingat tergambar di wajahnya yang makin tampan dan matang. Di mataku. Perlahan kuatur napasku dan mengerjapkan mataku. Menghilangkan rasa grogi yang menguasai seluruh tubuhku hanya karena melihatnya. Ternyata waktu tidak membunuh sebuah rasa. Hanya membenamnya makin dalam dan menumbuhkan rasa yang sama yang bahkan lebih kuat. “Tut, kenapa ?” Susi, teman akrabku memandangku khawatir Sebenarnya aku tak pernah ingin bertemu dengan masa laluku seperti ini. Bertemu dengan orang yang bahkan telah merubah diriku. Merubah cara berpikirku tentang hidup, cinta dan benci. Aku hanya ingin meninggalkan masa lalu di belakang dan memandang serta berbuat untuk hari ini dan masa depan saja. Tapi, aku tahu bahwa

Yasmin

MIMPI DAN HARAPANKU Yasmin berumur lima belas tahun dan duduk di kelas   X TKJ 2 di salah satu SMK swasta di Bandar Lampung. Ia tinggal bersama pakde dan budenya, yang biasa ia panggil emak dan babe sejak bayi. Sementara ayah dan ibukandungnya tinggal di Bekasi bersama ke dua kakaknya. Meski Yasmin tidak tinggal bersama ayah dan ibu kandungnya, Yasmin tetap berusaha mengunjungi ayah dan ibunya saat liburan. Meski hampir tak pernah berkomunikasi dengan rutin , Yasmin yakin kebaikan mereka selalu ada bersamanya.Sebenarnya   emak dan babe  mengijinkan Yasmin jika ia ingin tinggal di rumah ayah dan ibu kandungnya, tapi Yasmin tidak bisa meninggalkan emak dan babe yang telah merawatnya selama ini. “Tidak apa-apa , Mak. Yasmin tinggal sama emak dan babe di sini.” Senyum Yasmin. “Yasmin berharap bisa menemani emak dan babe. Kalau ayah dan ibu kan sudah dijaga kakak Ari dan Kakak Ali.” “Ya sudah, nak.” Kata babe sambil memandangku,”Kalau kamu kangen ayah dan ibu mu bilang dengan bab

Carla

CARLA       Panas matahari membakar kulitku meski aku telah menggunakan payung. Pohon-pohon telah menggugurkan daunnya seperti siklus alam yang wajar di musim panas ini. Debu-debu tipis bertebangan tertiup angin di sekitarku. Aku mengusap mataku yang pedih terkena debu, lalu aku mengambil tisu dari tas mengajarku untuk mengusap wajahku. Mataku lalu melihat sepatuku yang kusam karena tertutup debu. Aku berhenti melangkah dan jongkok untuk mengusap sepatuku menggunakan tisu bekas mengusap wajahku.’Ah, sekarang jadi lebih baik, gumamku terseyum sendiri. Aku melanjutkan perjalananku menapaki gang menuju perumahan tempatku tinggal. Perumahan sederhana di pinggiran kota Bandar Lampung. Perumahan yang cicilannya baru kumulai satu tahun ini, sejak suamiku meninggalkan ku bersama wanita yang kini dinikahinya. Aku tinggal bersama putriku, Sari. Putriku satu-satunya dari mantan suamiku itu. Sari lah penghiburku. Penyemangatku. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa kehidupan di Bandar Lampu

Closed Door

Behind the door, Amy could catch the murmur fade away. She might be ignorant about the scene played behind that door, though she understood that no words could have justified what those people acted upon whomever the victims in the closed door in front of her. Vaguely, Amy felt the constant pains emerged then receded just as if it has never happened. The next day, Amy found the closed door

Si Jago

Si Jago Yang Pemalas Pagi itu si Jago baru bangun tidur. Ia keluar dari kandangnya sambil mengepakkan sayapnya. Lalu ia berkokok. Kukuruyuuuuk. “Selamat pagi, pak Jago,” sapa si Hitam, ayam betina yang tinggal di samping kandangnya. Si Hitam baru dibeli tuan mereka beberapa hari yang lalu dari sebuah peternakan ayam di Pringsewu. “Kukuuruuuyuuuk. Ya.” Si Jago   mengangguk. “Aku capek, jadi kesiangan.” Ia mengucek matanya dengan ujung sayapnya. Si Hitam mengangguk. “Oh, aku sih sudah bangun dari jam 5.30 pagi. Aku dan teman-teman pergi ke kebun belakang. Di sana banyak nasi sisa pesta semalam.” Si Hitam menepuk temboloknya yang penuh. “Kami semua makan kenyang sekali. Pak Jago bisa ke sana kalau mau.” Si Hitam menunjuk si Putih yang sedang menyeker tanah dengan ke lima anak-anaknya. “Tuh, bisa pergi bareng si Putih dan anak-anaknya.” Mendengar namanya disebut si Putih mendongak dan menghampiri mereka. “Pagi, pak Jago.” Si Putih tersenyum. “Mau pergi ke kebun belakang bersa