Si Jago


Si Jago Yang Pemalas

Pagi itu si Jago baru bangun tidur. Ia keluar dari kandangnya sambil mengepakkan sayapnya. Lalu ia berkokok. Kukuruyuuuuk.
“Selamat pagi, pak Jago,” sapa si Hitam, ayam betina yang tinggal di samping kandangnya. Si Hitam baru dibeli tuan mereka beberapa hari yang lalu dari sebuah peternakan ayam di Pringsewu.
“Kukuuruuuyuuuk. Ya.” Si Jago  mengangguk. “Aku capek, jadi kesiangan.” Ia mengucek matanya dengan ujung sayapnya.
Si Hitam mengangguk. “Oh, aku sih sudah bangun dari jam 5.30 pagi. Aku dan teman-teman pergi ke kebun belakang. Di sana banyak nasi sisa pesta semalam.” Si Hitam menepuk temboloknya yang penuh. “Kami semua makan kenyang sekali. Pak Jago bisa ke sana kalau mau.” Si Hitam menunjuk si Putih yang sedang menyeker tanah dengan ke lima anak-anaknya. “Tuh, bisa pergi bareng si Putih dan anak-anaknya.”
Mendengar namanya disebut si Putih mendongak dan menghampiri mereka. “Pagi, pak Jago.” Si Putih tersenyum. “Mau pergi ke kebun belakang bersama kami.”
Si Jago memandang si Putih dan anak-anaknya dengan setengah hati. “Ah, terima kasih ajakanmu, Putih.” Si Jago menggeleng sambil merebahkan badan dan kepalanya ke tanah. “Aku masih ingin istirahat. Kamu pergi saja sendiri. Nanti aku menyusul.”
“Tapi, nanti makanannya habis…” Si Putih dan si Hitam berpandangan. “Sayang, kalau tidak ke sana nanti tidak kebagian.”
Si Jago mengangkat kepalanya dengan malas. “Tidak apa-apa. Tuan kan sebentar lagi kasih kita makan.” Ia mengibaskan ujung sayapnya ke arah si Putih. Mengusirnya pergi. “Sana, Ntar kalian tidak kebagian. Kasihan anak-anakmu.”
“Sebenarnya kami sudah ke sana tadi. Tapi, anak-anakku masih ingin makan dan main lagi di sana.” Si Putih melangkah dengan ragu mengikuti anak-anaknya yang sudah berlari ke arah kebun belakang. Ia berhenti dan menoleh. “Pak Jago, yakin tidak mau ikut. Lumayan, lho, makanan sisanya bisa mengenyangkan kita. Siapa tahu tuan lupa kasih kita makan,” guraunya.
Si Jago melotot. “ Tidak mungkin tuan lupa member kita makan!”
“Maaf. Hanya bercanda,” jawab si Putih sambil berlari dan tak menoleh lagi. Mengejar anak-anaknya yang sudah menghilang di balik rimbunnya tanaman di kebun belakang.
Beberapa jam kemudian si Putih dan anak-anaknya sudah kembali. Tembolok mereka semua sudah penuh. Si Jago memandangi mereka dari balik kandangnya.
“Halooo, pak Jago?” sapa anak pertama si Putih dengan ceria. Ia berlari-lari kecil di depan kandang si Jago.
“Jangan ganggu aku!” bentak si Jago. “Aku lapar!” Anak si Putih ketakutan dan berlindung di balik tubuh si Putih/
“Maaf, pak Jago.” Si Putih menatap si Jago dengan khawatir. “Jadi, pak Jago belum makan?”
“Belum.” Geleng si Jago lemah. “Maaf, tadi aku membentak anakmu.”
“Tidak apa-apa, pak.” Si Putih mengangguk ke arah anak-anaknya. “Mereka mengerti.” Anak-anak si Putih mendekati si Jago dengan takut-takut.
“Emm..pak Jago mau kami antar ke kebun belakang ?” Tanya anak ke dua si Putih dari balik tubuh si Putih. “Aku tadi lihat masih ada tumpukan nasi sisa di pojok kebun.”
“Terima kasih,” senyum si Jago. “Aku tunggu tuan saja. Sebentar lagi ia pasti akan kasih kita makan.” Dalam hati sebenarnya si Jago ingin pergi ke kebun belakang karena perutnya sudah lapar sekali. Tapi, ia merasa gengsi. Ia malu dengan si Putih dan anak-anaknya. Lagipula, ia bisa tahan laparnya sebentar lagi. Mudah-mudahan tuan tidak lupa dengan jatah makannya. Ia menghembuskan napasnya.
Sejam kemudian, si Jago melihat pintu rumah tuannya terbuka. Dengan semangat ia bangun dan keluar dari kandangnya. Ia berkokok dengan senangnya. Akhirnya. Kukuruuyuuuk.
“Hei, kalian semua sudah kenyang.” Tuan membungkukkan tubuhnya dan mengusap si Putih dan si Hitam. “Pintar semua. Pasti si Jago juga kan? Ayam pintar.” Tuan memandang si Jago yang berdiri di depan kandangnya. Tak ingin terlihat kalah di banding si Hitam dan si Putih, si Jago berkokok dengan kerasnya, meskipun perutnya sangat lapar. Kukuruuuyuuuk.
Lalu, tuan berdiri dan menepuk debu di bajunya. Ia tersenyum. “Baiklah, kalian semua hebat! Siang nanti, aku akan kasih kalian makanan ekstra.” Setelah membersihkan bekas wadah makanan yang kemarin, tuan masuk kembali ke dalam rumah. Meninggalkan si Jago dengan rasa laparnya.
“Pak Jago, kenapa kamu tak menemui tuan ?” Si Hitam menatap si Jago heran.
“Aku tak mau tuan tidak menganggapku.” Si Jago menggeleng.
“Tapi, kan…” kata si Hitam.
“Aku masih ingin dihargai..” Si Jago memotong ucapan si Hitam. “Sekarang, aku ingin ke kebun belakang..”
“Ayo, kutemani.. “ Si Hitam melangkah di samping si Jago.
“Tidak usah. Kamu istirahat saja. Hari sudah mulai panas.” Si Jago menyentuh tubuh si Hitam dengan ujung sayapnya.
“Baiklah,” angguk si Hitam. “Hati-hati.”
Si Jago tertawa. “Aku hanya ke kebun belakang.”
“Aku tahu. Tapi..” Si Hitam menunduk.
“Yah, aku tahu. Kamu khawatir aku kecewa kalau tidak mendapatkan makanan.” Si Jago menepuk tubuh si Hitam. “Jangan khawatir. Aku tidak apa-apa. Aku tahu, kemalasan dan kesombonganku itu tidaklah baik. Aku tahu risikonya.” Setelah mengatakan itu si Jago melangkah ke kebun belakang. Dengan penuh harap ia menyeker tumpukan di pojok kebun. Sayang, ia tidak menemukan sebutir nasipun. Ia hanya bisa tersenyum pahit. Menelan pil pahit  kemalasan dan kesombongannya. Lapar.

Bandar Lampung, 3 April 2018
Mengakui kelemahan itu bisa jadi sebuah kekuatan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Bullying dan Pencegahan Bullying di Lingkungan Sekolah

Resensi Buku: Inteligensi Embun Pagi

Resensi Novel Kembara Rindu: Dwilogi Pembangun Jiwa