Terlambat Belajar Menulis, Siapa Berani?

terlambat-belajar-menulis-siapa-berani


Menyesal, kata yang tidak disukai semua orang. Tapi, sebagai manusia biasa, kita nggak bisa terlepas dari rasa ini. Seperti aku yang baru mulai belajar menulis di atas usia 40an. Usia yang nggak bisa dibilang muda. Meskipun aku sering nggak sadar kalau sudah tidak muda lagi wkwk. Sometimes, I wonder what I have been doing for the last four decades. 

Aku pikir, di sinilah titik awal dan terendah dalam hidup, hingga aku merasa nggak bisa apa-apa. And, I know it's bad for my self esteem. So, I try harder to pull myself together and start all over again and again.

So, I try to start writing again. Besides, writing may heal and help me to find myself.

I hope so.

Terlambat belajar menulis siapa berani, kupikir merupakan refleksi bagiku. Mengingatkanku bahwa memulai itu pun butuh keberanian untuk konsisten. Nggak peduli sesulit apa pun. Tapi, sekali lagi it's easy said than done. 

Refleksi diri pada Pencapaian selama ini 


Terlepas dari keinginan dan harapan untuk konsisten menulis, aku tetap stuck dengan niat saja. Terkadang alasan yang kuberikan pada diri sendiri adalah sibuk dengan pekerjaan, capek, malas, atau tidak mood. Alasan klasik yang selalu jadi tameng hingga aku bisa nggak menulis sama sekali selama 5 bulan. Kalau pun menulis, itu hanya untuk menunaikan kewajiban. Eh, jadi malu aku wkwkwk.

Lalu, selama ini ngapain aja? Apa ada pencapaian yang sudah diperoleh? 
Aku pikir selama beberapa tahun ini, aku hanya melakukan rutinitas sehari-hari. Mengajar. Nothing special, I think. Lalu, aku pun berpikir lagi bahwa profesi sebagai pengajar adalah pekerjaan yang aku inginkan dan aku sukai. Selain itu, pekerjaan ini pun menghasilkan uang. So, aku memperoleh kesenangan dan penghasilan sekaligus. It's not bad, right?

Yups, aku pikir, sejak mengajar tahun 2004 -2011 di lembaga kursus dan 2009-sekarang di SMK, aku sudah membimbing anak-anak  untuk meraih mimpi mereka. Beberapa dari mereka bahkan ada yang mengikuti jejak kami sebagai guru. Keren ya? Alhamdulillah. 

Aku merasa bahwa mendidik anak-anak adalah pencapaian terbesarku. Dan, melihat mereka sukses merupakan hadiah terbaik. So, waktu yang aku habiskan selama ini adalah harga yang setimpal. No regrets.

Konsistensi yang sulit


Namun, sebagai guru biasa, aku nggak mau jadi biasa-biasa aja. Aku berusaha untuk terus bergerak. Belajar. Meskipun perlahan, aku berusaha untuk mengejar ketertinggalanku dalam hal menulis. 

Ya, aku sadar bahwa kita nggak bisa membandingkan diri dengan orang lain. Tapi, keterbatasan kemampuan nggak boleh jadi alasan untuk berhenti belajar. Ya kan?

Meskipun, kadang terselip rasa minder dan kecil hati melihat pencapaian teman-teman dalam menulis, aku terus berusaha menulis. Kadang aku hanya menulis satu baris, satu paragraph. Dan, langsung aku hapus lagi wkwk. 

Ah, konsistensi itu emang perjuangan yang berat.

Untungnya, aku ikut program CGP (Calon Guru Penggerak) yang juga dituntut untuk menulis. Mudah-mudahan dengan mengikuti program ini aku jadi lebih termotivasi menulis. Tapi, kok CGP Angkatan 10 Bandar Lampung belum mulai ya wkwk. Padahal aku sudah semangat nih. Aku pengin merasakan pengalaman seru seperti yang sudah dirasakan teman-teman yang sudah lulus jadi guru penggerak.

Dan, sambil menunggu program ini dimulai, aku pun berusaha mencari kesibukan. Mencari ide menulis yang kata orang bertebaran di sekitar kita. Duh, saat aku melihat sekelilingku, aku jadi tambah malas menulis wkwk. Sejauh mata memandang, orang-orang di sekitarku lebih suka nonton tiktok atau belanja di shopee live. Obat stress, kata mereka. 

Ya, konsistens untuk menulis itu cobaannya banyak.

Lalu, bagaimana caranya agar aku menjaga konsistensi menulisku?
  1. Menulis aja. Nggak perlu khawatir tulisan belum bagus. 
  2. Membuat jadwal menulis
  3. Mengikuti program menulis, seperti Odop ISB. Program ini akan memaksaku untuk rajin menulis sesuai jadwal.
Menurutku, tiga cara sederhana di atas bisa dijadikan langkah awal untuk menjaga konsistensiku dalam menulis. Dan, cara yang ketiga yang paling sukses. Sehingga, aku berpikir kalau aku tipe orang yang harus dipaksa menulis ya? Apakah penyebabnya adalah aku yang masih newbie? Ya, mungkin itu ya? Buktinya, aku nggak pernah dipaksa untuk mengajar. Jadi, nanti kalau aku sudah terbiasa menulis dengan rajin, aku nggak perlu lagi dipaksa untuk menulis.

Apa pun itu, proses yang sulit untuk menulis ini pun, aku yakin akan jadi cerita. Cerita yang nanti akan jadi ide untuk menulis, seperti: JK Rowling atau Ray  Bradbury yang karyanya cukup banyak. Ah, aku ikut tersenyum membayangkan mereka.

Kesadaran yang perlahan diraih

Keinginan untuk belajar adalah proses pembelajaran yang panjang. Capek dan malas adalah alasan lumrah yang biasa kita dengar. Mood yang sangat mempengaruhiku saat aku down. Merasa bahwa pencapaian yang kuraih masih di luar ekspektasi.

Dalam kondisi nggak baik-baik saja tersebut, aku merasa bahwa usahaku sia-sia aja. Toh, orang yang santai dan nggak pernah belajar pun baik-baik aja. Bahkan, mereka terlihat lebih baik dalam hal financial.

Duh, kok jadi suram ya? wkwk. Tapi, ini nyata lho. Berbeda dengan perasaanku, pikiranku sangat paham bahwa dalam hidup ini semua ada waktunya. Nggak ada yang bisa dipaksakan. Kita hanya bisa berjuang sekuat tenaga. 

Allah nggak akan mengubah nasib seseorang (suatu kaum) apabila ia tidak ingin mengubah nasibnya sendiri ( QS. Ar-Radu': 11)

Kesadaran ini yang membangunkanku. Ya, meskipun terlambat, lebih baik dari pada tidak. Ya kan? Toh, nggak ada kata terlambat untuk belajar.

Belajar Menulis siapa berani?

Menjadi muda, lalu tua adalah hukum alam. Nggak bisa dihindari. Nggak bisa dipilih.

Namun, kita bisa memilih respon kita untuk mengisi hidup ini dengan aktivitas yang bermanfaat. Nggak peduli siapa pun kita dan berapa pun usia kita.

Dan, rasa ketidakpedulian ini mungkin, nantinya bisa menetralkan rasa nggak nyaman karena harus belajar bareng orang dengan usia yang lebih muda.

Yah, mulai belajar menulis itu butuh keberanian. Berani malu. Berani untuk menolak rasa malas. 

Lalu, apa sih alasanku untuk berani mulai belajar menulis?
  1. Sebagai contoh pada siswaku bahwa belajar itu pun bisa menyenangkan.
  2. Sebagai motivasi pada diriku dan orang-orang di sekitarku bahwa menulis dapat dijadikan penghasilan
  3. Sebagai obat atau healing bagiku. Karena saat seseorang bertambah usia, teman-teman akan berkurang. Dan, kalau pun ada, mereka belum tentu betah mendengar cerita dan keluhanmu. Ya kan?
So, mulai belajar di usia berapa pun adalah langkah baik. Kunci mudahnya adalah mulai aja dengan langkah kecilmu. Perlahan aja. Yakinlah, saat kamu konsisten dan rajin berdoa, pada akhirnya kamu pun tiba di tujuanmu. InsyaAllah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Bullying dan Pencegahan Bullying di Lingkungan Sekolah

Keseruan Kunjungan Industri Jakarta Jogja SMK BLK Bandar Lampung 2022

Resensi Buku: Inteligensi Embun Pagi