Review Buku No Longer Human Karya Osamu Dazai

review-buku-no-longer-human-karya-osamu-dazai


Kalau pernah mendengar nama Kurt Cobain, kita akan teringat dengan kematian tragis penyanyi ini. Ia meninggal bunuh diri. Kasus yang sama juga menimpa nama-nama besar di bidangnya, seperti Ernest Hemingway, Yukio Mishima, Iris Chan, dan Osamu Dazai. 

Memang sih, nggak ada orang yang ingin hidup menderita. Merasa menjadi orang terbuang, karena berbeda atau mengalami kehidupan yang tidak meaningfull. Aku pikir, perasaan inilah yang menyelimuti diri Yozo dalam Buku No Longer Human. Buku yang menggambarkan tentang perasaan seorang anak yang harus berjuang untuk dapat diterima di masyarakat.

Baca juga: Dari Novel Keep Aspidistra Flying hingga Noktah Ramadan 

Perjuangan hidup inilah yang membawa perasaan putus asa, hingga Yozo bertemu dengan  Horiki. Seseorang yang memperkenalkannya pada modernisme ala barat. Sebagaimana Hemingway yang terus berusaha melawan penyakitnya, Cobain, Mishima, Chan, dan Dazai pun mengakhiri hidup karena beratnya penderitaan yang mereka rasakan. Mereka nggak sanggup lagi menjalani kehidupan ini.

Nah, kisah Yozo yang ditulis dalam bentuk autobiography ini membuatku penasaran, hingga aku menulis Review Buku No Longer Human Karya Osamu Dazai.

Sinopsis Buku No Longer Human Karya Osamu Dazai

Sebagai seorang anak dari keluarga yang cukup berada, Yozo nggak pernah merasakan 'lapar'. Namun, ia nggak pernah menikmati lezatnya makanan. Sejak kecil, ia selalu merasa gelisah saat memasuki waktu makan. Rasa takut untuk menunjukkan perasaan pada keluarga, membuat Yozo berusaha sekuat tenaga untuk memakai 'topeng' untuk menutupi perasaannya.

Baca juga: Review Buku The Picture of Dorian Gray 

Mungkin itulah awal Yozo menjadi 'badut' untuk menyenangkan hati semua orang. Tekanan yang menghimpit dirinya mengubahnya jadi sosok pelawak. Membuat orang di sekitarnya tertawa. Apalagi didukung oleh sebagian besar sepupunya adalah perempuan. Mereka sangat menyukai lelucon-lelucon yang dengan susah payah ia ciptakan untuk mencairkan suasana yang tegang.

Dalam hubungan dengan ayah yang jarang ia temui pun, Yozo nggak pernah merasa dekat. Sang ayah yang sering berpergian memiliki kebiasaan mengumpulkan semua anggota keluarga. Termasuk anak-anak. Ia akan menanyakan oleh-aleh apa yang mereka inginkan. Sebenarnya, Yozo lebih menginginkan buku dibandingkan benda lain pilihan ayahnya. Namun, rasa ingin menyenangkan hati sang ayah mencegah Yozo untuk jujur. 

Sementara itu, tubuh ringkih Yozo pun menjadikannya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Untungnya, otak yang cerdas tidak menyulitkan Yozo untuk mendapatkan nilai A di sekolah. Hal itulah yang menjadi penyebab Yozo mengenal banyak orang hebat lewat buku. Sikap nggak percaya diri Yozo juga jadi pemicu ia nggak pernah nyaman berada di keramaian.

Di sekolah, ia mengenal Takeichi. Seorang anak yang tidak berwajah rupawan. Mereka saling mengenal lewat kelas melukis, hingga Yozo tertarik untuk menekuni dunia melukis. Niat yang ditolah oleh sang ayah yang hanya ingin anak-anaknya menjadi pegawai negeri sipil. 

Keinginan yang juga ditertawakan oleh Masao Horiki. Ia menganggap bahwa seni sama sekali nggak penting. Apa pun yang diajarkan oleh guru-guru itu nggak berguna. Ucapan yang sama-sekali nggak disetujui oleh Yozo. Sayangnya, sekali lagi, ia nggak bisa menyampaikan isi hatinya. 

Dari sosok Masao ini, Yozo mengenal perilaku hedonisme. Minuman keras, obat, dan pelacur adalah hobi baru yang diperkenalkan oleh Masao. Kebiasaan ini emang nggak menguras uang saku Yozo. Perilaku ini pun nggak memengaruhi nilai-nilai Yozo. Ia merasa kelegaan sesaat dalam pelukan 'kenikmatan' itu setimpal dengan apa pun. 

Selain mengenalkan dunia bebas ala barat, Masao pun mengajak Yozo ke komunitas baca beraliran Marx. Lalu, kedua orang yang tersesat ini pun tenggelam dalam keseriusan perjuangan para komrad ini. Sikap melucu Yozo yang konyol pun cukup disukai oleh komunitas ini.

Selanjutnya, dalam masalah percintaan, seperti yang dikatakan oleh Takeichi, banyak perempuan yang akan jatuh ke pelukan Yozo. Prediksi yang dianggap angin lalu ini menjadi nyata, karena sikap Yozo yang selalu lemah. Ia nggak pernah bisa menolak. Dari beberapa wanita yang pernah jatuh dalam pelukan Yozo, ada dua orang yang nggak bisa Yozo hindari. Ia seolah berada dalam pusaran hutang budi.

Kisah cinta Yozo nggak sederhana. Belum lagi perkenalannya dengan wanita bersuami yang menginspirasi pemikiran untuk bunuh diri dalam dirinya. Sepenggal cerita cinta Yozo yang menandakan kerapuhan hatinya.

Nah, gimana nasib Yozo selanjutnya? Bagaimana hubungannya dengan Masao, Takeichi, dan wanita-wanita tersebut? Lalu, apa kontribusi wanita-wanita tersebut dalam pemikiran bunuh diri Yozo?

Diskusi

Buku ini nggak menggambarkan keceriaan dan optimisme dalam hidup. Dalam setiap hembusan napas dan tindakan Yozo bukan dilandaskan oleh keinginannya sendiri. Ia bergerak atas dasar rasa takut. Yozo seperti refleksi seorang anak yang terombang- ambing pusaran angin. 

Ia nggak pernah memperjuangkan keinginannya. Entah itu karena malas atau alasan kondisi fisiknya yang lemah. Hal yang pasti adalah ia merasa nggak berharga untuk hidup. Membiarkan dirinya tenggelam dalam pesona sesaat.

I had no friends. I had nowhere to go. (page 107)

Sayang, nggak ada seorang pun yang menyadari keadaan terpuruknya. Hingga, Yozo merasa makin tak pantas bahagia. Menurutnya, surga itu nggak ada. Kenyataan yang menyurutkan harapan. 

Singkatnya, ia nggak menemukan alasan untuk hidup. Namun, sulitnya untuk mengakhiri hidup pun seolah memutus rantai usahanya untuk menentukan nasibnya sendiri.

Dalam obrolanku dengan seorang teman tentang isu bunuh diri, aku memahami dua hal. Pertama, dalam satu titik terendah seseorang, ia pasti pernah berpikir untuk mengakhiri hidup. Kedua, setiap orang terlahir ke dunia dengan masalahnya masing-masing.

Meski nggak bisa memahami masalah orang lain, kita dapat membantu meringankan kesulitan orang-orang di sekitar kita. Caranya gimana? Sederhana. Jadilah pendengar yang baik dan tetaplah ada di sampingnya. InsyaAllah, semuanya akan baik-baik saja.

Kelebihan Buku No Longer Human Karya Osamu Dazai

Sebagai seseorang manusia, kupikir, pemikiran bunuh diri atau rasa keputusasaan yang dirasakan oleh Yozo adalah isu yang harus diperhatikan. Apalagi, menurut data, sekitar 703.000 orang meninggal bunuh diri. Angka yang sangat besar. 

Isu tentang Yozo yang disampaikan oleh Osamu ini adalah kegelisahan seorang anak manusia yang terjebak di arus globalisasi dunia. Seorang anak tradisional yang masih menggapai ibunya yang telah terlupakan oleh ayahnya.

Mmbaca buku No Longer Human karya Osamu Dazai nggak hanya membangunkan kesadaran kita tentang arti kemanusiaan, tapi juga tentang kasih sayang. 

Meskipun bukan buku yang ringan, buku setebal 196 halaman ini dapat memberikan gambaran tentang pemikiran orang Jepang di tahun 1940an. Kita dapat merasakan bagaimana seorang Yozo berusaha menyesuaikan diri dengan perubahan modernisasi di Jepang.


Judul Buku. : No Longer Human
Penulis.        : Osamu Dazai
Tebal Buku   : 196 halaman
Sumber Buku : archive.org
Genre.            : Fiksi 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Bullying dan Pencegahan Bullying di Lingkungan Sekolah

Resensi Buku: Inteligensi Embun Pagi

Resensi Novel Kembara Rindu: Dwilogi Pembangun Jiwa