Tanah Mati di Bulan Oktober

Angin kering yang menerpa wajah penuh peluh tak menjadikan Hara meninggalkan pekerjaannya. Terik matahari yang seolah menggodok apa saja yang ada di bawahnya membuat pelataran parkir itu sepi. Menyisakan Hara yang dengan rajin mengangkat barang-barang toko milik bos tempatnya bekerja. Mata Hara menyapu sekitarnya, dan tersenyum. Alhamdulillah, pikirnya. Dus yang perlu ia angkat hanya tersisa dua lagi. Dengan semangat ia mengangkat dus itu satu persatu ke dalam gudang toko. 

"Assalamualaikum, Kak." Hara menoleh, mencari sumber suara salam sambil melap keringat di dahinya dengan ujung bajunya.

"Walaikumsalam," jawab Hara. Ia meletakkan dus yang ia angkat. Seorang anak kecil yang memegang gelas plastik bekas air minum mineral memandang ke arahnya. Wajah anak itu kotor. Bajunya pun lusuh. Hidung Hara pun dapat menerka berapa lama anak ini tak menyentuh air dan sabun. Kadang hatinya bertanya tentang peran orang - orang dewasa yang mengeksploitasi anak-anak yang berliaran di jalan dan mengemis demi mendapatkan uang. Merebut hak anak-anak ini untuk bersekolah dan bermain bersama teman-temannya. Memikirkannya hati Hara ingin menangis. Perlahan ia menghembuskan napasnya, dan membungkukkan tubuhnya.

"Aku Hara, namamu siapa?" tanya Hara sambil tersenyum.

"Namaku Ami." Anak itu tersenyum malu-malu sambil mengulurkan gelas plastik yang ia pegang ke arah Hara. "Sedekahnya, Kak."

"Ami sudah makan?" tanya Hara tanpa menjawab permintaan Ami. Ami menunduk dan menggeleng. "Kebetulan kak Hara juga lapar. Kita makan bareng, yuk." Ami memandangi Hara. Seolah tak percaya. "Tunggu, kak Hara ijin dengan pak Midun dulu ya." Sesaat Hara masuk ke dalam toko, pamit sebentar dengan bosnya, dan mengambil kontak motornya. Saat keluar gudang, dilihatnya Ami sedang duduk di bibir trotoar. Menunggunya.

"Naik." Hara menepuk jok belakang motornya. Meminta Ami naik motornya. Ia mengangguk meyakinkan Ami yang masih terlihat ragu. Dan, tersenyum saat Ami naik di jok belakang motornya, dan memegang ujung bajunya. Takut jatuh. 

Hara mengajak Ami makan bakso dekat toko buku Gramedia. Bakso enak favoritnya. Ia memesan dua mangkuk bakso, dan menuntun Ami untuk masuk ke dalam warung bakso. Tapi, pelayan warung mendekatinya dan berbisik padanya, "Maaf, Mas. Dibungkus saja, ya?" Mata pelayan itu memandangi Ami dan menutup hidungnya. "Kasihan pelanggan yang lain kalau mas dan adik mas ini masuk warung." 

Hara menuduk. Menghembuskan napasnya perlahan. Menghitung satu sampai sepuluh sebelum menjawab ucapan pelayan bakso itu. Rasanya ia ingin memukul wajah pelayan itu dengan tangannya. Lalu, Hara merasa ujung bajunya ditarik. Ia menunduk, memandangi Ami yang menggelengkan kepalanya. Ujung mata Hara pun melihat sebagian pengunjung warung bakso menutup hidungnya. Bahkan ada yang segera menyudahi makannya dan keluar dari warung bakso. Hara lalu menoleh ke arah pelayan bakso dan pemilik bakso yang memandanginya dengan perasaan tak enak.

"Maaf, Mas." Pelayan bakso itu menyerahkan dua bungkus bakso pada Hara. "Saya harap Mas mengerti." Hara mengangguk. Pelayan itu mengusap kepala Ami pelan. "Maaf ya, Dik. Ini untukmu. Tidak usah bayar." Bisik pelayan itu seperti ingin menangis.Tangannya menyerahkan sebungkus coklat pada Ami.

"Tidak apa-apa, Kak," kata Ami tersenyum. "Ami mengerti." Mendengar ucapan Ami, hati Hara bagai disiram air dingin. Ia ingat bahwa penampilan fisik dan usia tak menjamin kedewasaan seseorang dalam menyikapi masalah yang kita alami.

"Heh, Mas! Bawa adiknya pergi! Orang mau makan, nih! Mau muntah mencium bau badan adikmu!" Sebuah suara membuyarkan pikiran Hara. Wajahnya panas. Bahkan lebih panas dari bakso yang ia pegang. Tanpa sadar ia melempar bungkusan bakso di tangannya. Lalu, ia mendengar jeritan histeris orang-orang di sekitarnya. Beberapa orang bahkan memegang tangan Hara. Matanya sempat melihat orang yang ia lempar bungkusan bakso itu diangkat ke dalam sebuah mobil. Ami yang berdiri di dekatnya menangis. Air matanya bercucuran. Apakah ia begitu lapar hingga tak dapat menahan tangisnya? Hara ingin memegang tangannya, tapi orang-orang menyeret Hara pergi menjauhi Ami.  Debu di bulan Oktober ini pun makin menutupi matanya.

Bandarlampung, 25 Oktober 2019

Tulisan ini untuk memenuhi Tantangan Pekan ke 7 Odop Batch 7
Menulis pembukaan cerita dalam 10 paragraph




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Bullying dan Pencegahan Bullying di Lingkungan Sekolah

Resensi Buku: Inteligensi Embun Pagi

Resensi Novel Kembara Rindu: Dwilogi Pembangun Jiwa