Kisah Keratuan Ratu Dipugung Zaman Now: Minak Kejalo Bidin Jr. dan Minak Kejalo Ratu Jr.

Diadaptasi dari Kisah Ratu Dipugung, Lampung Timur



Taman Purbakala Pugung Raharjo, Lampung Timur (sumber gambar: google)


Tersebutlah kisah di tanah Lampung, Pugung Raharjo. Tanah pegunungan yang subur. Sejauh mata memandang pertanian yang hijau menghiasi tanah kelahiran Kejalo Bidin dan Kejalo Ratu ini. Tanah yang kini merupakan salah satu dari 15 desa yang ada di Sekampung Udik, Lampung Timur. 

Tanah yang dulu terkenal dengan pencurinya ini sekarang makmur dan sejahtera.  Sejak Ratu Dipugung yang mulai memerintah desa itu sejak tahun 2000-an, desa itu jadi desa percontohan teknologi yang viral. Bahkan cucu –cucu Ratu Dipugung III yang baru duduk di bangku SMP itu menjadi anak jenius yang berhasil membuat platform e-commerce KopiLampung yang makin disukai masyarakat.

Berkat terobosan penjualan kopi khas Lampung yang dipasarkan oleh perusahaan Ratu Dipugung, desa Pugung bebas dari pencuri. Mantan – mantan pencuri yang bertebaran di wilayah Jabung dan sekitarnya pun kini hijrah, dan bekerja di perusahaan Ratu Dipugung III. Perusahaan kopi Ratu Dipugung pun berekspansi ke usaha peternakan kambing dan sapi yang cocok dengan daerah geografis Pugung yang beriklim sedang.

Untuk mempermudah pekerjaan, Ratu Dipugung membagi tanggung jawab pada dua cucunya itu. Si Abang, Bidin menjadi perencana, dan si Adik, Ratu menjadi pelaksana. Dua saudara itu saling dukung dan saling menyayangi. Mereka berdua selalu menghabiskan waktu bersama. Meski terlahir dari ibu yang berbeda, mereka diasuh dengan penuh cinta kasih. oleh ibu dan kakek mereka.

Cintanya pada kedua cucunya itu selalu mengingatkannya dengan ayah mereka. Sultan Banten. Raja terkenal di pulau Jawa. Raja yang begitu dihormati karena keilmuan dan kesolehannya. Sayang, Kejalo Bidin dan Kejalo Ratu belum pernah bertemu dengan ayah mereka.


Ratu Dipugung III menyadari bahwa kedua cucunya itu ingin mengenal tentang ayahnya. Tapi, ketaatan pada kakek dan ibu membuat mereka menahan diri untuk bertanya.  Hingga  suatu pagi di taman Pugung Raharjo dengan takut – takut kedua cucunya itu mendekatinya.

”Kakek, bolehkah Bidin bertanya?”  Ratu Dipugung mengangguk.

”Ya, tanyakanlah.”

”Bidin kan melihat tiga ekor burung perkutut.  Dua sudah besar dan satu masih kecil. Itu apa, ya, Kek?”

Ratu Dipugung tersenyum. Ia mengerti apa maksud pertanyaan cucunya.”Yang dewasa itu sepasang induk burung dan anaknya.”

”Sepasang? Apa itu?”

”Bagi anak burung, mereka adalah ayah dan ibunya.”

”Burung kecil itu punya ayah dan ibu. Kami hanya punya ibu.” Bidin memandang adiknya Ratu yang juga memandangi kakeknya.

”Apakah kami tak punya ayah?” tanya Ratu. ”Jika punya, di mana ayah kami?”

Ratu Dipugung III menghembuskan napasnya. Mengelus kepala kedua cucunya itu dengan sayang. ”Kalian sudah bertanya dengan ibu kalian?”

Bidin dan Ratu mengangguk. ”Ibu tak mau menjawab.” Bidin menjawab dengan sedih. ”Ibu terlihat sedih. Jadi kami tak mau bertanya lagi.” Ratu mengangguk lagi mendengar ucapan kakaknya.

”Baiklah, kalian belajarlah yang rajin. Nanti, kalau kalian lulus SMP dengan nilai baik. Kalian akan kakek kirim ke Jawa. Menuntut ilmu di Jawa dan menemui ayah kalian.”

Mata Bidin berbinar mendengar jawaban kakeknya. Ia menggenggam tangan adiknya. Ke dua anak berbakti itu mencium tangan kakeknya dan memeluknya dengan sayang.

”Kami janji akan belajar sungguh – sungguh dan membantu bisnis online kakek.” kata Bidin.

”Ya, Kek. Abang Bidin sekarang sedang mengembangkan platform digital yang memudahkan kita mengakses penjualan yang lebih luas,” lapor Ratu dengan bersemangat. Ia mengeluarkan gawai dari sakunya dan menunjukkan hasil kerja keras mereka.

”Ayah kalian pasti akan bangga.” Kakek tersenyum dan memeluk ke dua cucunya itu. Lalu, ia mendengarkan penjelasan rinci rencana bisnis cucu – cucunya itu dengan bahagia.

”Begitu, Kek. Kendala demografi dan faktor fiil atau gengsi bisa jadi pendongkrak penjualan kopi kita. Ditambah harga kopi kita yang kompetitif dengan rasa yang berkualitas.” Ratu menyentuh layar gawainya. Menunjukkan grafik target pemasaran yang akan mereka capai. ”Kita juga bisa menggandeng platform e-commerce lain untuk mengekspansi pasar sampai ke pulau Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Bahkan, kita bisa ekspor ke Amerika dan Jepang.”

Ratu Dipugung III menganggukkan kepalanya.

”Oya, Kek. Besok seorang pengusaha dari Jawa akan lihat – lihat pabrik kopi kita. Kak Bidin dan Ratu akan menemani mereka, karena ibu Putri Sinar Kaca dan ibu Putri Sinar Alam sedang ke Palembang. Menjenguk kakek Seginder Alam dan kakek Gayung Gerunggung.”

Dahi Ratu Dipugung berkerut. ”Kenapa dua putranya itu tidak pamit untuk pergi ke Palembang? Ada apa?” Hati Ratu Dipugung gelisah. ”Nanti aku akan menelpon mereka. ” Matanya menatap wajah ceria dua wajah muda yang ia sayangi itu. Bidin dan Ratu yang sebenarnya cicitnya. Cucu dari anak – anaknya.

Kejalo Bidin dan Kejalo Ratu memang lebih dekat dengan Ratu Dipugung daripada dengan kakek - kakeknya yang lain. Bahkan mereka terbiasa bermain dengan Ratu Dipugung dibanding dengan teman sebaya mereka. Jadi Kejalo Bidin dan Kejalo Ratu dapat membaca suasana hati Ratu Dipugung dibanding orang lain.  Hingga seluruh anggota keluarga selalu menanyakan tentang suasana hati Rattu Dipugung pada Bidin atau Ratu sebelum mereka menghadap raja yang sebenarnya murah hati ini. 

Tetapi, siapa yang mau ambil risiko untuk didamprat oleh raja? Ya, kan? Apalagi jika laporan yang ingin disampaikan terkait harga kopi yang anjlok. Jatuh hingga level terendah dalam 5 tahun terakhir. Bayangkan kerugian perusahaan jika biji kopi yang biasa per kilo ada di kisaran 30 - 50 ribu. Sekarang bisa hanya 17 ribu per kilonya. Kerugian perusahaan bisa capai jutaan rupiah dalam sehari saja! Memikirkannya bikin sakit kepala.

Kejala Bidin melihat file laporan manager penjualan perusahaan kakeknya itu dengan risau. Kalau ini terus berlangsung, perusahaan bisa rugi. Dan, petani plasma yang bekerja sama dengan perusahaan kakeknya akan menderita kerugian lebih besar. Ia menghembuskan napas. ”Semoga pengusaha dari Jawa itu tertarik dengan proposal perusahaan dan bersedia investasi, ” bisiknya dalam hati.

Sudut matanya  memandang wajah adiknya yang sedang diskusi dengan salah satu perencana pemasaran mereka. Keseriusan terpancar di matanya. Melihat adik yang usianya baru 14 tahun itu Bidin tersenyum. Risaunya serasa berkurang. 

Asalkan adiknya itu sehat, ia akan selalu bahagia. Bidin ingat saat adiknya sakit, semua orang panik. Adiknya kekurangan sel darah merah. Sel darah putih adiknya mengalami peningkatan yang disebut leukositas. Jadi adiknya itu butuh banyak darah merah. Untunglah, sekarang kondisinya membaik.

”Bang Bidin!? Ratu panggil diam saja.” Ratu melambaikan telapak tangannya di depan wajah Bidin. ”Abang memikirkan apa, sih?”

”Ah, tidak. Abang hanya berpikir tentang cara untuk mengurangi efek penurunan harga ini.” Bidin tersenyum.

”Tenang, Bang. Bulan Juli, kan emang panen raya kopi Lampung. Jadi, masalah seperti ini bukan yang pertama kali. Bedanya, sih regulasi impor kopi ke Indonesia yang besar bikin penumpukan suplai kopi di pasaran. Imbasnya, ya, harga yang merosot. Ini bahkan lebih rendah dibanding tahun lalu yang mencapai 25 ribu per kilo,” kata Ratu sambil menyentuh layar gawainya. Menunjukkan grafik laporan petani dan pekerja di perkebunan kopi.
”Kakek Ratu Dipugung juga sudah kirim e-mail ke kita. Lihat!” Ratu menunjukkan email dari kakek mereka yang berbunyi singkat.

”Kalian bisa ke Jawa untuk temui pengusaha itu. Namanya Sultan Banten. Kalian bisa berangkat besok sepulang sekolah. Tiket dan akomodasi sudah diatur ibu kalian, ibu Putri Sinar Alam. Salam sayang, Kakek.”

”Yeay!” Ratu meloncat kegirangan. Ia memeluk kakaknya dan bersorak.”Akhirnya kita bisa pergi berdua saja. Seperti orang dewasa.” Bidin hanya menggelengkan kepalanya. Tersenyum melihat kebahagiaan adiknya.

”Yuk, kita rapikan keperluan untuk besok.” Bidin menggenggam tangan adiknya. ”Besok, adik kan ujian bahasa Indonesia. Istirahat.”

”Tapi, Bang...”Ratu memandang abangnya dengan memelas. ”Ratu mau ngobrol dengan ibu Sinar Alam.”

Bidin tertawa, mengelus kepala adiknya. ”Ibu Sinar Alam sudah tidur, Adik sayang. Besok pagi kita telpon ibu Sinar Alam.” Bidin menarik tangan adiknya. ”Yuk, tidur. Abang janji, kita akan bersenang – senang di Jawa nanti.”

”Bener, Bang?!” Mata Ratu berbinar. ”Ratu boleh main roller coaster juga?”

Bidin mengetuk dagunya. Menggeleng. ”Yang itu tidak boleh. Abang tidak mau ambil risiko.” Bidin buru – buru melanjutkan saat wajah adiknya berubah kecewa. ”Tapi abang akan bawa kamu ke Kebun Binatang Ragunan. Kita jenguk saudara – saudara kita.”

”Yaaa, Abang!” Ratu menjerit mengejar abangnya yang berlari ke kamar mereka. Tawa Bidin menggema di rumah itu. Ratu yang akhirnya berhasil mengejar abangnya, mengelitiki perut abangnya dengan gemas.

”Ampun. Ampun, Dik.” Bidin dan Ratu bergulingan di kasur mereka. ”Baik, baik.. Abang menyerah.” Bidin mengusap air mata yang mengalir di pipinya. Ia memang tak tahan geli. Dan, Ratu tahu benar kelemahannya itu.

”Abang mau ajak Ratu ke Perpustakaan, kan?” kata Ratu. Bidin mengangguk. ”Pasar ikan.” Bidin mengangguk lagi. ”Dufan?” Mendengar kata Dufan, Bidin terdiam. ”Bang...” Ratu mengatupkan ke dua tanganya.

Bidin menghela nafas. Dengan berat hati ia mengangguk. ”Baiklah...” Mendengar itu Ratu menjerit girang. ”Dengan syarat, Ratu tidak boleh terlalu capek. Okey?!”

Ratu mengangguk. ”Baik, Bang. Ratu akan tenang dan jadi adik yang baik.” Bidin hanya menggelengkan kepalanya. Tak percaya.

Bidin memperhatikan adiknya yang sudah tertidur dengan nyenyak. Perlahan diciumnya dahi adik yang usianya terpaut setahun dengannya itu. Dipandanginya adik yang selalu ada di sisinya itu, dan diciumnya telapak tangannya dengan sayang. Hatinya terkadang merasa risau jika teringat Ratu. Sebenarnya ia harus berangkat untuk melanjutkan sekolah ke Jawa sejak tahun lalu. Tapi, ia menunda keberangkatannya. Bahkan tetap bersekolah di tempat yang sama dengan adiknya itu. Ia tak ingin jauh dari Ratu. 

Kekuatirannya itu pun kadang membuatnya terjaga dengan tiba - tiba dari tidurnya, dan mencari adiknya. Memeriksa denyut nadi dan nafas adiknya. Kadang ketakutan adiknya akan pergi meninggalkannya  seperti ayah mereka membuat tubuhnya berkeringat dingin.

Bidin sudah membuat perjanjian dengan kakek Ratu Dipugung dan sekolah agar ia tetap bisa bersama Ratu. Kompensasinya, ia harus mengajar komputer di jam – jam tertentu di sekolah dan membantu kakek Ratu Dipugung dengan bisnis onlinenya.

Bidin tahu, kakek Ratu Dipugung ingin ia tak perlu kuatir dengan Ratu. ”Kan masih ada kakek,” kata Kakek waktu itu. Tetapi Bidin tak bisa jauh dari Ratu. Sungguh, tak bisa.

Bidin pun sudah mempersiapkan sekolah mereka nanti di Jawa. Ia sudah mengecek jurusan apa yang diminati adiknya. Mempersiapkan rumah kos yang akan mereka tempati. Bahkan, mendata RS dan dokter terdekat jika tiba – tiba adiknya kambuh sakitnya. 

Dan, kalau kakek memberitahu siapa ayah mereka nanti, Bidin akan mencari tahu lebih dahulu. Agar ia tahu apakah ayah masih sayang dengannya dan adiknya atau tidak. Ia ingin adiknya selalu bahagia.

Sementara itu, di tempat lain di tanah Banten, seorang laki – laki yang berwajah tenang memperhatikan ke arah selatan pulau Sumatera. Tanah Lampung. Matanya menatap penuh kerinduan ke arah dua cahaya yang berpendar dari tanah Dipugung. Pria berwajah tenang itu tak lain dan tak bukan adalah Sultan Banten, ayah Kejolo Bidin dan Kejolo Ratu.

Bandarlampung, 4 Oktober 2019


Selesai
-------------------

Cerita ini merupakan adaptasi cerita Minak Kejolo Ratu atau Ratu Darah Putih yang merupakan nenek moyang dari Pahlawan Lampung, Radin Intan. Cerita ini juga telah dirubah jalan cerita dan endingnya oleh penulis untuk mengikuti Tantangan Pekan ke 4 ODOP

Komentar

  1. Keren ... Perpaduan jaman now and jaman old 😊👍👍

    BalasHapus
  2. Baguus.. Kak..
    sekalian mempromosikan kopi Lampung..

    BalasHapus
  3. Baru tahu kisah Ratu Dipunggung

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya..blom begitu populer. Padahal ini erat dg kisah sultan banten lho^^

      Hapus
  4. Bagus ini kakak ,sekalian mempromosikan hasil bumi

    BalasHapus
  5. Balasan
    1. Aslinya ini judulnya Minak Gejala Ratu atau Ratu Darah Putih, mbak. Terima kasih dah mampir

      Hapus
  6. Bagus mbak improvisasinya. Mengarah pada teknologi, kerennn.....

    BalasHapus
  7. Baru tau kisah ratu dipugung, keren mbak idenya :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Bullying dan Pencegahan Bullying di Lingkungan Sekolah

Resensi Buku: Inteligensi Embun Pagi

Resensi Novel Kembara Rindu: Dwilogi Pembangun Jiwa