Cerita Jali

Perjalanan itu tak selalu berwarna hitam dan putih. Seperti juga rasa permen yang selalu manis. Begitu pun rasaku padamu.
Catatan Jali, 2019

Rasa Cemburu

Rasa kesal membakar dada Jali. Ia selalu merasa bahwa ibunya lebih mencintai ayah tirinya. Perasaan yang selalu dipendamnya dalam hati, hingga ia ingin menjerit. Dengan kesal ia menendang kaleng yang tergeletak di depannya. 

Ujung matanya melihat orang yang dipanggil ibunya dengan sebutan Mas Sarjo itu datang. Lelaki kurus dan berkulit hitam manis itu tersenyum pada ibunya sambil menyodorkan sebungkus kue pie kesukaan ibunya.  

“Makan, Dek.” Lelaki itu berkata dengan nada lembut pada ibunya. Mendengarnya, Jali ingin tertawa keras. "Pura -  pura," desisnya kesal. Ia ingin sekali merebut kue itu dan menjejalkannya ke mulut lelaki yang selalu tersenyum itu. 

Selama bertahun – tahun ini ia selalu melihat wajah itu tersenyum. Rasanya ingin muntah. Apalagi ibunya selalu tertawa di dekatnya. Terlihat selalu gembira. Padahal bapak sendirian di rumahnya. Padahal bapak terlihat tak bahagia. Tapi, ibu terlihat senang dengan lelaki itu. Tak adil.

Jali melangkah ke arah parkiran motor di belakang pasar Koga. Ia ingin mengambil motornya dan berangkat ke tempat kerjanya. Di samping motornya,  ia melihat gerobak ayah tirinya. Ia tersenyum. 

“Ini bisa dijadikan pelajaran.” Jali bicara sendiri dan mengangguk puas melihat empat ban gerobak ayahnya yang ia kempiskan. Lalu, ia naik ke motornya, dan pergi ke tempat kerjanya. Ia tak tahu ayah Sarjo melihatnya dari kejauhan dengan tatapan sedih.

Pekerjaan hari ini begitu melelahkan, hingga Jali tak sempat makan. Kue yang ia bawa dari watung ibunya masih teronggok di meja Barak, tempat buruh bangunan istirahat sejenak dan makan. 

Jali juga tak sempat shalat Ashar karena ia masih menyelesaikan tugasnya. Memasang genteng di atap rumah yang sedang mereka kerjakan. 

"Tanggung," pikirnya sambil terus menerima lemparan genteng dari kenek bangunan yang berdiri di bawahnya. Dengan hati - hati, ia menyusun genteng - genteng itu di rangka atap yang ia kerjakan seharian. 

Kalau tak hati - hati, ia bisa memecahkan genteng - genteng itu. Dan, mandornya pasti marah lagi. Hari ini saja ia sudah memecahkan tiga genteng. Ia kuatir, upah mingguannya akan dipotong untuk mengganti genteng yang pecah. Jali menghembuskan napas dengan kesal. 

"Ini gara - gara lelaki itu!" Prak! Satu lagi genteng jatuh ke tanah. Jali mendengar teriakan marah dari bawah. Mandornya. 

"Sial, kena marah lagi aku. Capek - capek kerja, kena marah terus! Ini gara - gara lelaki itu!" Jali menggerutu sambil menuruni tangga. Memenuhi panggilan mandornya. Bosnya itu terlihat sangat marah.

"Jali! Hari ini kamu bisa mengambil gajimu!" Bentak lelaki kekar yang ia panggil pak Bos itu sambil menunjukkan jari telunjuknya ke arah Jali. "Besok tak usah datang lagi!"

"Tapi, Bos." kata Jali.

Pak Bos mengangkat telapak tangannya ke arah Jali.

"Pulanglah. Sebelum aku lebih marah lagi. Kamu sudah memecahkan lebih dari dua puluh genteng. Padahal baru kerja tiga hari. Kamu datang terlambat, dan pulang semaumu. Kamu selalu malas - malasan, kalau kamu pikir aku tak melihatmu. Kamu lupa, orang yang bekerja di sini adalah keluargaku." 

Pak Bos menggelengkan kepalanya. "Sudahlah, Jali. Ambil upahmu dan pulanglah." Pak Bos memperhatikan Jali berjalan ke kantor proyek. 

Sebenarnya ia kasihan dengan Jali. Tepatnya, ia kasihan dengan bu Darmi. Kalau Jali tak bekerja, biaya hidup Jali dan anak - anaknya akan jatuh ke pundak bu Darmi. Tapi, ia tak tahan mendengar keluhan para pekerjanya tentang Jali. Jali yang malas. Hanya duduk - duduk santai kalau ia tak ada. Jali yang tak mau mengangkat semen atau batu. Dengan alasan tidak kuat. Jali yang susah diatur. 

Pak Bos menghembuskan napas berat. Besok ia akan menemui bu Darmi dan menjelaskan masalahnya. Semoga bu Darmi mengerti alasannya memecat Jali.

"Jali, kamu beruntung. Pak Bos itu orangnya baik sekali. Seharusnya upahmu sudah habis untuk makan, kopi dan rokokmu. Belum lagi dengan masalah yang kamu timbulkan. Genteng yang pecah, paku yang hilang. Semen yang tumpah," Mbak Surti, kasir proyek bangunan geleng - geleng. 

"Kamu itu seharusnya minta maaf pada pak Bos. Mungkin ia akan..." Belum selesai mbak Surti bicara, Jali sudah berbalik pergi. Mbak Surti hanya menggelengkan kepalanya. Tangannya mengelus dadanya yang rata."Sing sabar, Gusti."

Jali menunduk. Rahangnya menegang. Tangannya mengepal. 

"Mengapa orang - orang tak bisa mengerti dirinya dan menghargai kerja kerasnya. Apa mereka tidak lihat?" Kulitnya kini telah menghitam karena terbakar matahari. Tangannya pun kasar karena mengangkat barang berat. 

Matanya melotot ke arah seorang anak kecil yang berlari ke arahnya. Melihatnya anak itu berbalik Berlari sambil menangis. Jali hanya memperhatikan anak kecil itu memeluk ibunya yang duduk di bawah pohon deket kantor proyek. Mungkin ia istri dan anak tukang yang kerja di proyek itu. Ibu itu memandang ke arahnya dengan tatapan tak suka. 

Jali terus melangkah meninggalkan proyek bangunan yang baru ia datangi selama tiga hari itu. Tak peduli. Di sakunya ada uang seratus ribu. Upahnya bekerja selama tiga hari dipotong uang makan dan kopi. Telinganya masih terngiang ucapan mbak Surti. 

"Baik, apanya?! Uang segini mana cukup buat makan!?" Jali terus mengomel.

Dalam perrjalanan Jali terus menggerutu dan menyalahkan ayah tirinya. Orang yang membuat ibunya meninggalkan bapak. Orang yang telah membuatnya tak bisa lanjut sekolah, Orang yang selalu membuatnya kesal.

"Sudah pulang, Nak?" sambut pak Sarjo. Ia membuka pintu dan tersenyum. 

"Ya!" Jali menyahut kasar. Kenapa harus melihat wajah orang ini lagi. Bikin hatinya makin panas saja. Jali melempar ransel kerjanya ke meja makan. Membuka pintu kamarnya, dan membanting pintunya.

Pak Sarjo menatap pintu kamar Jali yang tertutup sambil memegang dadanya. Tangan bu Darmi mengusap lengan suaminya dengan sedih.

"Maafkan, Jali, ya Mas," bisik Darmi. Matanya Darmi berkaca - kaca. Pak Sarjo hanya mengangguk.

"Nggak apa - apa, Dek." Pak Sarjo tersenyum lemah. "Suatu saat nanti Jali pasti mau menerima mas."

"Kapan?" tanya Darmi seolah pada dirinya sendiri. "Ini sudah lebih dari dua puluh tahun. Kapan Jali mau dewasa?"

"Sudahlah, Dek. Doakan saja," hibur pak Sarjo.

"Aku telah gagal mendidiknya, Mas." Darmi terisak. Pak Sarjo memeluk istrinya dengan perasaan tak menentu. 

Sementara Jali mendengar percakapan ibu dan ayah tirinya dengan kemarahan yang makin menjadi. Dengan keras ia membuka pintu. Pak Sarjo melepaskan pelukannya, dan memandang anak dari istrinya itu dengan hati sedih.

"Mak, aku mau keluar," kata Jali tanpa menghiraukan ayah tirinya itu. "Aku minta uang." 

"Lho, kan baru dapat gaji. Kata pak Bos, kamu baru terima seratus ribu hari ini." Darmi memandang anaknya tak percaya.

"Uangnya sudah habis buat makan bareng teman - teman tadi." jawab Jali. "Kata Mak kita kan harus beramal. Jadi tadi kutraktir teman - temanku." 

"Tapi, uang Mak untuk bayar beras besok."

"Mak kan bisa bayar lusa. Mana, Mak uangnya, " paksa Jali. "Teman - temanku sudah nunggu!" Jali mendekati ibunya dan mengambil dompet yang ia pegang.  Jali mengambil dua lembar uang lima puluh ribuan dari dompet itu.

"Jangan diambil semua, Jali," kata Darmi. Jali tak mempedulikan ibunya. Ia melangkah ke luar rumah dan menghidupkan motornya. 

Matanya sempat melihat ibu dan lelaki itu berpelukan. Tangan lelaki itu mengusap kepala ibunya. Mereka terlihat mesra. Dada Jali serasa mau pecah. Dengan marah ia menabrakkan motornya ke pot mawar yang ditanam ibunya. Jali tak tahu ibunya menangis semalaman. 

Sementara pak Sarjo berusaha menghibur istrinya. Berdua, Darmi dan pak Sarjo berdoa  untuk Jali sambil membungkus dan merebus lontong untuk dijual besok.

Bandarlampung, 3 September 2019

Komentar

  1. Tokoh Jali nyebelin.. bagus banget Kak

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya kak. Apalagi kalau lihat orangnya ya hehe. Ini terinspirasi kisah nyata lho, Kak. Anyway, thanks sudah mampir

      Hapus
  2. Banyak jali jali yang lain di dunia ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya..mbak. pendidikan karaker sangat diperlukan,ya. Nggak sekedar ngasih materi untuk menuhi kebutuhan anak. Ah, tapi prakteknya tak semudah itu. Anyway, tq udah mampir mbak

      Hapus
  3. Balasan
    1. ya, Kak. Cermin diri untuk lebih menyayangi orang tua kita. Makasih udah mampir Kak

      Hapus
  4. Ya Allah...... Memandang kedepan, tugas orangtua rasanya begitu berat

    BalasHapus
  5. Ya Allah...semoga anak2 kita tak akan jd seperti itu

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Bullying dan Pencegahan Bullying di Lingkungan Sekolah

Resensi Buku: Inteligensi Embun Pagi

Resensi Novel Kembara Rindu: Dwilogi Pembangun Jiwa