SEPASANG SEPATU DAN ANAK YATIM


 “Ari tidak mau sekolah,” rengek Ari  pada ibu sambil melihat sepasang sepatu yang teronggok di sudut rumahnya.

“Sabar ya, nak. Ibu belum mempunyai uang untuk membeli sepatu baru buatmu. Sepatu yang lama masih bagus, kan?”bujuk ibu, “Nanti ibu belikan yang baru  saat ibu gajian.” Ari menghentakkan kakinya ke lantai. Mulutnya merengut, matanya berkaca – kaca dan memerah.

“Ari tidak mau sekolah. Ari malu dengan teman – teman. Semuanya memakai sepatu baru dan bermerk. Sementara sepatu Ari sudah lama dan terlihat kusam,” Ari melihat sepatunya dengan ujung matanya Kesal, “Pokoknya Ari tidak mau sekolah sebelum dibelikan sepatu baru!”  Ari menghentakkan kakinya sambil berlari ke kamarnya. Ia membuka dan menutup pintu kamarnya dengan kasar. Ibu hanya menggelengkan kepalanya dengan sedih.

“Ari sayang..” kata ibunya lirih dari balik pintu, “ Ari harus mengerti dengan kondisi kita, tapi kalau memang dengan membeli sepatu baru bisa membuat Ari rajin belajar, ibu akan belikan Ari sepatu baru. Ibu sayang Ari.” Ibu mendesah dan berjalan ke dapur. Melanjutkan pekerjaannya meracik jamu untuk dijual siang ini.

Ari membuka pintu kamarnya dan menghambur ke arah ibunya yang sedang memotong jahe, “Benar Bu?” ibu mengangguk. Mata Ari berbinar. “Ari sayang ibu.” Ari mencium pipi ibunya. Ibu mencium dahi Ari dengan lembut. “Ibu benar akan membelikan sepatu baru buat Ari, kan? Tidak bohong?” Ari menatap mata ibu. Ibu tersenyum dan mengangguk. Mengusap rambut Ari setelah melap tangannya. “Hore!” Ari meloncat dengan gembira sambil mengusap air mata yang mengalir di pipinya. Ia merasa sangat senang.

“Ari belajar di sekolah dengan rajin, ya,” bisik ibu. Ari mengangguk dan berlari menyambar sepatu dan tasnya. Ia sudah hampir terlambat ke sekolah. Untung saja letak sekolah tidak jauh dari rumahnya.

Sesampai di sekolah Ari langsung masuk ke dalam kelas dan duduk di bangkunya.  Kelas sudah ramai karena sebentar lagi bel masuk akan berbunyi.

“Ari, kamu udah mengerjakan PR IPA?” tanya Karim, teman sebangkunya.

“Sudah.”jawab Ari sambil mengikat tali sepatunya, “Kemarin kerja kelompok dengan Deni , Lutfi dan Angga. Kenapa?” Karim menggeleng. Wajahnya terlihat gelisah. Ari mengerutkan dahinya. Memperhatikan wajah teman akrabnya dengan seksama. Karim terlihat berbeda dari hari biasanya. Ari melihat wajah Karim terlihat pucat dan matanya memerah. Baju seragam yang dikenakan Karim yang biasanya rapi, hari ini terlihat kusut dan seperti belum dicuci. Lalu, mata Ari melihat sepatu yang dikenakan Karim yang telah sobek di bagian depannya. Hatinya terenyuh. Ari memang dekat dengan Karim, tapi Ari tidak tahu banyak tentang Karim karena ia begitu pendiam. Bahkan Ari tidak tahu di mana rumah Karim. Padahal Karim sering menginap di rumah Ari ketika ada tugas kelompok. Ari pernah mendengar guru yang bercerita tentang seorang anak yatim piatu yang bernama Karim yang belajar di sekolahnya. Sebenarnya Ari ingin bertanya, tapi Ari takut membuat Karim merasa sedih. Jadi Ari hanya memendam keingintahuannya dalam hati. Tapi hari ini  Ari bertekad untuk mencari tahu tentang Karim bagaimanapun caranya. Apalagi saat istirahat Karim tidak ada di kelas. Kata bu guru, Karim ijin pulang karena ibunya sakit.

Saat bel pulang berbunyi, Ari segera berlari pulang. Di rumah ia mendapati ibu sedang mempersiapkan dagangan jamunya. “Aku akan pergi mencari rumah Karim setelah makan dan membantu ibu,” pikir Ari.

“Ada apa, Ari?” ibunya memandang Ari. Dahinya berkerut menatap Ari.
Ari menggeleng,” Tidak apa- apa, bu. Ari mau mencari rumah Karim. Tadi Karim ijin pulang cepat. Ari khawatir.” Ari menunduk. Ia membayangkan Karim menunggui ibunya yang sakit. Sendiri.

“Ari bisa pergi sekarang.” Ibu mengusap rambut Ari.

“Tapi, ibu.. siapa yang membantu?” kata Ari ragu-ragu. Ia memperhatikan ibu yang terlihat letih. Hatinya merasa tak tega. Tapi ia ingin menemui Karim.

“Ibu tidak apa-apa. Ini juga sudah selesai.” Ibu menepuk bahu Ari. “Pergilah. Temui Karim.”

Ari mengangguk dengan ragu dan berdiri. Lalu, ia mencium tangan ibunya, “Ari pergi dulu ya, Bu. Jam 5 sore Ari pulang. Ibu harus istirahat kalau lelah. Assalamualaikum..” pamit Ari. Ia menyambar sandal jepit dan sepedanya.

“Walaikumsalam,” sahut ibu. Mata ibu memperhatikan Ari yang mengayuh sepedanya sampai hilang di tikungan jalan.

Setelah bertanya kesana – kemari, Ari berhasil menemukan rumah Karim. Kata tetangganya, Karim tinggal berdua dengan ibu angkatnya yang sudah tua di rumah itu. Ari meyandarkan sepedanya di depan rumah Karim. Ia memandangi rumah Karim yang berdinding separuh kayu dan separuh bata. Sebagian kayu terlihat telah mengelupas. Atapnya sebagian telah rusak dengan genteng yang sebagian terlihat telah pecah. Dengan  ragu Ari melangkah mendekati rumah Karim dan  mengetuk pintu rumahnya. Berharap Karim sekarang sedang ada di rumahnya dan bukan di rumah sakit. Matanya menatap pintu rumah Karim yang engselnya telah hilang dan sepertinya ia harus mengangkat ujungnya agar bisa terbuka.

“Assalamualaikum..” ucapnya.

“Walaikumsalam..” Ari mendengar suara Karim yang menjawab salamnya diselingi seret langkah kakinya. Saat membuka pintu, Ari mendapati mata Karim yang terlihat agak terkejut. Mulutnya terbuka.

 “ Masuk..” Karim membuka pintu rumahnya lebih lebar hingga Ari bisa masuk ke dalam rumahnya. Karim terlihat lelah.

“Gimana kabar ibumu ?”tanya Ari sambil menyerahkan bungkusan kue buatan ibunya ke tangan Karim. “Untukmu.”

“Terima kasih..” kata Karim. Ari mengangguk. Matanya melihat sepasang sepatu lusuh dan sudah sobek di bagian depannya yang biasa dipakai Karim ke sekolah tergeletak di sudut ruangan. Ia ingat bagaimana ia merengek untuk dibelikan sepatu baru pada ibunya padahal sepatunya yang lama masih baru. Padahal ia tahu ibunya sekarang masih kesulitan mengumpulkan uang untuk biaya sekolah kakaknya. Padahal ia tahu sekarang mencari uang tidak mudah dan ibunya harus bekerja seorang diri untuk membiayai ia dan kakaknya. Ari merasa malu dan menyesal.

“Ibu kena struk,” kata Karim, menyadarkan Ari dari lamunannya, “Kemarin ibu jatuh di kamar mandi..” Karim memandangi pintu kamar ibunya yang tertutup. “Sekarang ibu sedang istirahat.” Ia menarik nafas panjang. Ari menepuk bahunya,

“Ibumu pasti sembuh. Yang sabar ya, Karim.” Karim mengangguk.

“Besok, bude Susi akan datang menjemput ibu untuk dibawa berobat.”

“Kamu ikut?”Tanya Ari. Karim menggeleng.

“Kata ibu, aku harus sekolah.” Karim menunduk. Ia mengusap matanya dengan tangannya. Ari memeluk Karim. Mereka menangis berdua.

“Aku akan bilang pada ibuku agar kamu bisa tinggal dengan kami, Karim,”bisik Ari. “Ibu pasti senang kalau kamu tinggal dengan kami. Aku jadi punya teman belajar,”

“Benarkah?”Karim memandang Ari penuh harap. Ari menggenggam tangan Karim.

“Ya,”angguknya sambil tersenyum. “Ibumu juga pasti senang,  kamu ada yang menemani. Jadi ibumu tidak merasa khawatir dan bisa cepat sembuh.” Ari bangkit dari duduknya dan memegang tangan sahabatnya. “Kamu tidak perlu khawatir, Rim. Ibu kita berdua bersahabat. Pasti ibumu percaya dengan ibuku. Aku pulang dulu dan meminta ibuku untuk datang ke sini. Jadi, kamu bisa tinggal bersamaku saat ibumu berobat di rumah budemu.” Ari mengambil topinya dan melangkah ke pintu. Mengangguk pada Karim, membuka pintu dan menutupnya lalu setengah berlari ia melangkah ke arah sepedanya dan mengayuhnya dengan kencang pulang ke rumahnya. Tak sabar untuk membawa ibunya menemui Karim dan ibunya.

Sesampai di rumah, waktu telah menunjukkan jam 5 kurang. Ia segera mandi dan membereskan pekerjaan rumahnya serta membantu ibunya di dapur. Ia juga menimba air dan mengisi bak mandi dengan penuh. Ibunya memperhatikannya sambil tersenyum. Sambil melipat baju, ibu bertanya,” Ada apa, Ari sayang?” Ari menarik nafas dan bercerita tentang Karim. Ibu mengangguk. “Baiklah, kita mengunjungi Karim setelah shalat Isya..”

Ari mencium tangan dan pipi ibunya,”Terima kasih, Bu. Ari sayang Ibu.”

Ibu  tersenyum.”Ibu juga.”

“Oya, bu.. Ari sekarang tidak ingin sepatu baru lagi..” kata Ari sambil menunduk. Wajahnya memerah. Ibunya hanya tertawa lirih, “ Ari mau ke masjid dulu.” Ari bangkit dari duduknya dan mengambil sarung dan pecinya. Wajahnya masih memerah. Ia mencium tangan ibunya dan melangkah ke arah pintu, membuka pintu dan menutupnya. “Assalamualaikum,”ucapnya lirih, tapi masih terdengar oleh ibunya.

“Walaikumsalam,” jawab ibu sambil menatap anak bungsunya yang berlari ke arah mesjid yang letaknya hanya beberapa langkah dari rumah mereka.

Malam itu Ari dan ibunya menemui Karim dan ibunya dan menceritakan niat mereka. Ibu Karim sangat senang dan berterima kasih atas kebaikan hati ibu Ari. Lalu, saat ibu Karim meminta agar dapat bicara dengan ibu Ari berdua, Ari dan Karim mengerjakan tugas sekolah di ruang tamu.
Saat pulang ibu terlihat gelisah, hingga Ari merasa khawatir. Saat Ari bertanya ibu hanya tersenyum dan menggeleng. “Ibu hanya lelah.” Lalu ibu masuk ke kamar tanpa bicara apa – apa.

Sepanjang malam Ari tidak bisa menutup matanya, ia hanya tergeletak di atas tempat tidurnya. Matanya menatap langit-langit kamarnya. Pikirannya dipenuhi dengan wajah Karim dan ibunya yang terlihat sangat pucat saat Ari dan ibunya pulang ke rumah tadi malam. Hatinya gelisah, berharap pagi lekas datang hingga ia bisa segera menemui Karim untuk menenangkan hatinya.

Matahari bersinar melalui jendela kamarnya. Hari begitu cerah. Ari melirik jam di dinding kamarnya dan melompat dari tempat tidurnya saat di lihatnya jam telah menunjukkan angka 6.10 pagi. “Kenapa ibu tidak membangunkanku,” Ari segera bergegas ke kamar mandi dan segera berpakaian setelah mandi dan menggosok gigi dan menyisir rambutnya. Lalu Ari melangkah ke dapur dan mendapati ibunya duduk di depan meja makan yang kosong. Aneh, biasanya ibu selalu sudah siap dengan sarapan. Dilihatnya ibu memakai baju gamisnya yang berwarna hitam. Perasaannya jadi tidak enak. Ibu bangkit dari tempat duduknya saat melihat Ari dan memeluknya. “Ibu..ada apa?” ibu mengusap punggung Ari dan mencium kepalanya. Ari mengangkat wajahnya. “Bu..apakah...?” Ibu mengangguk. Mata Ari berair. Tenggorokannya tercekat.

“Ibu Karim meninggal pagi ini jam 1.” Ibu mengusap rambut Ari dengan lembut.”Ari ganti baju, ya. Kita takziah sekarang..” Ari mengangguk tak sanggup berkata – kata. Air mata mengalir di pipinya. Ibu memegang bahu Ari dan menatap matanya.

“Ibu tahu,  Ari sayang dengan Karim.” Ari memeluk ibu dengan erat. Hatinya sedih memikirkan nasib Karim.

 “Jangan khawatir.. semua akan baik-baik saja. Karim akan baik-baik saja,” bisik Ibu. Ari mengangguk. Tak sanggup bicara lagi. 

Bandar Lampung, 12 September 2019



Komentar

  1. Jadi, Dikau ingin membelikanku sepatu? 😅

    BalasHapus
  2. Ikut sedih kak, turut merasakan kesedihan karim... huhu

    BalasHapus
  3. Kejadian sih waktu masa2 SD ya kurang lebih kayak gitu. Setelah umur 20an baru ngerasa gimana perjuangan orang tua buat ngebahagiain anaknya. Jadi bersyukur dengan apa yang dipunya 😢😢

    BalasHapus
    Balasan
    1. bener kk. Kesadaran emang perlu proses. Biasanya proses yang sulit bikin kesadaran jadi lebih baik. thanks sudah membaca kk

      Hapus
  4. Waahh mbaknya... Huhuhu keyen cerita ini. Mantul kaks

    BalasHapus
  5. Ceritanya sangat bermakna. Mengajarkan rasa saling mengasihi. :")

    BalasHapus
  6. Terharu T.T Selalu bisa menemukan momen utk bersyukur karena melihat ada orang lain yg mendapat ujian yg lebih berat. Nice story, mba.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya kk Izza. Semua orang diuji sesuai dengan kadar yang berbeda. Tq udah mampir kk

      Hapus
  7. Mba suka nulis cerpen ya? Saya sudah lama gak bikin cerpen. Ceritanya bikin terharu

    BalasHapus
  8. Bagus deh mbak ceritanya. Ikut merasa sedih juga liat si Karim. Kembangkan lagi mbak. Jadikan buku. Keren ini

    BalasHapus
  9. Aduh terharu banget dengan cerita anaknya. Bikin makin sayang dengan ibu ya. Semangat menulisnya Mbk. Ini udah cakep banget, poles-poles kirim ke Lampung Post.

    BalasHapus
  10. keren kak ceritanya,.. apalagi tokoh karimnya

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Bullying dan Pencegahan Bullying di Lingkungan Sekolah

Resensi Buku: Inteligensi Embun Pagi

Resensi Novel Kembara Rindu: Dwilogi Pembangun Jiwa