Garam, Filosofi Asin Ibu

"Wah, masakanmu enak, " kata ibu siang itu. "Tapi, rasanya keasinan ya ?" Ibu tertawa. Aku juga. "Ana mau kawin." Mba De yang mendengarkan ibu menyeletuk. Aku hanya nyengir. Well, my taste bud emang gak gitu bagus. Kadang sulit bedain rasa masakan. Untungnya, aku nggak milih profesi sebagai chef. Gak kebayang nasib costumer ku jika aku jadi chef mereka. Aku tertawa dalam hati.

Eh, terkait komentar mb De ? Ehm, no comment deh!


Okey, ngomongin tentang asin, kupikir gak lepas dengan garam dapur. Bahan masakan yang terbilang sangat essensial aka penting banget. Kata ibu, masakan tanpa garam itu seperti hidup tanpa rasa. Jujur, nggak begitu paham sih. Tapi aku hanya angguk- angguk. Pura - pura ngerti. Sambil berproses untuk memahami.

Dalam ketidak mengertian, aku lalu membuka buka. Belajar lagi. Dan, sebagai mana layaknya sebuah awal pemahaman. Aku harus tahu sejarah garam.So, aku buka google dan membaca dengan rajin.


Akhirnya kuketahui bahwa

1. Garam di Indonesia itu awalnya diproduksi di Madura, tepatnya Pulau Sumenep. Dan, garam ini secara turun temurun selama 500 tahun jadi mata pencarian di pulau ini. Madura juga jadi penghasil garam ke 2 di Indonesia setelah Cirebon.
2. Garam adalah senyawa ionik yang terdiri dari ion positif (kation)dan ion negatif.(anion) hingga membentuk senyawa netral. Garam terbentuk dari reaksi asam dan basa.(Bagian yang ini pun nggak paham, tapi ya aku terus membaca aja)
3. Garam mempunyai banyak khasiat buat kesehatan, seperti mengobati sinusitis, menetralkan luka, membunuh kuman dan lain - lain.
4. Garam pun mempertemukan rasa dalam satu wadah, seperti sayur di mangkuk Tanpa garam, rasa tak sempurna. Ya kan ?
5. Garam juga beraneka ragam, seperti manusia. Ada garam pink Himalaya, garam meja, garam kosher, garam laut, garam kala mamak, dan garam Crystalline Sea Salt.

Oya, garam yang sudah dikenal sejak 6000 tahun sebelum Masehi di Danau Yungchen, China ini juga kupikir nggak ada hubungannya dengan orang yang mau kawin. Ini menurutku lho. Tapi, secara filosopi sih mungkin bisa dihubung - hubungkan karena rasa yang muncul dalam sebuah perkawinan mungkin erat kaitannya dengan asam garam. Lha, kan garam merupakan reaksi asam dan basa?

Okey lanjut, 

Menurut ibuku juga, seseorang itu pun seharusnya juga memahami bahwa garam itu merupakan salah satu standar kesehatan kita. Katanya, kalau seseorang terlalu banyak konsumsi garam, maka ia akan sakit. Dan, kalau orang itu tak lagi dapat mengkonsumsi garam, tandanya ia sedang sakit. Well, sampai sini aku kembali manggut - manggut. Sambil berpikir bahwa bangku sekolah pun tak mengalahkan panjangnya seseorang menjalani asam garam hidup ini.

Filosofi Garam

Anyway, ibuku bercerita tentang seorang temannya yang tidak ke pasar Koga berminggu - minggu. Saat ditanya, temannya itu ternyata sedang sakit. Jempol kakinya luka borok karena diabetes. 
"Yah, gimana nggak," kata bu Yati, Salah satu teman ibu di pasar. "Setiap pagi ia minum teh manis tiga gelas. Dan, gulanya dua sendok !" Ibu hanya diam mendengarkan. Aku juga tahu meski tak diceritakan bahwa teman ibu itu juga rajin jajan snack yang level garam nya tinggi. Lalu, aku berpikir bahwa garam dan gula yang berlebih jika disatukan tidak lah menyehatkan.

Garam yang terdiri dari 40% sodium dan 60% klorin diperlukan oleh tubuh manusia agar kehidupannya seimbang. Ya, kalau bahasa sederhana ibuku sih kalau kurang garam itu seperti hidup yang hambar, tanpa senyum tanpa sedih. Tanpa rasa. Hambar. Jadi konsumsi sekitar 2.300 mg garam per hari untuk dewasa dan 1500 untuk anak - anak (Food and Drug Administration) merupakan salah satu cara agar hidup berasa. Seperti sayur yang lezat.

Kata ibuku (lagi), garam itu pasti akan menemukan tempat dan pasangannya. Seperti pepatah, 'garam di laut, asam di gunung di belanga bertemu juga. So, bagi yang jomlo. No worries ya ! 

Bandar Lampung, 6 September 2019


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Bullying dan Pencegahan Bullying di Lingkungan Sekolah

Resensi Buku: Inteligensi Embun Pagi

Resensi Novel Kembara Rindu: Dwilogi Pembangun Jiwa