Tawuran sebagai Pencarian Identitas Diri dan Pengakuan Orang Lain

 

tawuran-pencarian-identitas-diri-dan-pengakuan

"Duh, aku pusing. Anakku dipanggil BK lagi," kata temanku sambil memijit dahinya. Salah satu anak di kelasnya diciduk polisi kemarin dan Pak Cepi, babinkamtibmas Sukarame pun menghubungi sekolah.

Usut punya usut, anak tersebut sedang jalan sore untuk beli bukaan. Eh, serombongan anak sekolah lain mencegatnya dan memaksanya turun dari motor. 

Baca juga: Yuk, Bersama Stop Bullying 

Hampir aja anak tersebut dikeroyok. Untungnya, seorang warga melihat kejadian itu dan melerai aksi nggak terpuji ini. Dan, mereka pun dibawa oleh polisi untuk dimintai keterangan.

Ah, mendengar cerita siswa ini, aku jadi ingat kalau tawuran sebagai  pencarian identitas diri dan pengakuan orang lain adalah isu yang sedang berkembang di kalangan remaja. Isu yang timbul karena perubahan cara berpikir anak. 

Mungkin ini akibat kesalahan menginterpretasi informasi. Mungkin juga, karena anak-anak sekarang telah dibombardir oleh banyak informasi. Dan, sayangnya, anak belum memiliki skill yang dapat mem-filter informasi tersebut. 

Baca juga: Mengenal Bullying dan Pencegahannya 

Disinilah kupikir peran orang tua dan guru dapat dioptimalkan untuk membimbing anak-anak di rumah dengan lebih intens. Nah, sebelum kita diskusi, yuk kita cek dulu tentang pengertian tawuran bagi anak.

Apa sih tawuran itu?

Tawuran adalah bentuk tindakan kekerasan atau perkelahian yang dilakukan oleh kelompok atau suatu rumpun masyarakat. Tawuran ini merupakan bentuk kenakalan yang marak terjadi di lingkungan anak. 

Tawuran yang termasuk dalam kekerasan kolektif di mana sebuah kelompok atau massa melakukan tindakan kekerasan atas dasar perselisihan kelompok. Hal ini memicu bentrokan fisik, tawuran, dan perkelahian. Tindakan yang melanggar norma sosial ini bertentangan dengan nilai kemanusiaan yang termaktub dalam sila kedua Pancasila. Kemanusiaan yang adil dan beradab.

Baca juga: Bersama Melawan Kekerasan Berbasis Gender

Hukuman bagi pelaku tawuran ini tercantum dalam pasal 472 KUHP tentang penyerangan dan perkelahian secara berkelompok. Tindakan pidana dengan ancaman pidana penjara paling lama 2 tahun 6 bulan.

Duh, kasian kalau anak-anak sampai terlibat bentuk kekerasan seperti ini. Karena aku tahu, sebagian besar anak-anak tersebut hanya ikut-ikutan aja. Bahkan sebagian yang terjaring polisi adalah anak-anak baik yang nggak tahu apa-apa.

Pelaku Tawuran

Biasanya pelaku tawuran adalah anak-anak di rentang usia 12-18 tahun. Kalau di Bandar Lampung, tawuran sering membuat resah karena dilakukan oleh oknum pelajar. Bahkan oknum pelajar dari beberapa sekolah tersebut bersatu untuk menyerang sekolah lainnya. Untungnya, guru dan pihak berwenang selalu bergerak cepat dan dapat mencegah peristiwa yang meresahkan tersebut. Alhamdulillah.

Baca juga: The Playground Short Story Bullying yang memengaruhi Masa Dewasa

Sedihnya sih, anak-anak mengatakan bahwa tawuran itu adalah hal biasa. "Itu adalah bukti kita setia kawan, Bu." Anak itu bilang bahwa mereka pernah ikut tawuran saat duduk di bangku SD dan SMP. Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku sambil menunjukkan video tentang akibat tawuran bagi pelaku dan orang-orang di sekitarnya.

Sebagai guru dan orang tua, kami sadar akan potensi tawuran yang dapat terjadi sewaktu-waktu mengingat sifat anak-anak yang masih mudah tersulut emosi. Untuk itulah, kami selalu menghimbau anak-anak agar menjaga diri dengan baik dengan patuh pada aturan sekolah, masyarakat dan agama. 

Risiko Tawuran bagi Anak

Beberapa minggu lalu, sekitar 10an anak seharusnya mengikuti test rekrutment di sebuah SMK swasta di Bandar Lampung. Sayang, karena takut, hanya beberapa anak yang datang dan menjalani test. 

Sedihnya lagi, nggak ada yang menyelesaikan test, karena beberapa alasan. Salah satunya adalah ketidaknyamanan. Seorang anak mengaku bahwa ia didorong dan disekap di ruangan oleh anak-anak dari sekolah tuan rumah itu. Sehingga, anak tersebut memutuskan untuk pulang ke rumah aja. 

"Aku ingat ucapan bu Elma. Aku harus lulus. Kalau aku berantem, nanti bisa dikeluarkan sekolah." Ucapan si anak diiyakan oleh teman-temannya yang lain. "Kalau nggak, udah saya ajak berantem, Buk," tambah si anak. Mendengar penuturannya, aku hanya bisa mengurut dada. 

Sementara itu bu Elma masih melanjutkan sesi nasihatnya sambil menghubungi wali murid untuk diskusi dalam usaha mengantisipasi aktivitas yang meresahkan masyarakat ini. 

Usaha ini pun dilakukan oleh wali kelas dan guru-guru di sekolahku secara rutin bekerja sama dengan guru BK, waka kesiswaan, dan kepala sekolah. Mengingat anak-anak kan mudah terprovokasi kalau mendengar insiden ini. Karena mereka menganggap ini sebagai masalah harga diri sekolah. 

Ah, rumit kalau bicara tentang masalah ini. Biasanya sih, 'perasaan' seperti ini sudah diturunkan dari kakak kelas ke adiknya. Lalu, saat sudah alumni pun, si kakak masih sering memonitor adik-adiknya. 

Yah, kalau doktrin yang disampaikan kakak kelas ini bersifat positif sih okey aja. Tapi, seringkali, doktrinnya membawa adiknya pada aktivitas yang bikin guru-guru sibuk berhubungan dengan pihak berwajib. Duh..

Untungnya sih, gerakan komunitas alumni ini pun sudah terlacak pihak berwenang. Bahkan, pencetus ide dan admin komunitas ini pun sudah diajak ngobrol oleh Pak Cepi.

Herannya, si doi kan sudah bekerja. Lha kok masih sempat mengurus beginian. Duh, tepok jidat aku. Mau tertawa kok rasanya miris.

Anyway, meskipun anak-anak itu gagal menyelesaikan test, mereka mendapatkan banyak hikmah. Mereka jadi menyadari bahwa risiko tawuran itu bukan hanya luka fisik, tapi juga persahabatan yang putus dan trauma yang panjang bagi pelaku dan orang di sekitarnya. 

Alasan Tawuran Sebagai Pencarian Identitas Diri dan Pengakuan Orang Lain

Setelah mengajar siswa SMK selama 16 tahun ini, aku menyadari beberapa hal tentang anak-anak yang memiliki latar belakang keluarga berbeda dengan anak-anak SMA.  

1. Anak-anak SMK sebagian besar dibesarkan dalam lingkungan keluarga menengah ke bawah. Karena kesibukan orang tua dalam mencari nafkah, anak-anak sering mencari perhatian di luar rumah. 

Sebenarnya, kasus ini pun terjadi pada anak-anak dari keluarga berada yang orang tuanya sibuk. Artinya, anak-anak itu apa pun latar belakang keluarganya, butuh perhatian dan pengakuan dari orang-orang terdekatnya.

2. Kesulitan ekonomi menjadikan anak-anak sebagai pribadi yang lebih kuat dan tangguh. Sebagian besar anak-anak ini sudah mulai bekerja sejak duduk di bangku SMP. 

Aku pernah mengajar di kelas yang anak-anaknya sering tertidur di kelas. Mereka bilang, kecapean akibat kerja semalaman membantu orang tua di rumah. Bahkan, ada siswa yang sering nggak masuk sekolah karena ia kerja di pelabuhan. 

Ternyata, ia tulang punggung keluarga. "Saya kalau nggak kerja, keluarga saya gak makan, Buk.." ucapnya lirih sambil menunduk. Sekali lagi, aku hanya bisa mengurut dada.

3. Memiliki rasa solidaritas yang tinggi. Yah, emosi inilah yang sering tersulut jika ada salah satu teman mereka yang diganggu oleh anak dari komunitas atau sekolah lain. Rasa ini tetap ada, hingga mereka melanjutkan pendidikan dan bekerja. Bahkan komunitas anak teknik ini sangat terkenal solidnya. 

4. Anak-anak SMK terlihat lebih berani dalam mengambil risiko. Mungkin karena rasa setia kawan yang tinggi inilah, anak-anak SMK berani dalam melakukan aktivitas yang bersifat fisik. Mereka memiliki kecenderungan bertindak dulu, berpikir kemudian. Hal yang mungkin punya sisi positif dan negatif.

Sisi positif-nya adalah anak-anak ini nggak pernah takut mencoba hal baru. Termasuk dalam bisnis. Kata temanku, lulusan SMK di sekolah banyak yang punya usaha dan bengkel sendiri. Bahkan, ada yang sudah bisa merekrut teman-teman dan adik kelasnya. Keren!

Sisi negatifnya sih, anak-anak ini mudah terbawa emosi dan berani mengekspresikannya tanpa memikirkan akibatnya. Hingga potensi tawuran atau perkelahian lebih tinggi dibandingkan anak jurusan manajemen bisnis. 

Kabar baiknya, media sosial membantu guru dan pihak berwenang dalam melacak jika ada indikasi aktivitas ini dan mencegahnya sebelum terjadi.

5. Sebagai anak yang terlahir dari keluarga menengah ke bawah dengan masalah kompleks dari broken home hingga masalah financial, mereka nggak memiliki privilege seperti anak-anak dari keluarga yang utuh atau mampu dalam hal ekonomi. 

Sebut aja, setiap pagi mereka belum sarapan. Jadi, mereka sering belajar dalam keadaan perut kosong. Akibatnya, mereka sering mengantuk dan tidur di kelas.

6. Memiliki rasa nggak percaya diri dalam beberapa mapel. Salah satunya adalah mapel bahasa Inggris. Mungkin ini pun karena asupan pendidikan di rumah yang berbeda ya? Saat anak-anak lain sibuk bermain di kafe atau mall dan belajar di lembaga kursus, sebagian besar anak SMK sibuk bekerja membantu orang tua. 

Untungnya, mereka sangat unggul di bidang produktif. Mungkin karena itu mapel (mata pelajaran) kesukaan mereka ya? Jadi, anak-anak ini semangat belajar di bengkel walaupun dalam keadaan lapar. 

Eh, aku sih senang saat seorang anak membawa nasi dan lauk yang banyak. Dan, dimakan bareng satu kelas. Rasanya terharu deh. Tapi, namanya anak-anak baru makan pun, mereka sudah merasa lapar lagi wkwk.

Nah, kalau kupikir lebih lanjut sih, alasan anak terlibat aktivitas tawuran adalah
1. Tidak tahu. 
2. Nggak enak sama kawan
3. Takut nggak diakui dalam komunitas pertemanan.
4. Sekedar ingin tahu dan ikut-ikutan
5. Tidak mau disebut penakut
6. Cari perhatian lawan jenis atau orang tua
7. Nggak ada kegiatan lain

Dari ketujuh alasan yang disampaikan anak-anak tersebut, aku sih bisa bilang bahwa anak-anak ini emang masih labil. Masa transisi dari kanak-kanak menuju remaja dewasa yang harus memikul beban tanggung jawab. Hal yang membuat mereka merasa cemas, gelisah, khawatir, dan takut. 

Apalagi mereka pun baru merasakan perubahan baik secara fisik maupun mental yang mempengaruhi kemampuan mereka dalam berpikir dan bertingkah laku.

So, anak-anak ini ingin diakui dan diperhatikan oleh orang-orang di sekitarnya seperti orang dewasa lain. Ingin diterima dan dianggap dalam komunitas tertentu. Juga butuh pengakuan bahwa "aku itu bagian dari sesuatu" baik itu organisasi atau masyarakat.

Upaya Pencegahan Tawuran di sekolah dan di rumah

Mengingat urgent-nya masalah tawuran ini, Pak Cepi, babinkantibmas Sukarame rajin berkunjung ke sekolah. Kadang, aku lihat beliau duduk di kursi satpam dari pagi hingga siang untuk sekedar ngobrol dengan guru dan anak-anak.

Bukan hanya Pak Cepi, kepala sekolah, guru, kaprodi, kabeng, dan wali kelas pun tak pernah lupa menghimbau anak-anak untuk ikut menjaga keamanan dan ketertiban sekolah dan masyarakat.

Nah, kalau di sekolahku, anak-anak itu dekat dan segan pada wali kelas. Bahkan beberapa anak bilang kalau mereka lebih takut dan segan pada wali kelas dibanding pada orang tuanya. Mungkin karena kami terlalu cerewet ya wkwk.

So, aku akan ceritakan upaya wali kelas yang didukung oleh jajaran structural sekolah ya.

1. Mendata semua informasi siswa dari alamat rumah, nomor HP ayah/ ibu/ kakak/om, hingga hobi agar dapat membantu anak dalam proses administrasi dan pembelajaran di kelas.

Biasanya, wali kelas juga merupakan tempat curhat anak. Jadi nggak perlu heran kalau kami tahu dari pacar si A atau B hingga urusan keluarga si anak. 

2. Melakukan home visit secara terjadwal. Biasanya, kami mengunjungi rumah anak-anak yang bermasalah. Home visit dilakukan wali kelas didampingi oleh guru BK atau guru pembimbing di sekolah.

3. Menghubungi orang tua/ wali murid terkait perkembangan belajar anak secara berkala. Termasuk data absensi.

4. Memiliki grup kelas dan grup wali murid agar wali kelas dapat dengan lebih efisien menginformasikan perkembangan anak secara global.

5. Memanggil anak-anak yang bermasalah, baik dalam hal akademis maupun etika. Kalau aku sih, biasanya mengajak anak diskusi agar ia dapat berpikir tentang masa depannya. Aku harap anak dapat mengerti bahwa setiap keputusan dan tindakan kita pasti ada konsekuensinya.

Saat wali kelas nggak dapat menyelesaikan masalah anak, BK dan waka kesiswaan pun akan ikut membantu. Saat sudah sampai level ini, biasanya masalah anak sangat kompleks. 

Untungnya, semua konflik nggak pernah tanpa solusi. Dan, aku merasa beruntung mengenal tim di sekolah yang solid untuk membantu anak-anak meraih tujuannya bersekolah. Belajar.

Harapanku, dengan kolaborasi erat dari semua pihak, kita bisa bersama-sama membimbing generasi emas ini untuk menjadi generasi unggul. Generasi yang mampu berdaya di era digital ini demi Indonesia hebat. Semoga.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Bullying dan Pencegahan Bullying di Lingkungan Sekolah

Resensi Buku: Inteligensi Embun Pagi

Resensi Novel Kembara Rindu: Dwilogi Pembangun Jiwa