Berbuat Baik Kepada Sesama

Berbuat-baik-kepada-sesama-tanpa-alasan


"Nak, tolong angkat jemuran ya," kata seorang ibu kepada anaknya. Lalu, anak tersebut menolak dengan alasan sedang mengerjakan tugas online. Sang ibu hanya menghela napas sambil mengangkat jemuran. Hujan pun turun dengan deras dan tubuh sang ibu basah kuyup.

Baca juga: Jalan Busur Panah: The Archer Paulo Coelho

Cerita ini mungkin pernah terjadi pada diri kita. Sebenarnya, mungkin alasan si anak nggak salah. Namun, bagaimana kita bisa berbuat baik kepada sesama, jika kepada orang tua yang ada di dekat kita pun abai. Hingga, dikenallah dosa alasan.

Perbuatan Baik Tanpa Alasan

Dalam hidup ini, pasti kita sering menemukan diri kita dalam posisi ingin mengulurkan bantuan kepada orang lain. Namun, kita sering bingung mencari alasan untuk membantu atau tidak membantu  orang tersebut.

Bingung? Okey, mungkin kamu pernah membaca bukunya Khaled Hoseini dalam And The mountain Echoed tentang seorang dokter yang berjanji pada seorang anak perempuan untuk membantunya. Sayangnya, dokter tersebut kemudian tidak menunaikan janjinya dengan suatu alasan.

Lalu, ada seorang lelaki, anggap saja ia adalah seorang influencer. Seseorang yang hidup dalam sorotan kamera dalam setiap aktivitasnya. Dokter tersebut mencibir perilaku lelaki itu. Menganggap lelaki itu berbuat baik dengan alasan ketenaran.

Baca juga: The Sigh karya Marjane Satrapi

Begitulah waktu berlalu, si anak perempuan pun beranjak dewasa. Ia hidup berkat bantuan sang influencer dan melupakan paman dokter yang telah berjanji padanya. Orang yang pernah jadi tumpuan harapannya. Menganggap janjinya itu pun tanggung jawab orang lain.

Bolehkan Melakukan Perbuatan Baik Kepada Sesama dengan Mengharapkan Balasan?

"Apa pun yang kita lakukan akan kembali pada kita, baik perbuatan buruk atau pun baik," kata seorang teman sambil menikmati makanan pemberian seorang alumni.

Mungkin, seperti seseorang yang kondangan perkawinan dengan harapan saat ia mengadakan hajatan, orang-orang pun akan datang. Yah, mirip seperti nabung gitu, ya? hehe.. Eh, pernah berpikir seperti itu, nggak?

Saya pikir, nggak ada yang salah sih. Berharap balasan kebaikan atas perbuatan baik kita. Namun, berharap balasan kebaikan ini berbeda dengan seorang hamba yang berharap pahala kepada Tuhannya. Karena bukankah berharap pada manusia itu dapat mendatangkan kekecewaan?

So, memohon harapan balasan terbaik dari Allah adalah jalan yang paling membahagiakan. Ikhlas dengan semuanya dan hanya berharap surga sebagai gantinya.

Berbuat Baik Kepada Sesama dengan kebaikan

Pernah mendengar ucapan seorang influencer yang baru-baru ini tersandung problem binomo? Saya sedikit tercengang mendengar ucapannya tentang kebaikan yang dilakukannya untuk menutupi perbuatan buruknya. Ia menganggap Tuhan bisa dibeli dan dibohongi.

Baca juga: Bullying dalam Bonesetter's Daughter

Berbeda denganya, di tempat lain seorang pemulung sukses mendermakan penghasilannya untuk orang lain. Bahkan ia pun bisa menabung untuk berhaji. 

Saya pun berpikir bahwa berbuat baik pun ada syaratnya. Seperti ibadah shalat yang wajib didahului dengan mengambil wudhu. 

1. Tulus ikhlas

Saya pernah diajak teman untuk menyerahkan bantuan kotak nasi makan siang pada orang-orang di pinggir jalan. Tugas saya adalah merekam setiap aktivitasnya. Jujur, awalnya saya nggak tahu kalau diminta untuk merekamnya.

Saya sedikit merasa malu dan kikuk. Maklumlah, nggak biasa jadi kameraman. Saya juga merasa nggak enak, karena seolah ingin pamer memberi sedekah. Pencitraan. Ingin dibilang dermawan. Lalu, saya pun berpikir lagi, who am I to judge?

Ah, saya pun teringat kisah lain seorang ulama yang terkenal di zamannya. Saat beliau meninggal, di pundak mulianya terdapat tanda seperti seorang kuli yang terbiasa mengangkat barang berat. Lalu, diketahui bahwa beliaulah sang dermawan yang selama ini meletakkan sekarung beras di depan rumah setiap fakir miskin di kota itu.

2. Harta yang baik dan halal

Seorang teman yang lain bekerja sebagai agent penyalur pekerja. Ia sering menjanjikan pekerjaan pada orang-orang, baik di Facebook ataupun wa. Banyak orang yang tertarik hingga rela menyerahkan sejumlah uang. 

Sayang, banyak juga yang merasa tertipu karena pekerjaan yang dijanjikan nggak sesuai. Akibatnya, mereka meminta uang kembali. Dan, anehnya, si doi mungkir. Nggak mau mengembalikan uang tersebut. 

Ironisnya, si doi bisa dengan manisnya berbagi uang atau makanan pada setiap hari Jumat dan menguploadnya di medsos. 

Perbuatan si doi ini baik, dalam pemikirannya. Namun, asal perbuatan baiknya yang tidak baik. Hingga, perbuatan baiknya jadi nggak sempurna.

Sementara itu, sebuah keluarga yang miskin dan bekerja serabutan untuk makan, diceritakan selalu memberikan sepiring nasi dan satu potong tempe goreng pada tetangganya yang lebih miskin darinya.

Tetangganya tersebut memiliki beberapa orang anak yang masih kecil-kecil. Sangking miskinnya, hampir nggak pernah ada makanan di meja. Hingga, keluarga baik itu memberikan sepiring nasi dan satu potong tempe goreng. Nasi yang dimasak kembali, hingga bisa dimakan sekeluarga. 

Begitulah peristiwa ini berlangsung selama tujuh tahun. Hingga, keluarga ini pun hijrah ke Jakarta. 

Nggak ada yang tahu tentang masa depan. Itu pun yang terjadi pada keluarga yang merantau ini. Setelah bertahun-tahun di Jakarta, mereka pun sukses dan teringat pada tetangganya. Berniat membalas kebaikan keluarga dermawan itu.

3. Waktu dan tempat yang sesuai

Di sekolah, kami mengenal sosok guru keren. Namanya Pak Edi. Orangnya sudah sepuh. Usianya 70 tahun lebih. Beliau sudah mengajar lebih dari 40 tahun, lho! Lebih lama dari umur saya..hehe..

Sayangnya, lama pengabdian nggak sebanding dengan kesejahteraan hidupnya. Beliau pun harus menanggung hidup cucunya. 

Sifatnya yang pekerja keras bikin kami salut dan sayang padanya. Beberapa teman sering meminta bantuan untuk memperbaiki barang rumah tangga yang rusak. Dan, memberi beliau imbalan. Beliau itu seorang handyman, lho! 

Jadi, kadang ada temen yang pingin memberi beliau uang, hingga membawa kabel terminal di rumahnya. Eh, beliau juga senang diminta datang ke rumah untuk servis apa aja. Apalagi kalau dikasih makan siang. Wah, si embah (sebutan Pak Edi) pasti tersenyum.

Kebaikan itu Bukan Besarnya, Tapi Nilainya

Dari kisah-kisah di atas sih, saya bisa bilang bahwa kebaikan itu akan makin bermakna saat diberikan tepat pada waktu dan tempatnya.

Nggak lucu kan, kalau kita memberi sesuatu pada seseorang tapi selalu menyebut-nyebut kebaikan itu. Kebaikan yang justru jadi keburukan bagi penerima. Ya, kan?

So, nggak masalah kok, menurut saya berbuat baik itu walaupun sedikit. Nilai keikhlasannya yang dinilai. Seperti kisah sepiring nasi dan satu potong tempe itu. 

Memang banyak sih perbuatan baik sederhana yang bisa kita lakukan. Nggak perlu nunggu punya banyak uang dulu, kok. Beberapa aktivitas baik yang sering kami lakukan adalah

  • Memisahkan sampah plastik dan kertas dan memberikannya pada pemulung. 
  • Membeli jajanan di warung tetangga
  • Memberikan baju bekas layak pakai pada orang yang membutuhkan. Temen kan banyak yang keluarganya di kampung. Beberapa teman sering nitip baju bekas layak pakai padanya. Orang di kampung happy banget, lho. Mereka bisa pakai baju-baju tersebut untuk ke sawah atau aktivitas lain.
Nah, sebenarnya perbuatan baik itu mudah, kok. Berkata baik itu pun sudah suatu kebaikan. Apalagi kebaikan memberi yang dilengkapi dengan akhlak dan pengetahuan. Hingga kebaikan itu bermakna baik bagi pemberi dan penerima. Seperti memberi sesuap nasi pada orang yang kelaparan. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Bullying dan Pencegahan Bullying di Lingkungan Sekolah

Resensi Buku: Inteligensi Embun Pagi

Resensi Novel Kembara Rindu: Dwilogi Pembangun Jiwa