Seruit, Lampung, dan Kenangan yang Hilang

Yeay.. sebentar lagi tahun baru ya, gaes.. Pasti sudah berencana untuk liburan atau jalan-jalan sekedar rekreasi. Melepas kepenatan, agar lebih semangat di tahun baru 2020. Anyway, ngomongin jalan-jalan, tak akan terlepas dengan bekal makanan. 

Aku sih, terbayang makan nasi hangat dengan sambal seruit ala Lampung dengan ikan segar yang dibakar sendiri. Angin pagi pantai mengentuh wajah. Ombak pantai Mutun yang landai berkejaran menuju ujung samudra. 

Burung-burung laut beterbangan di atas kepalaku. Sementara lidahku menikmati kelezatan seruit khas Lampung. Pedas yang bikin hati berlinang bahagia. Maknyus.



seruit sambal mangga


Pepatah lama mengatakan bahwa kita dapat membahagiakan seseorang dengan memenuhi kebutuhan perutnya. Well, ungkapan yang tak salah, menurutku karena kita akan senang saat lidah bergoyang dengan makanan yang lezat. Benar, kan?

Kamu tahu, saat pertama kali aku mendengar cara makan seruit ini, aku agak khawatir juga. Apakah aku doyan, karena makan seruit ini dilakukan bersama-sama pakai tangan. Berebutan. Seru, sih. Tapi, nggak tega juga makan beramai-ramai di wadah yang  sama. 

Saat melihat aku yang khawatir, temanku, Kiyai Ipul tersenyum, "Tenang, mbak. Nanti seruitnya dipisah-pisah, kok. Jadi kita gak usah berebut. Padahal seru gitu lho." Kiyai tertawa. Aku juga. Lega.

Oya, cara buat seruit ini sederhana banget kok. Bahan-bahannya tersedia di dapur-dapur orang Lampung pada umumnya, seperti: cabe, terasi, ikan bakar, tempoyak dan garam. 

Cara buatnya adalah cabe diuleg (agak kasar), campur terasi, tempoyak, ikan bakar, dan timun. Aduk rata. Makannya dengan lalapan dan nasi panas yang mengepul. Dijamin, mertua lewat tidak kelihatan, deh!

Kenangan yang Hilang

Seruit yang menurutku adalah simbol makanan sederhana Lampung yang membumi dengan daerah geografis Lampung yang dekat dengan laut dan pegunungan yang subur. 

Beberapa temanku yang tinggal di pesisir laut bahkan terbiasa makan ikan laut mentah, ubur-ubur, atau teripang laut. Terbiasa berenang bebas di laut lepas karena kediaman mereka dekat laut. 

Sayangnya, kini laut tak sejernih dulu lagi. Kata mereka, saat berenang kaki mereka sering tersangkut sampah plastik. 

Saat memancing di laut, mereka dulu sering dapat ikan. Sekarang, mereka sering pulang dapat sendal jepit sebagai hasil tangkapannya. Sehingga, ikan untuk seruit pun dibeli di pasar.

Dulu, makan seruit bisa dilakukan di rumah bersama keluarga. Seruit diolah, dibuat dan dimakan bersama. Sekarang, tradisi ini hanya dilakukan di kampung. Makan seruit bersama keluarga besar beralas tikar. Tradisi yang kini jadi barang mewah di kota.

Bandarlampung, 11 Desember 2019 


Komentar

  1. Ngecessss mba Yohaaa. Aku suka banget sambel mangga 😍😍😍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak..enak. apalagi makan di pinggir pantai.

      Hapus
  2. tempoyaknya ini yang ga ada..tempoyak bahannya dr duren yg di fermentasi kan ya?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Bullying dan Pencegahan Bullying di Lingkungan Sekolah

Resensi Buku: Inteligensi Embun Pagi

Resensi Novel Kembara Rindu: Dwilogi Pembangun Jiwa