Seni Merelakan Teman Terbaik dalam Hidup Kita

seni-merelakan-teman-terbaik-dalam-hidup-kita

Hari itu, kami merasa terharu. Beberapa teman meneteskan air mata saat mendengar ucapan penyemangat dari kepala sekolah. Bagaimana nggak? Setelah sekitar 16 tahun bersama, sekitar 14 orang teman kami akan pindah tugas karena diterima PPPK.

Bagi keempat belas orang tersebut, aku pikir pasti ada rasa gembira dan cemas. Perasaan yang biasa kita alami saat menghadapi masa depan dan harapan baru. 

Bagi aku yang masih tertinggal, belajar untuk menerapkan seni merelakan teman terbaik dalam hidup kita bukanlah hal mudah. Tapi, aku sadar, bahwa dalam hidup ini perubahan adalah sesuatu hal yang niscaya. 

Begitu pun pertemuan dan perpisahan yang bagaikan mata koin. Keduanya adalah hal yang satu.

Lalu, gimana cara mempraktikkan seni merelakan teman terbaik dalam hidup?

Menikmati moment bersama orang tersayang dan teman terbaik dengan sepenuh hati

Kalau kata temanku sih, hidup ini harus dinikmati. Konsepnya seperti YOLO, you only life once, dalam pemahaman sederhana. Nikmati yang ada dengan bahagia, karena kamu nggak pernah tahu apa yang akan terjadi pada hari esok.

Contohnya, saat duduk bersama temanmu, pandanglah wajahnya saat bicara. Bukan memandang layar gawaimu. Ngobrol dan nikmati harimu dengannya. 

Ya, nikmati teman di sampingmu, jangan malah sibuk dengan teman yang jauh di belahan dunia lain. Paling nggak, jangan buat sahabat di sampingmu kecewa karena kamu sibuk ngobrol dengan teman online-mu. Meskipun, mungkin sahabatmu mengerti, ia pun lama-kelamaan akan marah dan pergi meninggalkanmu. 

Ah, jadi ingat dengan seorang teman yang saat bertemu, pasti sibuk dengan gawai dan laptopnya. Jadi, kehadirannya pun seolah tak ada. Aku sudah mengingatkan doi. Tapi, doi emang sibuk dengan kerjaannya. Entahlah, kelekatannya dengan pekerjaan bikin aku khawatir pada kesehatannya.

Meskipun begitu aku sadar, pengetahuanku tentang dirinya hanya sebatas yang kulihat dan kudengar. Mungkin saja, begitulah caranya menikmati hidup bersama diri Dan orang lain untuk menghindari keterikatan terlalu dalam dengan orang-orang di sekitarnya. Who knows? Who am I to judge others? 

Apa pun itu, cara seseorang menikmati diri dan waktunya adalah hak masing-masing. Aku harus mampu menerimanya, agar aku pun dapat menikmati hari-hariku dengan baik. Seperti menikmati sebuah es krim. Jika kamu sibuk dengan yang jauh, es krim di tangan akan meleleh. Dan, kamu pun nggak bisa menikmati kelezatannya secara utuh.

Tidak Menyalahkan Diri dan Orang Lain atas Keberhasilan yang Belum Tercapai

Saat mendengar hasil pengumuman PPPK kemarin, beberapa guru yang lulus merasa cemas. Kenapa? Karena gosipnya adalah mereka harus mencari tempat/ sekolah penempatan secara mandiri.

Duh, galau ya? Kok bisa, guru mencari sendiri? Lalu, apa tugas pemerintah? Begitu kata mereka sambil gelisah mencari sekolah yang bersedia menerima mereka.

Sementara teman-teman sibuk, kami yang bukan calon guru PPPK hanya jadi penonton. Rasanya aneh sih, menurutku, terkadang saat seseorang yang telah mendapatkan keinginannya, ia justru makin sering mengeluh.

Sementara orang yang masih berjuang menggapai mimpi tersebut, terlihat lebih bahagia dan tenang.

Aku pikir, kita nggak bisa menjamin bahwa tercapainya mimpi seseorang akan menjadikan hidupnya lebih baik. 

So, nggak ada alasan untuk menyalahkan diri dan orang lain saat kita belum meraih keberhasilan. Anggap aja, kita akan meraih sukses saat kita siap. InsyaAllah.

Seperti kisah Sylvester Stallone yang pernah merasakan titik terendah dalam hidupnya. Ia nggak berhenti berusaha. Hingga, ia pun sukses dengan filmya Rocky. 

Menerima keadaan sebagaimana adanya 

Kadang dalam hidup ini, kita membandingkan hidup dengan orang lain. Mungkin, nggak salah, kalau hidup orang tersebut untuk memotivasi diri agar lebih semangat dalam hidup. 

Karena kalau kita terlalu menerima keadaan, hidup kita mungkin nggak akan berubah. Eh, itu sih seperti sikap malas berusaha karena udah betah di zona nyaman. 

Seorang kawan pernah cerita tentang dua orang tukang bangunan. Tukang pertama, orangnya rajin, mau belajar, dan sangat bersemangat dalam bekerja. Ia pun sukses menjadi mandor dan mampu membangun rumahnya sendiri.

Sementara tukang kedua, orangnya santai dan bekerja sebisanya. Ia nggak mau belajar. Jadi, kemampuannya sebagai tukang tidak berkembang. Setelah bertahun-tahun, ia masih ngontrak rumah dan tidak punya investasi. 

Mungkin, mirip dengan guru yang malas belajar. Ilmunya nggak berkembang dan nasibnya nggak berubah.

Bandingkan dengan guru innovative, seperti guru maman atau guru Sulis. Mereka sukses membantu peserta didik dalam mengembangkan dirinya. Penghasilan mereka pun jadi lebih baik dibandingkan guru biasa. Keren kan?

So, menerima keadaan sebagaimana adanya dapat membantu kita berdamai dengan diri. Kita jadi bisa lebih fokus dalam proses pengembangan diri agar jadi pribadi yang lebih baik.

Berusaha Berbagi Kebaikan meskipun dengan hal yang sederhana

Memberi itu nggak harus banyak. Kita pun nggak harus memberi atau berbagi kebaikan dalam hal materi. Tenaga dan waktu adalah dua hal sederhana yang mungkin bisa lebih berharga dibandingkan materi.

Seperti saat seorang temanku, Lia yang kehilangan suaminya karena COVID. Semua teman berusaha membantunya dari duduk di sampingnya untuk mendengarkan hingga mengantarnya pulang saat terlalu sedih.

Sikap perhatian sederhana ini adalah usaha sederhana dalam berbagi kebaikan. Usaha yang menyadarkanku bahwa pada akhirnya kita pun harus merelakan teman terbaik kita. Dan, kita nggak punya cara lain, karena itulah salah satu cara untuk terus hidup dan move on.

Kita pun nggĂ k bisa hidup sendiri dan membiarkan orang lain yang membutuhkan kita. Sehingga, berusaha berbagi kebaikan adalah Seni merelakan teman terbaik dalam hidup kita. Seperti menyumbangkan uang di saku kita untuk orang yang lapar di dekat kita. 

Meskipun tahu bahwa kita menghasilkan uang dengan kerja keras, kita berusaha merelakan untuk orang lain. Kita mengerti bahwa uang mungkin bisa jadi teman terbaik di saat sulit. Tapi, orang-orang yang membutuhkan tersebut, bisa jadi DOA terbaik buat kita. Bukankah kebaikan itu akan kembali pada diri kita?

Selalu Bersyukur atas Keberuntungan yang Dimiliki

Dalam obrolan dengan Santi, temanku, ia bilang begini, "kita kadang harus menulis keberuntungan kita." Bukan. Bukan untuk membandingkan diri dengan orang lain yang hidupnya lebih tidak beruntung dari kita. Kita menghitung keberuntungan diri, agar kita selalu bersyukur.

Emang sih, aku pernah dengar seorang ustad yang harus bertobat selama 30 tahun hidupnya, karena ia mengucapkan syukur saat rumahnya selamat dari kobaran api. Padahal saat itu rumah tetangganya habis terlalap api. 

Ah, mungkin rasa syukur itu yang harus aku hindari, karena seperti rasa bahagia di atas kesusahan orang lain. Ya kan?

Rasa syukur atas keberuntungan diriku ini adalah murni rasa terima kasihku pada Allah tanpa membandingkannya. Karena aku percaya, Allah pasti memberikan padaku apa-apa yang terbaik bagiku. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Bullying dan Pencegahan Bullying di Lingkungan Sekolah

Resensi Buku: Inteligensi Embun Pagi

Resensi Novel Kembara Rindu: Dwilogi Pembangun Jiwa