Pasar Koga Old and Now: Kejayaan Pasar Tradisional yang Tinggal Kenangan

 

pasar-koga-old-and-now

Pasar Koga merupakan salah satu pasar tradisional yang punya nilai sejarah bagi orang-orang di sekitarnya. Sejak pertama kali pasar ini ada di sekitar tahun 1984. Waktu yang cukup lama.

Dulu, pasar Koga nggak mempunyai nama. Orang menyebutnya pasar Kagok. Pasar kaget. Ibuku, yang menghabiskan masa kecil di pasar sering ikut berjualan. Rumah nenekku (almarhumah) tepat berada di belakang pasar koga.

Sebelumnya sih, pasar kagok ini merupakan mess tentara Korem. Sebelum akhirnya dialih fungsikan menjadi pasar hingga hari ini. Pasar tradisional ini pun sempat ramai sekali. Banyak pedagang yang transit dari kampung dan berjualan di Koga.

Sayang, Pasar Koga old dan now sangatlah berbeda. Kejayaan pasar Koga sebagai pasar tradisional sekarang hanya tinggal kenangan. Apalagi sejak krisis ekonomi yang menghantam dunia di tahun 1997. Musibah kebakaran juga menimpa Pasar Koga. Ia pun makin sepi dan ditinggalkan pelanggannya.

Sejarah Pasar Koga: Pasar Tradisional Milik Korem 043

Pasar yang letak di jalan Teuku Umar ini ada sekitar tahun 1960an. Awalnya hanya beberapa pedagang saja yang berjualan. Pasar yang makin ramai pembeli mengundang banyak pedagang untuk menggantungkan nasib di pasar Koga.

Selanjutnya, sekitar tahun 1984 pasar Koga mulai dikelola dengan lebih baik oleh Korem 043 yang bertempat di jalan Teuku Umar  dekat Rumah  Sakit Umum Abdoel Moeloek Bandarlampung. Jumlah pedagang ruko sekitar 100 orang. Itu belum termasuk lapak jualan, pedagang emperan, dan pedagang keliling.

Pasar Koga termasuk primadona pada saat itu. Harga murah, ketersediaan barang yang lengkap, dan tempat yang strategis adalah daya tarik pasar Koga bagi calon pembeli. Banyak  orang dari Karang, Rajabasa dan Way Halim belanja di Pasar Koga.

Pasar Koga yang dulu bahkan lebih ramai dari pasar Gintung. Kita bisa menemukan hampir semua kebutuhan sehari-hari di pasar Koga, seperti: bumbu dapur, giling daging, giling bumbu, baju, ikan, sayuran, ayam dan lain-lain.

Para pedagang di Pasar Koga terdiri dari berbagai suku, seperti: Jawa, Batak, Sunda, Lampung, Padang, China dan lain-lain. Mereka rukun dan saling mengunjungi. Terutama jika ada yang tertimpa musibah.

Pedagang akan memberikan bantuan sukarela yang dinamakan uang shalawat jika ada anggota pedagang Pasar Koga yang meninggal. Mereka juga akan hadir saat diundang acara bahagia, seperti sunatan dan pernikahan.

Hubungan kekeluargaan pedagang Pasar menjadikan pedagang betah berlama-lama di pasar. Jam kerja pasar mulai jam 05.00 pagi hingga 05.30 sore. 

Bu Karomah, salah satu pedagang sembago sejak 1980an mulai buka toko sekitar jam 05.30 pagi dan tutup jam 05.00 sore. Posisi rumah yang dekat pasar dan pelanggan yang ramai menjadi alasan pedagang berjualan sekitar 10 jam di pasar.

Berkat usaha kerasnya, banyak pedagang yang sukses mengantarkan anak-anaknya sekolah di jenjang yang lebih tinggi dari mereka. Seperti bu Karomah, salah satu putrinya (Tia) adalah dokter. Sedang anaknya yang lain adalah sarjana ekonomi di UNILA (Universitas Lampung).

Sayang, masa kejayaan Pasar Koga mulai memudar. Makin menjamurnya pasar-pasar tempel di Bandarlampung menjadikan pelanggan pasar Koga berkurang. Pasar Koga now makin sepi.

Apalagi sejak pandemi Covid mulai melanda Indonesia di tahun 2020. Banyak pedagang yang nggak melanjutkan kontrak kios dengan Korem. Mungkin sekitar 30% ruko kosong. Termasuk ruko ibuku.

Beberapa pedagang lama, seperti Mak Inul, Bude Giyati penjual getuk, dan Bu Amir penjual pakaian masih bertahan. Sementara pak Hendro penjual kelontong, Bu Eha penjual mainan, bude Yem penjual sayur atau bude Karomah sudah memutuskan untuk nggak berjualan di Koga lagi.

Sementara pedagang yang masih bertahan, seperti Mbak Giyati pedagang pecel, menyatakan bahwa ia nggak punya mata pencarian lain. Pasar Koga adalah tempatnya mencari penghidupan. Hal senada diaminkan oleh pedagang yang lain.

Aku pun, sebagai generasi ketiga dari pedagang di Pasar Koga memahami sulitnya untuk mulai usaha dari awal lagi. Imbasnya, para pedagang harus pintar-pintar bertahan dengan penghasilan penjualan yang makin turun. Bertahan dengan harapan semua akan kembali seperti dulu.

Pasar Koga: Kejayaan yang Tinggal Kenangan

Aku masih ingat saat aku masih kecil, aku membantu ibuku berjualan cincau. Ramai sekali yang beli. Aku sangat kewalahan. Apalagi hari Minggu atau saat prepekan, sehari sebelum hari raya. Wah, pasar Koga bisa  berdesak-desakan.

Tapi, sekarang, masa itu hanya tinggal kenangan. Jangankan hari Minggu, saat prepekan pun pasar Koga sepi. Hingga pernah para pedagang daging rugi besar. Mereka salah perhitungan memotong sapi melebihi permintaan pasar. Jadi, banyak daging yang terpaksa dieskan. Jeroan sapi, seperti usus yang biasanya laku, rusak dan dibuang.

Nah, sejak kejadian di tahun 2010an itu, pedagang daging sapi di pasar Koga mulai bertambah sedikit yang buka lapak daging di pelataran parkir saat prepekan. Mereka hanya berjualan di lapak daging yang terletak di dalam pasar . Menghindari biaya tambahan yang nggak perlu.

Saat aku ngobrol-ngobrol dengan sesama pedagang, mereka sering mengeluh dengan pendapatan yang nggak sesuai dengan pengeluaran, Ada juga yang bilang bahwa ia belum dapat penglaris jualan selama tiga hari. Ia juga harus tetap membayar salar (biaya retribusi) yang besarannya kisaran antara Rp 3 Ribu – Rp 5 Ribu. Ia juga harus jajan dan makan siang.

Keluhan-keluhan itu bukan hanya milik satu pedagang. Semua mengeluh hal yang sama. Anehnya, mereka tetap saja berjualan di pasar Koga. Mereka juga nggak melakukan perubahan pada produk dan cara pelayanan.

Dulu, kata seorang pedagang, ia bisa mendapatkan penghasilan bersih Rp 300 Ribu – Rp 500 Ribu. Sekarang sih, dapat  Rp 50 Ribu saja sudah bersyukur. Ia bahkan sering pulang dengan tangan kosong.

Menurut pengamatanku sih, persaingan pasar tradisional yang ketat ditambah munculnya pasar/toko modern yang seperti jamur menjadikan pasar Koga makin tenggelam. Apalagi dengan adanya pasar digital yang lebih digemari warga milenia, pasar tradisional makin nggak dilirik.

Lapak pasar Koga yang masih cukup ramai adalah lapak ikan dan sayur. Walaupun nggak seramai dulu, lapak ikan adalah lapak pasar Koga yang masih terbilang penuh pedagang dibanding lapak-lapak lain.

Lapak lain yang cukup ramai adalah lapak ayam pilet. Ia bisa menjual lebih dari 50 kg daging ayam. Pelanggannya adalah pedagang rumah makan dan tukang sayur.

Kondisi Fisik Pasar Koga Sekarang

Pasar yang usianya sudah lebih dari 50 tahun (kalau dihitung dari pasar Kagok) ini, kondisinya hampir sama dengan kondisi pasar tradisional lain di Bandarlampung. Becek kalau hujan dan kurang higienis. Kita bisa menemukan sampah di saluran air di bawah lapak pedagang.

Serunya sih, saat belanja di pasar Koga, kita bisa merasakan sensasi berjalan di atas paving dengan air hujan yang menetes di atas kepala kita. Tetes-tetes hujan itu adalah efek dari atap penutup yang berasal dari terpal plastiK yang dipasang pedagang seadanya yang mulai robek. Tapi, nggak perlu khawatir, segelas kopi panas seharga Rp 3.000 bisa mengusir rasa  dingin itu.

Ruko-ruko di pasar Koga yang disewakan sekitar Rp 24 Juta per tahun juga berisi pedagang nasi padang yang murah dan enak. Kita bisa berteduh dan merasakan keramahan pedagang pasar tradisional ini.

Kalau ingin merasakan panasnya bakso pun kamu bisa menikmatinya dengan merogoh kocek sekitar Rp 15 Ribu – Rp 25 Ribu. Kamu pun bisa mencicipi Mie Ayam Koga yang legendaris dengan kisaran harga Rp 39 Ribu. Dijamin lidah akan bergoyang. Kamu pun lupa dengan hujan deras yang turun.

Cara Pelayanan Pelanggan di Pasar Koga

Sayangnya, cara pelayanan pembayaran di pasar Koga masih menggunakan cara tradisional. Uang tunai. Pedagang juga belum banyak yang menggunakan applikasi media sosial yang dapat meningkatkan target penjualan. Mereka masih terpaku dengan cara lama.

Keterbatasan cara pelayanan pelanggan di pasar tradisional ini membatasi peluang pedagang menjual produknya dengan lebih cepat. Selain makin ketatnya persaingan sesama pasar tradisional.

Di sekitar pasar Koga saja, ada lebih dari 5 pasar pesaing. Sebut saja, pasar way Halim, pasar tempel PU, pasar dadakan PU, pasar Gintung, pasar Tugu, Pasar Semep, pasar tempel Way Halim, pasar tempel Untung, dan lain-lain. Jarak pasar-pasar itu nggak sampai 4 km dari pasar Koga. Merebut target pasar yang tadinya milik pedagang pasar Koga.

Menurutku sih, ada beberapa alasan pedagang pasar Koga mulai ditinggalkan pelanggannya, seperti:

1.Carapembayaran yang konvensional. Ini membatasi cara pelanggan membayar produk yang dibelinya. Padahal, jika pedagang punya opsi pembayaran yang lain, pelanggan mungkin bisa membeli lebih sering dan lebih banyak.

2. Cara pelayanan yang konvensional. Pembeli yang harus datang ke pasar Koga. Padahal applikasi media sosial bisa mendekatkan pembeli dan penjual. Pembeli nggak harus datang ke pasar Koga untuk belanja, jika pasar Koga punya applikasi.

3. Ketersediaan Barang di Pasar Koga yang nggak selengkap dulu. Sekarang, kita harus ke pasar way Halim atau Pasar Gintung untuk menggiling daging bakso atau ikan. Beberapa produk, seperti alat olahraga pun belum memadai.

4. Harga barang di Pasar Koga yang kalah bersaing dengan pasar Gintung. Akhirnya, pembeli akan memilih untuk belanja ke pasar Gintung, jika mereka akan belanja dalam jumlah besar.

Sebenarnya, ada beberapa hal lain yang bikin pasar Koga nggak semenarik dulu.  Minat kaum milenia untuk belanja di toko modern, seperti mall yang ber-AC juga jadi tantangan tersendiri. Plus, pasar digital yang kini jadi trend anak jaman now..

Mengembalikan Kejayaan Pasar Koga

Beberapa tahun ini, aku hanya bisa membantu ibuku jualan pada hari Sabtu atau Minggu. Saat aku libur dan nggak ada acara lain. Aktivitas di pasar ini yang bikin aku memahami keadaan Pasar Koga.

Menurutku, pasar Koga masih punya harapan untuk mengembalikan kejayaannya. Tentunya dengan bantuan dari pimpinan  Korem sebagai pengelola pasar.

Ada beberapa yang perlu dibenahi, seperti:

  1.  Harga sewa ruko yang disesuaikan dengan keadaan pasar Koga sekarang
  2. Pemberian bantuan bagi pedagang yang kesulitan dalam bisnisnya.
  3. Perbaikan keadaan fisik pasar Koga
  4. Penyuluhan pedagang pasar Koga menjadi pedagang yang melek digital.
Sebenarnya, di masa pandemi ini, sebagian pedagang memperoleh bantuan. Namun, sepertinya uangnya habis buat makan. Bukan untuk tambahan modal usaha.

Diskusi

Pembenahan yang berkelanjutan dan sistematis dalam pengaturan pasar tradisional demi membantu pedagang meningkatkan penjualannya pasti akan dapat meningkatkan kesejahteraan para pedagang Koga. Kondisi pasar pun akan ramai. Pedagang untung, pihak pengelola pasti akan untung juga.

Pekerjaan berat ini adalah proyek sosial yang bisa menolong banyak orang. Pengusaha atau pedagang kecil yang menggantungkan hidupnya di pasar Koga. Pasar legenda di Bandarlampung.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Bullying dan Pencegahan Bullying di Lingkungan Sekolah

Resensi Buku: Inteligensi Embun Pagi

Resensi Novel Kembara Rindu: Dwilogi Pembangun Jiwa