A Thousand Splendid Suns Novel Karya Khaled Hosseini

Thousand-Splendid-Suns-Novel-Karya-Khaled-Hosseini


Heartbreakingly beautiful. Begitulah kesanku terhadap buku karya Khaled Hoseini ini, A Thousand Splendid Suns. Karya Hoseini yang kubaca setelah And The Mountains  Echoed dan The Kite Runner.

Kedua buku ini kubaca berurutan sambil mengingat-ingat kenanganku tentang sejarah Afganistan. Kelam dan menyakitkan. Membuatku merasa beruntung terlahir di negara yang damai.

Meski, beberapa kisah yang terjadi dalam kehidupan Mariam dan Laila masih kita temui di kehidupan seorang perempuan yang hidup di dunia ketiga. Bagaimana seorang Mariam berjuang melawan nasibnya dari jerat kekerasan rumah tangga. Bagaimana perasaannya saat Laila datang dalam kehidupan rumah tangganya.

Mariam menahan semuanya. Pukulan, hinaan, dan perlakuan buruk bertahun-tahun dari suami yang seharusnya melindunginya, ditelannya karena ia tahu tak  ada tempat lain baginya. Tahamul, endurance adalah satu-satunya yang ia miliki sebagai seorang perempuan.

Sebagaimana Nana, ibunya bilang, “Ketika ada kesalahan yang terjadi, semua telunjuk pasti akan tertuju padamu. Karena kamu seorang perempuan.” Begitu katanya.

Awalnya Mariam nggak mengerti. Namun, kehidupan bersama suaminya yang kerap menggunakan tinju sebagai bahasa komunikasi, Mariam mengerti. Perempuan hanya bisa menerima.

Ah, membaca novel ini bikin aku sering menarik napas. Aku pun tanpa sadar menangis saat Mariam harus menghadapi kenyataan Nana yang meninggal dengan tragis. Juga, kemarahanku pada Jalil yang nggak bisa menyayangi Mariam seperti seharusnya.

Penasaran dengan ceritanya? Okey, aku akan cerita sedikit, ya. Semoga bisa tertarik untuk merasakan pengalaman membaca buku ini sendiri. Kujamin kamu akan dapati dirimu beruntung lebih dari apa yang kamu kira sebelumnya. Percayalah!

Sinopsis A Thousand Splendid Suns karya Khaled Hossaini

Mariam menunggu ayahnya di depan pintu Kolba. Perasaannya akan begitu gelisah, cemas dan khawatir. Takut kalau-kalau Jalil, ayahnya nggak bisa datang menemuinya.

Degup jantung Mariam selalu berdebar-debar menunggu ayahnya datang. Lalu, ia selalu merasa takut  saat waktu perpisahan tiba. Selalu gelisah menunggu minggu yang akan datang.

Saat Jalil, ayah Mariam datang dengan membentangkan tangannya, Mariam melirik ibunya. Khawatir Nana akan marah. Ia merasa seolah mengkhianati Nana jika berlari dengan riang menyambut Jalil. Padahal Mariam ingin Jalil mengajaknya tinggal di rumah Jalil di Herat bersama anak-anaknya yang lain.

Namun, Jalil nggak pernah mengajaknya ke rumahnya. Kata Nana, ayah nggak punya dil, harga diri. Jalil takut dengan tiga istrinya, takut mengakui bahwa Mariam adalah anaknya bersama Nana di luar nikah.

Mariam begitu mengagumi Jalil. Ia tak percaya semua ucapan buruk Nana tentang Jalil. Dalam hatinya, Jalil adalah ayah terbaik. Tapi, semua nggak seperti yang Mariam pikir.

Kehidupan Mariam berubah drastis. Saat ibunya mati gantung diri, Mariam mulai merasakan bahwa kepahitan hidup akibat perlakuan Jalil padanya belum seberapa dibanding apa yang akan ia hadapi setelah menikahi Rasheed. Pria yang sikapnya seburuk penampilannya.

Apalagi setelah keguguran pertama yang ia hadapi, Rasheed hampir nggak memberi ruang bagi Mariam untuk bernapas. Mariam selalu ketakutan menghadapi waktu-waktu kebersamaan bersama Rasheed yang kasar. Tak sedikit pun kerja keras Mariam mendapat penghargaan dari Rasheed.

Rasheed makin menjadi-jadi setelah Mariam keguguran untuk kesekian kalinya. Ia hanya menjadikan Mariam nggak lebih dari pelayan dan punching bag saat ia kesal. Tak terhitung tendangan, tinju, dan tamparan diterima tubuh Mariam. Ia juga menggunakan kayu pemukul dan tali pinggang dengan buckle besi untuk menghantam tubuh Mariam.

Bertahun-tahun Mariam menahan penderitaan yang nggak tertahankan. Meski ia masih merasa beruntung. Bukankah ia seorang anak haram? Maka, saat seseorang ada yang mau menerima dirinya, bukankah ia harus merasa bersyukur?

Selanjutnya, ia mengingat masa kecilnya bersama Nana di Gul Daman. Bagaimana dulu ia bisa berlari dan menggenggam tangan Mullah Faizullah, gurunya. Lelaki tua baik hati yang begitu menyayangi Mariam. Betapa ia merasa masa lalu itu bagai mimpi. Lalu, air matanya pun mengalir.

Perang yang terjadi di Kabul menimbulkan banyak korban. Termasuk orang tua Laila. Babi dan Mammy. Kemalangan Laila yang dimanfaatkan oleh Rasheed. Ia menikahi Laila dengan dalih menolongnya. Padahal ia berusia 60 tahun dan Laila baru 14 tahun.

Begitulah awal Mariam mengenal Laila. Nasib buruk mempertemukan mereka. Kepahitan mereka genggam. Hingga tiba pada suatu titik di mana Mariam meletakkan nasibnya di tangannya sendiri. Keputusan yang merubah takdirnya dan Laila.

 

Diskusi

Wel, membaca buku ini akan membuka insight kita tentang cara pandang dunia ketiga melihat peran dan keberadaan perempuan di masyarakat. Sebuah kritik tentang kekerasan atas nama syariah agama atau nama baik keluarga. Seolah nggak ada cara lain. Apalagi jika kekerasan tersebut dilakukan berulang-kali tanpa belas kasihan.

Beberapa scene dalam cerita di buku A Thousand Splendid Suns ini bikin aku merinding. Aku nggak mengerti gimana seorang suami atau laki-laki bisa memperlakukan seorang perempuan yang lebih lemah dengan begitu brutalnya. Tapi, aku mengerti bahwa kenyataan memang nggak seperti fairy tale.

Bahkan, sikap seorang Jalil yang mengabaikan anaknya di desa terpencil masih dapat dimaafkan oleh Mariam. Meski cibiran dan pandangan menghina memerahkan wajah Miriam, itu masih lebih baik dibanding tinju suaminya. Bagai hubungan antara Afghanistan, Taleban, dan Uni Soviet.

Anyway, buku keren yang katanya best seller ini adalah buku yang rekomended banget buat kamu yang suka baca tentang fiksi sejarah. Apalagi buku ini padat dengan isu tentang perempuan, kasih sayang keluarga, dan cinta. Tema yang nggak lekang dimakan zaman.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Bullying dan Pencegahan Bullying di Lingkungan Sekolah

Resensi Buku: Inteligensi Embun Pagi

Resensi Novel Kembara Rindu: Dwilogi Pembangun Jiwa