Ulasan Novel "The Memory Keeper's Daughter" karya Kim Edwards


Dalam hidup, kita terkadang tidak menyadari bahwa satu keputusan yang kita buat akan mempengaruhi hidup kita dan orang-orang di sekitar kita untuk selama-lamanya. Hingga penyesalan yang datang seperti ombak. Bergulung-gulung. Hidup pun akan seperti laut. Tenang, dan menyimpan badai.




Menurut saya, cinta adalah alasan dari sebuah kehidupan. Tak ada yang klise dari kata abadi ini jika pengetahuan yang dalam menyertainya. Sayangnya, perasaan ini datang lengkap dengan emosi lain yang melingkupinya. Marah, kecewa, kesal, benci, sayang dan rindu. Emosi yang bisa mengaburkan logika.

Emosi yang menjadikan seseorang bisa disebut manusia biasa. Manusia biasa yang berusaha meraih kebahagiaan dengan cara pandangnya masing-masing. Cara pandang yang didasari pengalaman hidup, pengamatan, dan pengetahuan kita. 

Hal yang mungkin saja terefleksi dalam sebuah karya, seperti novel “The Memory Keeper’s Daughter karya Kim Edwatds. 

Sinopsis

Novel “The Memory Keeper’s Daugter karya Kim Edwatds ini mewakili rasa penuh seorang David yang menjalani hidupnya dengan cinta dan rasa kasih sayang pada sekitarnya. Rasa cinta dan sayang yang terselubung oleh penyesalan atas keputusan yang ia buat. Perasaan yang membebani bak karang di pundak karena bayang-bayang masa lalu. 

Emosi yang menjadi dinding pemisah atas cinta yang ia pendam dalam pada Norah, istrinya dan Paul, putranya. Tersembunyi dalam foto-foto yang ia curahkan bagai sebuah misteri yang coba David pecahkan. Bagai tulang yang tersembunyi di daging.

Novel karya Kim Edwards ini dengan apik menggambarkan kehidupan David yang penuh dengan kesedihan dan penyesalan hingga akhir hidupnya. Penulis, yang juga pengarang kumpulan cerpen The secret of The Fire King dan dicalonkan untuk PEN (Hemingway Award 1998, dengan piawai menggambarkan keadaan alam negeri yang jauh berbeda dengan Indonesia. 

Penggambaran keadaan alam yang seolah mewakili cerita yang pahit, hangat dan manis. Seperti anggur di musim dingin.

Salju mulai turun beberapa jam sebelum poses persalinan istrinya dimulai. Pertama beberapa keeping salju turun dari langit akhir senja yang suram kelabu, disusul angin yang menciptakan pusaran yang mengitari teras mereka yang luas. Pria itu berdiri di samping istrinya di depan jendela sambil memerhatikan tiupan tajam salju yang menyebar, berputar-putar dan mendarat ke tanah. Di rumah para tetangga, lampu-lampu dinyalakan. Cabang-cabang pohon yang kering tampak memutih.
 (hal. 1)

Cerita dimulai saat David memutuskan untuk menyerahkan Phoebe, putri keduanya pada Caroline Gill karena Phoebe menurut diagnosanya menderita Down Syndrom. Penyakit yang juga diderita oleh June, adik David yang meninggal di usia 12 tahun. David tak ingin Norah, istrinya menderita kehilangan seperti yang ibunya telah alami.

“Anak malang ini kemungkinan besar memiliki cacat jantung serius. Cacat yang fatal. Aku mencoba menghindarkan kami dari kesedihan yang hebat.”(hal.21)

David meminta Caroline Gill untuk membawa Poebe pergi dan menitipkannya ke sebuah panti di Louisville. Tapi, keengganan Caroline untuk menyerahkan Poebe ke panti, dan kerinduannya akan rasa cinta yang menggelora membuatnya merawat Poebe.  

Ia berhenti di tempat, menatap lampu itu. Selama ia ragu-ragu di lorong toko, saat ia duduk di kamar asing dan tanpa suara member makan Phoebe, cahaya ini terus terpancar melintasi salju.(hal 41)

Sementara David tenggelam dalam penyesalan dan kesedihannya, mencari sosok Phoebe pada kamera dan photo-photonya, Norah merasa hilang dalam kesedihannya sendiri. Norah merasa David makin menjauh dan menghilang dalam pekerjaannya di klinik. Norah merasa kesepian. Norah kesal, marah, sedih, dan kecewa.

“Kau menganggap dirimu sebagai pusat alam semesta,” kata Norah. “Titik diam yang dikeliingi oleh segala sesuatu.”(hal. 182)

Hingga, Norah mencari kebahagiaan dengan mencari cinta hangat yang lain. Norah berselingkuh pertama kali dengan Howard di  pantai. Pada perjalanan yang seharusnya mendekatkan mereka. Norah makin bersedih atas ketidakpedulian David. Pencariannya akan cinta yang hangat terus berlangsung. Tapi, Norah tetap tidak bahagia. Hatinya lelah. Kosong.

Di tempat lain, Caroline yang berusaha sekuat tenaga memberikan segalanya buat Phoebe, berjuang untuk menahan pendapat miring orang-orang terhadap Phoebe yang berbeda dari anak-anak lain.  

Sungguh sayang! Oh, Anda hidup dalam mimpi terburuk saya. Dan sekali. Setidaknya ia takkan berumur panjang – itu suatu berkah.(hal 185)

Caroline juga berjuang menghidupi dirinya dan Phoebe dengan merawat Leo, seorang professor yang mengalami dementia. Mengenal Doro, putri Leo dan berteman dengannya. 

Usaha Caroline untuk masa depan Phoebe yang lebih baik membawanya mengenal Sandra. Seorang ibu yang juga memiliki anak yang juga menderita Down Syndrom. Tim, anak Sandra dan Phoebe sangat akrab. Mereka sering main bersama saat ibu mereka sibuk membicarakan nasib masa depan pendidikan mereka.

“Semua anak layak memeroleh pendidikan, “ ia memulai dengan kata-kata yang sudah akrab di telinga mereka. Bukti yang diajukannya jelas, spesifik: pertumbuhan anak yang konstan, tugas-tugas yang berhasil dituntaskan. (hal.188)

Caroline sempat mengalami keputusasaan. Tapi dukungan dari orang-orang yang memiliki keterikatan emosi, menyulut semangatnya untuk bangkit. Selain itu Al, cintanya merekah dan berkembang. 

Mereka menikah setelah bertahun-tahun berusaha saling mengenal, ditengah badai ragu dan rindu akan cinta hangat seorang lelaki dan keluarga. Al pun sayang Phoebe, hingga hari-hari tenang menggapai mereka di rumah Leo. Rumah yang akhirnya jadi milik mereka.

Caroline merawat Phoebe dengan baik, tetap merasa bersalah terhadap Norah. Di saat-saat emosi itu datang, Caroline menyurati David, menceritakan tentang Phoebe, dan mengirimkan photo-photo perkembangan Phoebe dari bayi hingga remaja. David pun membalas surat Caroline, menyelipkan uang untuk Phoebe di dalamnya.  

Tapi, ia tidak menceritakan tentang Phoebe pada istrinya. Menganggap semuanya telah terlambat. Menganggap apa pun yang terjadi adalah kesalahannya. David makin tenggelam di klinik dan membantu orang-orang sakit. Menekan rasa penyesalannya.

David tidak tahu bahwa keputusan yang ia ambil dan keengganannya untuk jujur tentang Phoebe telah memisahkan keluarganya. Norah yang sering kerja hingga larut terbang menjauh. Paul yang tumbuh dalam kemarahan yang ia sampaikan lewat musik. 

Kesedihan hebat yang berusaha dihindari David bahkan menciptakan penderitaan yang lebih panjang. Keretakan hubungan, hilangnya rasa sayang, dan kesedihan. David makin tenggelam di kamar gelap studionya.
   

Ada kehidupan yang di bawah sungai kecil dan kehidupan di atasnya, serta kesepian merekah di mana-mana, bagai bunga yang kelam.(hal.300)

Gelapnya kamar studio David akhirnya terbuka, bersamaan dengan rahasianya tentang Phoebe. Sayangnya, Norah tak bisa menanyakan langsung pada David yang sudah meninggal. Norah hanya dapat berusaha menerima kenyataan itu dari mulut Caroline yang sudah jadi ibu dari putrinya yang ia pikir  telah meninggal 25 tahun lalu.
=========================================

Setelah membaca buku yang menarik dengan latar negara yang bersalju ini, saya tertarik untuk mengulas sedikit perbedaannya dengan negara kita yang hangat. Indonesia.

Saya akan membahas sedikit perbedaan pandangan wanita tentang pernikahan, pendidikan sex anak, down syndrome, dan budaya minum-minuman keras yang erat dengan faktor ekonomi, cara pandang, dan sifat orang Barat terhadap kehidupan ini. Melihat dari perspektif berbeda tentang kebahagiaan.

Analisis Novel “The Memory Keeper’s Daughter karya Kim Edwards

Karya novel yang jadi international best sellers ini merupakan novel bertema penyesalan dan penebusan yang apik. 

Membaca novel ini sedikit mengingatkanku dengan tokoh novel NH Dini “Pada Sebuah Kapal”. Tokoh Sri di novel “Pada Sebuah Kapal” dan Norah dalam novel “The Memory Keeper’s Daughter” adalah wanita-wanita yang tak bahagia dalam pernikahannya. 

Berjuang dengan mencari kehangatan cinta lain. Bedanya adalah Sri memiliki dua pacar, dan Norah memiliki empat pacar. Sri adalah gadis Jawa yang terikat norma ketimuran yang menjunjung tinggi kesucian dan kehormatan wanita. 

Sementara Norah, adalah wanita Barat yang berbeda cara pandangnya. Kesetiaan dalam pernikahan di Barat itu diharapkan, tapi perselingkuhan tidak menyebabkan kecaman di masyarakat di mana Norah tinggal. 

Berbeda dengan Sri yang dikecam dan dihujat karena hidup bebas dan berhubungan dengan dua pria di luar perkawinan. Meski akhirnya Sri menikah. Kebebasan yang Sri adopsi saat ia bekerja di Eropa. Saat Sri yang sebagai gadis Jawa dilanda penyesalan atas perbuatannya, Norah merasakan kehangatan yang terisi di dirinya.

Namun Norah tidak berhenti, saat itu atau sesudahnya, Keberadaan Howard bersamanya terasa bagai demam, hasrat, pintu terbuka menuju kemungkinan....
(hal. 217)

Di novel ini juga terdapat pandangan Barat yang berbeda tentang pernikahan dan wanita.

“Segalanya memang berubah, dengan atau tanpa selembar pengesahan. Itulah yang tak kau perhitungkan. Dan apapun yang kau katakana, pernikahan mengubah segalanya, dan selalu pihak wanita yang harus berkorban, apapun kata orang.”
(hal 434)

Di mana di Indonesia yang menganut adat ketimuran, hubungan sex sebelum pernikahan adalah taboo dan haram. 

Sementara di negara Barat, itu adalah hal yang lazim. Banyak pasangan yang hidup bersama selama bertahun-tahun tanpa pernikahan. Alasannya adalah selembar kertas tidak bisa mengikat seseorang. Cinta bisa. Menurut pandangan orang Barat, selama ada cinta hubungan akan baik-baik saja meski tanpa pernikahan.

Pandangan tentang Down Sindrom

Pemahaman tentang down syndrome baik di Indonesia dan negara mana pun di dunia mungkin tak jauh berbeda. Hanya saja pemahaman Barat yang  terbuka lebih dapat menerima perubahan dibanding di Indonesia.

“Terbelakang mental adalah istilah yang merendahkan,” sahut Rone Stone tenang. “Perkembangan anak-anak ini tertunda, benar, itu sudah tidak dipertanyakan lagi. Tetapi mereka tidak bodoh. Anda yang ada di ruangan ini tidak paham apa yang dapat mereka capai. Harapan terbaik demi pertumbuhan dan perkembangan mereka, seperti halnya dengan anak-anak lain, adalah lingkungan pendidikan tanpa batas-batas yang sudah ditentukan. Hari ini kami hanya meminta kesetaraan.”(hal. 189)

Sedang menurut saya, baru beberapa orang Indonesia yang memiliki pandangan seperti ini di tahun 1964, karena terbatasnya pengetahuan. Bahkan, saya mendengar seorang  teman yang mengajar di SLB bercerita, “Banyak orang tua yang malu dan mengucilkan anaknya. Tidak memeluknya.  Seolah mereka adalah aib.”

Pandangan tentang Down Syndrom di Indonesia memang belum sebaik di Barat, karena pengetahuan mengenai ini masih terbatas. Meski demikian, kampanye tentang kesetaraan pendidikan lebih terasa dibanding sebelumnya. Artinya, Indonesia sekarang lebih baik dalam menangani anak dengan masalah Down Syndrom ini. Anak-anak ini lebih diperhatikan pendidikan vokasinya agar kelak bisa hidup mandiri.

Pendidikan Anak di Barat

Di Indonesia, hubungan anak  dan orang tua adalah hubungan rasa kasih sayang dan hormat. Anak akan belajar mengenal kehormatan diri dan menjaga hubungannya dengan lawan jenis sejak usia dini. Berbeda dengan di Barat, anak dapat mengekspresikan kebebasan rasa cintanya pada lawan jenis sejak umur 13 tahun. 

Beberapa anak bahkan sudah mulai berhubungan sex di umur 13 di rumah orang tuanya sendiri. Tanpa pernikahan. Orang tua pun tidak melarang. Bahkan ada orang  tua yang khawatir jika anaknya tidak pernah berhubungan sex dengan lawan jenis di usia 17.

Pandangan berbeda ini juga terlihat dari cara mendidik anak di Barat yang lebih longgar. Seorang anak dapat mengungkapkan pendapat dengan bebas dan tanpa beban. Sedangkan di Indonesia  tahun 1964, jangankan mengungkapkan pendapat dengan bebas, memandang wajah orang tua saat bicara saja bisa dianggap tidak sopan.

Budaya Minum

Budaya minum minuman keras adalah hal yang wajar di Barat, mengingat penduduknya bukan Muslim. Jadi tak ada larangan bagi mereka untuk minum brandy atau anggur. Sedang di Indonesia yang sebagian besar muslim, minum minuman keras itu haram. Apa pun alasannya.
Saya pikir alasan orang Barat minum adalah iklim yang dingin dan faktor kebiasaan yang sudah diturunkan sejak lama. Mungkin kebiasaan itu juga yang membuat orang Barat lebih bebas.

Sedangkan di  tahun 1930 an adalah tahun-tahun sulit bagi perekonomian Amerika yang disebut Great Depression, masa kecil David. Masa sulit yang mempengaruhi hidupnya. Dan, pelarian terbaik untuk melupakan kesedihan adalah dengan minum. 

Kebiasaan yang hanya dimiliki beberapa budaya Indonesia yang memeluk agama bukan Islam, seperti budaya Batak, Toraja, Dani, Nias dal lain-lain. Bedanya, budaya Barat untuk minum biasanya untuk pergaulan, di budaya Indonesia minum-minuman (tuak) biasanya untuk ritual keagaamaan yang sifatnya dianggap sakral.

Bandarlampung, 14 Desember 2019


Komentar

  1. Menarik nih bukunya. Covernya kayak gimana mbak? Penasaran

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya mbak..cukup menarik. Ceritanya mengalir. Makasih udah mampir ^^

      Hapus
  2. Panjang sangat mbak, gak pegel ya nulisnya. Keren deh, rajin baca rajin nulis juga ulasannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kebayang penulisnya nulis novel ini jadinya ^^

      Hapus
  3. Sepertinya kisah ini banyak sisi menyedihkan ya mbak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya sih..semuanya terjebak dalam masa lalu. Sehingga takut untuk jujur yang justru membuat kesedihan baru..

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Bullying dan Pencegahan Bullying di Lingkungan Sekolah

Resensi Buku: Inteligensi Embun Pagi

Resensi Novel Kembara Rindu: Dwilogi Pembangun Jiwa