Pasar Koga dan Rasa Rindu yang Hilang
"Dulu, waktu mamak kecil sering main di pasar. Dorong jrigen minyak makan dan jualan. Pagi-pagi buta udah rame. Sayur, buah, tumpah ruah," kata emak.
Sekarang kondisi pasar Koga sangat berbeda. Sepi dan terkesan muram. Lebih dari sepertiga pedagangnya sudah pindah berjualan di pasar traditional lain, seperti di pasar tempel Way Dadi yang terletak di depan sekolahku.
Pasar Koga Dulu dan sekarang
Katanya sih, dulu di tahun 1960-an pasar Koga dikenal dengan nama pasar Kagok. Kagok ini diketahui memiliki arti kaget dan dihubungkan dengan pasar dadakan.
Sebagai informasi, pasar Koga merupakan satu-satunya pasar tradisional milik Korem di Lampung. Nggak heran, kamu bisa lihat ada tanda tulisan properti Korem di dinding toko.
Di tahun 1990-an aja, kamu bisa rasakan keramaian bongkar muatan buah dan sayur di pasar ini. Kata mak, hampir semua buah ada. Dan, pedagang udah mulai sibuk buka lapak sejak dini hari. Sehingga, lampu-lampu menerangi suasana jual beli saat itu.
Aku masih ingat saat kecil, mak jualan sayur di emperan dekat lapak ikan. Jam satu dini hari, emak dan bapak sudah belanja di pasar Gintung. Aku biasanya ke pasar Koga untuk ikut membantu sekitar jam 4an. Kadang, hanya adikku yang cowok yang bantu di pasar.
"Kasian, dingin," kata mak. Jadi, aku hanya di rumah membantu menyiapkan bekal pagi hari.
Lalu, seperti pasar tradisional unumnya, pasar Koga sudah sepi di jam 12-an. Beberapa lapak sayur sudah tutup. Hanya beberapa lapak sayur, buah, atau kelontong yang bertahan buka sampai jam 15-an. Dan, sisanya bertahan buka hingga pukul 18-an, seperti toko Mak Inul atau Bude Karomah.
Pernah di awal tahun 2000an, jalan yang memotong di dekat RS Advent itu ditutup oleh kotamadya. Gosipnya sih, pemerintah pengin beli dan ditolak. Dan, akibatnya adalah pembeli malas untuk ambil jalan memutar di depan Taman makam Pahlawan yang cukup jauh. Mereka memutuskan untuk langsung terus ke Karang dan belanja di Pasar Gintung.
Karena itu, pedagang di Koga pun kehilangan beberapa pelanggannya. Selain, tentu aja makin maraknya pasar tradisional dadakan hampir di semua sudut tempat di daerah Kedaton yang merupakan target pasar milik Koga. Ya, sebut aja pasar Rebo di jalan Onta, pasar kemis di gang Bakti dan lain-lain.
Di tahun 2024 ini, pasar Koga terlihat sepi. Lebih dari setengah pedagang Koga pindah. Hanya sebagian yang bertahan dan berjualan di tempat-tempat yang strategis, seperti dekat pintu masuk dan pintu keluar pasar, di depan pasar, di depan jalan dan dekat lapak ikan.
Alasan pedagang Pasar Koga pindah atau berhenti berjualan
Sebagai seorang anak yang lahir dan besar di lingkungan pasar Koga, aku tahu persis alasan pedagang Koga pindah. Yah, fyi, dulu Nenek, ibu, dan wawak-wawakku adalah pedagang di Koga. Sekarang sih, tinggal satu om-ku yang bertahan jadi tukang parkir di Koga.
Mungkin, alasan-alasan ini hampir sama dengan alasan pedagang tradisional lain untuk pindah atau berhenti berjualan.
1. Sewa lapak toko yang mahal.
Harga sewa lapak yang tidak menyesuaikan dengan kondisi pasar jadi alasan pedagang move on. Mereka memilih jualan di rumah yang tanpa sewa, seperti Mak Inul atau pindah ke pasar lain. Ada juga yang memilih untuk berhenti jualan, seperti mamakku, Bude Yem, Bude Karomah, dan lain-lain.
2. Kondisi pasar.
Ya, sama dengan kondisi pasar tradisional lain, seperti Tamin, Semep, Kangkung, dan lain-lain, pedagang statusnya sewa tempat. Tapi, mereka lah yang perbaiki atap, pintu, lantai, atau tralis toko, jika ada kerusakan. Jadi, pedagang di Koga itu mandiri sekali wkwk.
3. Pedagang memilih jualan online.
Bagi pedagang yang melek gawai, mereka memilih jualan online yang lebih flexible waktu dan biayanya. Meskipun keputusan ini bukan tanpa risiko, beberapa pedagang banting stir jadi pedagang online di market place.
4. Sepinya pasar.
Dan, kondisi pasar yang makin sepi aku pikir jadi alasan paling utama pedagang Koga memilih pindah. Seperti kata orang supply and demand-nya nggak ketemu, jadi pasar tambah sepi.
Yups, contohnya aja, kalau sekarang kamu ke Koga untuk keperluan hajatan, kamu akan temukan beberapa produk yang dibutuhkan nggak ada. Kalau pun ada, harganya di luar range budget-mu. Solusinya sih, ya, kalau aku langsung aja ke Pasar Gintung.
Alasan pedagang Pasar Koga masih bertahan
1. Sudah terbiasa jualan di pasar Koga.
Alasan ini erat kaitannya dengan masalah perasaan ya? Kadang aku heran juga. Aku pernah ketemu pedagang Koga yang rumahnya di Pesawaran yang jaraknya cukup jauh dari Pasar Koga. Sekitar 48 km dengan waktu tempuh lebih dari satu jam. Kalau naik angkot, kamu perlu waktu dua jam atau lebih (karena ada drama ngetem).
Aku pernah naik ojek dari pesawaran dan biayanya sekitar Lima puluh ribuan. Kalau gocar ya.. sekitar seratus ribuan. Biaya yang cukup tinggi untuk pedagang kripik di Pasar Koga yang pemasukkannya nggak menentu.
Untungnya, mereka biasanya punya mobil angkot langganan. Jadi, lebih murah.
2. Dekat rumah.
Seperti Bang Iyus yang jual kosmetik, beberapa pedagang Koga memiliki rumah di dekat pasar Koga. Mereka tersebar di gang Bakti, Kedaton, gunung sulah, Way halim dan lain-lain.
3. Ekonomi.
Sebagian pedagang bilang begini, "kalau nggak di Koga, mau jualan di mana, mbak? Dapur ngebul ya dari Koga ini." Ah, alasan ini yang bikin hatiku hangat. Meskipun di tengah kondisi sulit, pedagang tangguh dan pejuang ekonomi keluarga ini pantang menyerah.
Ah, jadi ingat ucapan emak, "semut kecil aja dapat jatah rezeki dari Allah. Tugas kita hanya berusaha sekuat tenaga."
Pasar Koga dan rasa rindu yang Hilang
Sejak pandemi di tahun 2021-an, emak memutuskan untuk berhenti jualan. Eh, sebenarnya aku yang memutuskan sih wkwk. Dulu itu, emak main ke tempat adik selama satu tahun setengah. Pergi di pertengahan tahun 2021 dan pulang di akhir tahun 2022.
Emak saat itu baru bayar sewa toko tahun 2021. Sedangkan sewa toko berakhur di pertengahan 2022. So, aku pikir lebih baik kalau sewa toko dihentikan aja. Kalau lanjut sewa, tapi nggak jualan kan rugi. Lebih baik uangnya untuk keperluan yang lain.
Terkadang, aku sadar bahwa emak rindu ingin jualan lagi. Pengin punya penghasilan sendiri seperti dulu. Tapi, ia sadar bahwa kondisi pasar dan dirinya nggak seperti dulu lagi. Ia harus move on.
Sikap emak bikin aku terharu. Keputusan yang emak ambil ini, aku yakin bukanlah hal yang sederhana baginya yang terbiasa sibuk di pasar. Sekarang ia nggak bisa ngobrol-ngobrol dengan teman-temannya di Pasar Koga.
Meskipun aku dan emak masih belanja di Koga setiap hari, rasanya pasti beda ya? Tapi, sekali lagi, kita harus move on. Hidup itu nggak perlu terlalu pusing memikirkan masa lalu dan masa depan. Hidup aja dengan baik hari ini sambil menyiapkan diri untuk masa depan.
Terkait masa lalu, jadikan aja ia seperti bunga-bunga di foto album kenangan. Buka lah saat perlu hiburan dan penyemangat dan lupakan saat bunga-bunga itu sudah kamu jual. Toh, kamu udah dapat uang atau hasilnya ya kan?
So, semangat buat kamu pedagang tradisional. Meskipun gempuran pasar modern bikin kamu sedikit mengalah, yakin aja masih ada ruang buatmu di hati masyarakat. Semangat!
Komentar
Posting Komentar