Candi Borobudur: Sebuah Tanda Cinta pada Bumi

Foto bersama di depan sebuah stupa di candi Borobudur (dok. teman)

Essensinya sebuah bangunan adalah benda mati. Tak berarti tanpa orang-orang yang menghidupinya atau hidup di dalamnya. Baik sebelum bangunan itu ada, atau sesudahnya. 

Bangunan itu dianggap hidup, karena sejarah manusia yang pernah hidup bersamanya atau karenanya. Jadi penyebab atau akibatnya. Sebagaimana sebuah candi Borobudur yang masih berdiri kokoh, karena dianggap menyimpan sejarah. Hingga banyak orang yang datang untuk mengunjungi, menapaki sejarah masa lalu. 

Paling tidak pengunjung tersebut akan berkata, "Dulu, aku pernah menapakkan kaki di sini. Dan, bertemu dengannya." Begitulah skenario sebuah cinta mungkin terjadi. Cinta yang mungkin seabadi candi Borobudur.

tanda di halaman depan candi Borobudur

Candi Borobudur yang dikenal sebagai harta warisan dunia nomor 592 ini membuktikan bahwa Indonesia punya sejarah yang juga diakui dunia.. 

Bangunan yang kokoh yang memberi cerita pada generasi penerus. Sebagaimana seseorang yang akan merasa utuh dalam hidupnya karena memiliki akar sejarah dan budaya tempatnya berpijak. Merasa bangga dengan asal dirinya.

Kebanggan dan rasa cinta itulah yang memicu usaha untuk merestorasi candi. Usaha keras untuk merestorasi candi Borobudur yang dilakukan di tahun 1907 - 1911 menghabiskan dana 34.600 guilder yang dipimpin oleh Van Erp. 

Di tahun 1950 candi Borobudur menghadapi masalah serius karena masalah alam dan drainase yang buruk. Hingga akhirnya di tahun 1975 - 1982 projek kolosal dilakukan yang melibatkan 600 orang dengan total biaya US$6,901.243. Proyek ini didukung penuh oleh UNESCO dan berbagai negara yang peduli dengan sejarah keberadaan candi yang didirikan di zaman dinasti Sailendra ini.

Sebenarnya, kalau dipikir-pikir candi itu hanyalah benda. Tak punya arti jika tak ada sejarah dibalik candi itu. Pengorbanan atas cinta, pengabdian, kerja keras dan air mata dalam proses pembuatan candi Borobudur ini menyimpan filsafah dalam yang dapat dipelajari generasi muda untuk memahami esensi hidup.

Sederhananya, kita akan menghargai perjalanan yang penuh liku dan masalah saat tiba di tujuan, dibanding perjalanan yang lurus tanpa hambatan yang tanpa cerita. 

Analogi lain adalah seseorang akan merasa hampa dan kosong saat ia lupa atau tak mengenal sejarahnya. Masa lalunya. Ia akan kesulitan mengenal dirinya. Akan merasa terombang-ambing dalam pencarian jati diri.

Pengetahuan akan sejarah masa lalu akan membawa kita untuk mengenal hikmah. Pengetahuan untuk mengambil yang positif dan meninggalkan yang buruk dalam sebuah peristiwa yang terjadi dalam kehidupan ini. 

Bukankah kita tak harus mengalami semua peristiwa kehidupan ini untuk mencapai pemahaman? Meski mengalami sendiri akan beda rasanya dengan mendengar atau mempelajari, seluruh peristiwa kehidupan ini akan menghancur luluhkan raga dan jiwa sebelum kita mencapai tujuan. Hal yang sungguh sia-sia. Padahal kita bisa membaca, menulis, mendengar, dan merasa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Bullying dan Pencegahan Bullying di Lingkungan Sekolah

Resensi Buku: Inteligensi Embun Pagi

Resensi Novel Kembara Rindu: Dwilogi Pembangun Jiwa