Yesterday


Hara mengetuk jemarinya di ujung meja. Bergumam mengikuti alunan lembut lagu “Yesterday” nya the Beattle. Ujung bibirnya naik ke atas, membentuk senyum tipis saat ia teringat pertemuannya dengan Doni sepuluh tahun lalu. Doni, cowok pertama yang  ia suka. Cinta pertamanya. Perlahan ia bergumam lirih mengikuti lyric lagu yang menyentuh ini.
Yesterday,
All my troubles seemed so far away,
Now it looks as though they're here to stay,
Oh, I believe in yesterday.

Mata Hara menatap kartu undangan pernikahan di hadapannya. Lalu ia tertawa sambil mengusap matanya. “Ah, mataku berair. Pasti aku kelilipan. “ Hara bergumam sendiri. Tangannya merogoh handphone di sakuya yang berdering.
“Hallo..”
“Hallo, Hara. It’s me Doni. Sudah dapat undanganku?” Suara di seberang sana seperti tak terdengar. Hara merasa kepalanya ringan. Ia memijat dahinya dengan ujung telunjuknya. Kenapa dadanya terasa berat dan kepalanya terasa ringan saat mendengar suara Doni?
“Sudah,” jawab Hara serak. Ia meletakkan kepalanya ke meja. Sekarang kepalanya bukan hanya berat, tapi juga sakit. Ia meringis. Keringat keluar dari pori-pori di dahinya.
“Syukurlah. Kamu harus bantu aku, ya Ra.” Doni melanjutkan kata-katanya tanpa mengetahui keadaan Hara, ”Bantuin ibuku, ya. Beliau mau nyari mas kawin buat Elsa. Kamu kan tahu selera Elsa. Besok ibu jemput kamu ya? Jam 2 siang supaya tidak kesorean. Jangan lupa.” Sebelum aku menjawab, Doni sudah menutup telponnya. Aku hanya mendesah. Selalu begini. Doni hampir tak pernah menunggu jawaban dari pertanyaan yang ia tanyakan  padaku. Ia selalu menyimpulkan sendiri tanpa mendengar jawabanku. Hara memejamkan matanya mengingat kenangan saat ia mengenal sosok Doni .
“Kamu kenapa?” Hara mendongak. Matanya mendapati sepasang mata hazel yang lembut menatapnya. Hati Hara hangat. Lalu dalam ketertegunan Hara, ia melihat mata itu seperti bersinar, menerangi hari Hara yang biasa. “Aku lapar. Temani aku makan, yuk.” Dengan langkah biasa, ia berjalan pelan di depan Hara. Ia lalu berhenti, menoleh ke arah Hara yang masih diam.
“Ta..tapi aku tidak lapar..” kata Hara setengah tergagap dan seperti mendapat kode, perut Hara langsung bergemuruh.
“Yeah, tapi perut temanku lapar, “ kata si Mata Hazel sambil menepuk perutnya.” Oya, nama temanku itu Doni. Namamu siapa?”  Ia tersenyum sambil menatap sepatunya.
“Hara. ”
Doni mengangguk. Dagunya menunjuk ke arah warung bakso di pinggir jalan. “Kita makan di sana, ya? Hara suka bakso kan?”
Aku hanya diam. Mataku menatap ujung kaosku. Kenapa rasanya kaos yang ia pakai seperti tidak pernah digosok, ya? Kusut dan lusuh. Mataku menatap sosok Doni yang berdiri di hadapannya. Sepatu sport putih bersih, celana jeans yang seperti seharga tas selebriti di televisi lengkap dengan kaos yang Hara pernah lihat terpajang di manekin Mall yang harga nya satu bulan gajinya, plus wajah ganteng yang bersih dari jerawat dan komedo. Hek, ngomongin jerawat dan komedo, Hara jadi ingat wajahnya yang berjerawat dan berkomedo, Ia tersenyum pahit.
"Tapi aku nggak bawa uang," kata Hara lagi. 
Doni menepuk sakunya. "Beres. Aku baru dapat uang dari tulisanku. Tenang, uangku pasti cukup." Doni tersenyum. Tangannya menyambar lenganku. "Yuk, cepetan. Aku lapar banget." Langkah Doni yang lebar membuatku harus setengah berlari mengikutinya. Mata Hara memandang tangannya yang digenggam Doni. Tangannya pun halus.



Komentar

  1. Hai, mba. Suka menulis ya. Senangnya bisa menulis cerpen. saya sudah lama banget gak bikin cerpen

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Bullying dan Pencegahan Bullying di Lingkungan Sekolah

Resensi Buku: Inteligensi Embun Pagi

Resensi Novel Kembara Rindu: Dwilogi Pembangun Jiwa