Rumah


Hujan di bulan Februari membasahi tanah tempatku berdiri. Menebarkan bau tanah yang menghipnotisku. Aku memandangi hujan yang turun dengan derasnya sambil mendekap erat tasku yang berisi buku-buku. Hari ini aku lupa membawa payung, alhasil aku harus berteduh di halte bis di depan SD Negeri 1 Bandar Jaya yang letaknya tak jauh dari tempatku mengajar. Mataku nanar menatap langit yang makin gelap. Tak ada bintang. Tak ada bulan. Kelam. Bahkan lampu jalan yang terletak di depan gerbang sekolah sudah tidak berfungsi. Jadi di tempatku berdiri sekarang juga terlihat gelap. Untung saja, kendaraan pribadi yang lalu-lalang di hadapanku dapat sedikit menerangiku dan jarak pandangku. Ku ambil sapu tangan di tasku untuk mengusap tetes air hujan yang membasahi wajah dan jilbabku. Mataku berair karena terkena air hujan dan sorot lampu kendaraan yang menerpa wajahku. Jujur, aku berharap ada seseorang yang mengenalku dan memberi tumpangan pulang. Aku tersenyum, membayangkan senyum emak dan segelas teh hangat yang akan menyambutku di rumah. Bantal dan kasur yang kering dan hangat serta baju yang nyaman. Aku menggigil. Baju dan sepatuku sudah basah terkena tetesan air hujan. Kuharap buku-bukuku tidak basah juga. Beberapa orang yang berteduh bersamaku mulai berlarian menerobos hujan. Aku menatap diriku, tersenyum sambil berlari. Pulang.
Aku menepis air yang jatuh ke bajuku, memeras ujung baju dan jilbabku yang basah. Meneteskan air. Sambil terus berlari. Menuju emak. Rumah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Bullying dan Pencegahan Bullying di Lingkungan Sekolah

Resensi Buku: Inteligensi Embun Pagi

Resensi Novel Kembara Rindu: Dwilogi Pembangun Jiwa