Kesedihan yang kurasakan saat kulihat teman - temanku telah memiliki hidup dan berlayar jauh dengan kapalnya menuju hidup yang mereka impikan. Sementara aku maih ada di tepian. hanya memandang dengan keinginan yang membuncah dan air mata yang  mengkristal di dadaku. Terkadang air mataku mencair dn mengalir membasahi pipiku tanpa kusadari. Aku sering menangis dalam keheningan malam yang menggigit tulangku. Aku mengerti bahwa banyak orang yang hidupnya lebih menderita dari diriku tapi aku merasa terkadang kesedihan ini seakan menelan diriku dalam pahitnya rasa manis yang kulihat dirasakan orang-orang di sekitarku yang tak kupungkiri ingin juga kurasakan. meski aku menolak diriku sebagai orang yang menginginkan apa yang iinginkan oleh orang lain. Aku sangat menyadari bahwa hal yang wajar sebagai otang biasa, sebagai seorang wanita biasa ingin merasakan apa yang dirasakan wanita lain. Menikah. Memiliki suami dan anak-anak yang sehat dan lucu. memiliki rumah yang hangat dan menyenangkan. Membina keluarga.
Kadang saat sendiri dan melihat teman-teman ku yang bahkkan  lebih muda dariku telah memliki apa yang kuinginkan. melihat kebahagiaan mereka dari jauh. Rasanya hati ini ingin menangis. Menjerit. Bukan. Bukan karena iri melhat kebahagiaan orang lain. aku bahagia dengan kebahagiaan mereka. Sungguh, hanya saja aku bertanya pada diriku, apa yang salah dengan diriku hingga sampai saat ini di usiaku yang lebih dari 40 tahun kudapati diriku masih sendri. Belum punya pasangan. Tapi aku mengeti bahwa akupun akan memiliki pasangan seperti mereka. Karena aku yakin Allah ciptakan semua mahluk itu berpasang-pasangan.
"Hei !" Ida melambaikan tangannya di depan wajahku. "A penny for your thought." Ida mengambil kursi di sampingku dan duduk di depanku samdil memandang wajahku. Tangannya diletakkan di dagunya. Matanya menyipit menatapku. Aku menarik nafas perlahan dan menghembuskannya. Bahuku kusandarkan di kursi. "Kalau terasa mengganjal, ceritakan padaku, Fana." Mata Ida melembut melihat postur tubuhku. Tangan Ida mengusap telapak tanganku yang ada d meja dengan sayang. "Kamu tahu, kan. Aku selalu ada di sini untukmu. Teman yang lain juga hanya sejauh a phone call." Aku mengangguk dan mengusa wajahku.
"Aku bingung.: kataku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Bullying dan Pencegahan Bullying di Lingkungan Sekolah

Resensi Buku: Inteligensi Embun Pagi

Resensi Novel Kembara Rindu: Dwilogi Pembangun Jiwa